Sunday, September 23, 2007

Hadiah Istimewa Buat Sang Pacar

Oleh : M. Saifun salakim

Devianita, Kalam terindah di Bukit Oreon
Ada sekelumit serakan kerang yang terlampar di pasir putih yang akan saya berikan padamu agar dapat ditata apik dan indah menjadi mahligai disaput keemasan yang terkilau sinar mentari. Kalau saja kamu masih di tanah kemuliaan kenangan ini. Selain itu banyak tambo purnama yang bersinar gemilang dan selalu hadir menghiasi kelam, mengental bersama dengan kecerahan bintang dalam menerangi jagat yang ingin saya sampaikan padamu, kalau saja kamu masih ada di kesejukan bumi yang saya pijak ini.
Di saat itu kita masih selalu seiring sejalan menaiki sepeda kumbang meniti rel-rel jalanan kehidupan yang melekang-lekang panas dengan mengikuti koridor waktu yang terus berlomba dengan ketegaran kita menuju zenit kasih abadinya. Sampai dia kembali ke pangkuan ibunda untuk menutup matanya. Masih tersisa mutiara laut bianglala berhamburan kembang-kembang mawar kesturi, memang kembang kegemaranmu yang akan saya haturkan ikhlas di haribaanmu, yang sudah memang menyebarkan keharuman. Biar tetap melekat dan tak pernah hilang, walaupun dilibas usia zaman yang semakin garang memangsanya. Enak dipandang mata dan sedap diendus hidung. Sekiranya kamu masih menjadi taman mewangi dalam inspirasi saya. Walaupun gugusan pulau yang membentang sudah menghambat tegur sapa kita berlanjut. Walaupun kedalaman dan kepanjangan luas lautan tak bertepian sudah beku tersenyum di dalam memori-memori karang yang berserakan di kerikil-kerikil pada tumbuhan biota di kedamaian laut mengikrarkan kasih sayang kita berbekas. Masih ada semuanya dalam kesan saya. Walaupun jaraknya jauh mengambang, saya tetap kirimkan kerinduan rembulan dengan mentari yang rindu pada kehangatan pelangi dengan hadirnya sekali-kali di permukaan bumi ini lewat puisi-puisi lusuh - kencangnya kereta masa kesana, yang terkaver dalam buku putih yang saya layangkan padamu agar kamu selalu ceria dan periang. Tersenyum sumringah dengan lesung pipit membuka, very Sweet and beatiful.
In memoriam sungai kapuas jadi ilham dan inspirasi saya. Sewaktu kita berdayung sampan berdua. Yang menimbulkan rasa senangnya untuk menuju tepian cinderamata sambil menikmati kemolekan tubuh senja, memunculkan seluruh wajahnya yang mulus, fantastik, eksotik, spektakuler, dan tangan dinginnya selalu menaburkan kasih sayangnya, mencumbu perawan-perawan laut yang asyik berdekam diri dengan ketenangannya di luas lamparan permadaninya.
“Nit, wow begitu indahnya senja hari ini. Bagaimana menurutmu?”
“Sungguh indah, Saif. Seumur hidup saya, belum pernah saya melihat dan memandang senja seindah saat ini. Walaupun saya pernah melihat senja sebelumnya. Senja ini menghantarkan keindahan, ketenangan, dan kedamaian pada jiwa saya yang datang secara alamiah. Terima kasih ya Saif, kamu telah membawa saya menikmati senja seindah ini !”
“Nit, kalau kamu senang dan enjoy dengan senja ini, saya bisa mengambilkannya untukmu agar kesenanganmu semakin bertambah.”
“Ah, jangan bergurau dan membikin guyonan, Saif. Mana bisa kamu dapat mengambil senja yang ada di lintasan lazuardi biru. Karena selama ini belum pernah ada orang yang bisa mengambil senja. Saya mengerti maksudmu bahwa kamu ingin membuat saya senang dan selalu menikmati kebahagiaan. Untuk tidak mengecilkan keinginan hatimu, terserahlah padamu!”
“Okelah, kalau begitu Nit. Tunggu saya sebentar di sini. Saya akan mengambilkan senja untukmu.”
Saya pun berusaha mengambilkan senja itu dengan susah payah. Menikmati jalanan yang penuh lika-liku dan kerikil tajam yang sempat menggoreskan sepercik luka di badan, namun semua itu dapat saya atasi dengan mulus dan lancar.
Devianita merasa kagum dan takjub bahwa saya bisa mengambil senja untuknya. Yang sangat sulit dilakukan oleh orang lain. Kegirangannya terpancar kontras dengan mendapatkan senja yang membuat hatinya semakin tambah bahagia. Dia pegang senja itu di kemulusan tangan kanannya dan senyumnya membentuk sekuntum rembulan, menyeruak dan terukir indah di bibirnya.
Keasyikannya memandang senja di tangan kanannya, terbuyarkan. Dikejutkan suara ribut-ribut dan ramai menuju ke arahnya.
“Itu orangnya. Saya melihatnya dengan jelas. Dialah yang telah mengambil senja itu. Dialah malingnya. Mari kita sama-sama merebut kembali senja yang telah diambilnya.”
“Nit, mari kita cepat tinggalkan tempat ini, sebelum orang-orang ramai sampai ke sini dan merampas senja yang telah saya ambilkan untukmu,” seru saya.
Kamu hanya mematung bisu. Tak bergerak sedikitpun. Malahan kamu perhatikan saya dengan pandangan mata saksama, menyiratkan sebuah kemasgulan. Dari tatapanmu seolah-olah kamu menyudutkan saya pada kenyataan atau keadaan yang bersalah. Macam terdakwa di hadapan sang hakim, pemberi segala keputusan hukum.
Suara gemuruh orang ramai seperti air bah, terus menderu-deru menghampiri kami.
“Nit, mari kita tinggalkan tempat ini. Jangan pedulikan orang-orang itu yang hanya mengusik kebahagiaanmu,” tarik saya pada tangannya dan tangan sebelah lagi mengayuh dayung sampan supaya dapat melaju dengan maksimal. Meninggalkan orang-orang ramai yang terus mengejar.
Orang-orang ramai tidak kalah semangatnya. Mereka terus berteriak-teriak riuh rendah sambil mengejar kami. Lontaran bunyinya memedaskan jiwa dan memanaskan daun telinga.
“Saif, daripada membuat orang ramai ribut-ribut dan terus mengejar kita, lebih baik kamu kembalikan saja senja ini pada tempatnya. Saya rela melepaskannya demi kepentingan orang banyak.”
“Apa?” kejut saya.
“Tapi Nit?”
“Tidak pakai tapi-tapian.”
“Nit, kamu juga harus mikir bahwa saya sudah susah payah mengambilkan senja ini untukmu. Bahkan dengan perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan. Semua itu terus saya jalani. Semuanya demi kamu. Saya ingin melihat kamu terus ceria dan selalu merasakan kebahagiaan. Hanya karena ocehan orang ramai, kamu sudah jadi down dan lemah semangat serta menyuruh saya mengembalikan senja yang telah diambil pada tempatnya. Nit, kamu harus tegar dan mantap. Kamu jangan terpengaruh dengan ocehan orang ramai itu. Anggap saja ocehan itu seperti anjing menggonggong kafilah berlalu. Terpenting kita tetap enjoy dan indehoi. Orang lain terserahlah.”
“Tidak bisa begitu, Saif. Egois namanya.”
“Bukan egois Nit, tapi kewajaran demi kepentingan pribadi.”
“Sudahlah Saif, saya tidak mau berdebat lagi. Maafkanlah saya. Saya tidak bisa memenuhi apa yang kamu inginkan. Karena saya tidak bisa merusak keinginan atau kebahagiaan orang banyak yang menginginkan senja ini, agar selalu memberikan cahaya keindahan pada mereka. Hanya untuk memenuhi kesenangan dan kebahagiaan saya yang berupa segelintir buih busa di lautan terbuka. Saya tidak tega sama mereka, Saif. Bukan berarti dengan pembangkangan ini, saya tidak menghargai ketulusan dan kebaikan kamu, yang susah payah mengambilkan senja demi membuat saya senang dan bahagia. Bukan begitu maksudnya. Malahan saya sangat berterima kasih dengan perjuanganmu. Kekaguman saya padamu makin bertambah lagi jika sekiranya kamu dapat mengembalikan senja ini pada tempatnya,” ucapmu sambil menyerahkan senja pada saya. Saya mengambilnya.
“Baiklah Nit, kalau memang itu keinginanmu. Saya akan mengembalikan senja ini pada tempatnya,” jawab saya pelan.
Senja itu saya kembalikan lagi pada porosnya. Orang-orang ramai menghentikan pengejarannya. Teriakannya yang beraroma cabe rawit terhenti seketika. Berganti dengan senyuman keceriaan yang terpancar indah.
“Alhamdulillah, dia telah mengembalikan senja itu. Kita akan menikmati keindahan senja lagi.”
Mereka bersorak sorai kegirangan dengan menaburkan genderangnya, yang berencah buana. Ribut.
Kamu mengulaskan senyuman termanis melihat mereka, dan saya juga menurutimu supaya tidak dikatakan pahlawan kesiangan atau ketinggalan.
~oOo~

Devianita, rembulan bergayung dalam selimut ketebalan purnama

Masih ingat dan terkesan manis, in memoriam saat kita sama-sama memakan rembulan tengah malam.
Waktu itu kita sedang rileksasi dari kejenuhan perkuliahan yang banyak menguras dan menyita pemikiran. Bertumpuk-tumpuknya pekerjaan makalah dan tugas lainnya yang diberikan dosen. Harus diselesaikan dengan tepat waktu. Kalau tidak akan berakibat fatal, yaitu tidak lulus mata kuliah. Menyebabkan mengulang lagi pada semester berikutnya. Itu yang tidak kita inginkan. Walaupun berat tugas dari dosen tetap kita kerjakan dengan baik agar selesai dengan cepat.
Di korem, halaman Alun-Alun Kapuas dekat Kafe Lancang Kuning, kita duduk santai dan rileksnya sambil berkelakar menikmati kelezatan malam yang indah. Saya menawarkan sesuatu padamu.
“Kamu mau makan bakso, Nit?”
“Terserah kamu, Saif !”
“Okelah, kalau begitu. Kita makan bakso dulu sambil minum es campur dan ngobrol ngalor ngidul.”
Saya memanggil pelayan untuk menyiapkan pesanan, yaitu dua mangkok bakso dan es campur.
Malam terus bertambah pekat dan kenyal dalam lintasan kelembutan lazuardi, berselimutkan kehangatan langit. Bintang bertaburan menghiasi rona malam biru yang memancarkan cahayanya pada sekujur kemolekan dan kemulusan tubuh bumi tercinta. Tetapi malam ini terasa ada kekurangannya, yaitu belum nampaknya dewi rembulan. Entah mengapa dia belum memunculkan dirinya. Apakah dia lagi sedang bersolek? Apakah dia lagi mempercantik dirinya? Biar dapat tampil dengan wajah berseri-seri lewat kedipan matanya yang sangat disukai oleh tua muda, kecil besar, peok segar, dan energik renta. Mereka adalah pengagum dan penggemar sejatinya.
Malam ini sangat ramai pengunjungnya. Rata-rata didominasi muda-mudi yang berpasang-pasangan. Sama seperti kami menikmati kelezatan malam sambil menghirup segar sinar kuning merkuri yang muncul dari Kafe Lancang Kuning. Menambah keindahan malam ini begitu orisinilnya.
Pesanan bakso dan es campur telah terhidangkan si pelayan. Asapnya terlihat berpuisi menembus kepekatan malam yang kepulannya melebar dan masih hangat membaui hidung untuk dicicipi.
“Nit, mari dicicipi baksonya selagi masih hangat?” kata saya.
“Ya… Saif ! Mari kita cicipi sama-sama,” jawabmu.
Kamu mulai menarik sendok dan garpu yang telah disediakan untuk memasukan bakso ke dalam mulutmu. Saya juga melakukan hal sama dengan yang kamu lakukan. Nikmat sekali baksonya. Sehingga kita makan begitu lahapnya. Hanya meninggalkan sebutir bakso yang besar, belum disantap. Ludes.
Dewi rembulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Akhirnya memunculkan dirinya. Pantulan senyumannya putih melepah, tersebar berkuah-kuah. Menyapa lembut mahluk yang ada di permukaan bumi, terutama mahluk yang menikmati malam di dekat Kafe Lancang Kuning dan sekitarnya. Sehingga menampilkan semua wajah mahluk tersebut berseri-seri dan menambahkan keceriaan yang gemilang.
Sedetik memberikan kehangatan pantulan senyuman putihnya. Dewi rembulan menukik cepat ke arah kami yang sedang menghabiskan sebutir bakso besar. Kami terkejut. Semua orang memandang kami. Dewi rembulan berbentuk sebesar telur burung puyuh. Pantulan senyuman dan sekujur tubuhnya yang putih melepah menyilaukan wajah kami. Saya memberanikan diri memegang dewi rembulan. Terasa lembut dan empuk. Lalu saya permisi padanya. Saya membelahnya dengan garpu bakso hingga menjadi dua bagian.
“Ambillah Nit, dewi rembulan ini dan makanlah supaya dewi rembulan bisa menyatu dalam tubuhmu,” kata saya.
Kamu ragu-ragu. Seketika dengan gemetar kamu terima sebagian dewi rembulan itu. Namun kamu masih terpaku, belum melaksanakan apa yang saya suruh. Seakan kamu tak percaya dengan kejadian ajaib seperti ini.
“Makanlah Nit,” kata saya untuk kedua kalinya.
Barulah kamu mau memakannya.
“Gurih……,” katamu.
Setelah memakan dewi rembulan, tubuh kita menjadi cahaya putih melepah dan terus berseri-seri. Semua orang di taman Alun-Alun Kapuas menggerutu dan mengucapkan kekesalannya. Karena mereka tidak dapat menikmati dewi rembulan. Anugerah terindah dari Sang Maha Pencipta.
~oOo~

Devianita, oreon bersembulan merah dadu di selimut kepekatan ini

Di tengah malam berbekas kembang-kembang wangi kerinduan. Saya menikmati kelezatan malam tanpa hadirnya dewi rembulan yang telah kita makan bersama-sama. Saya hanya bertemankan bintang kegelisahan di ambal langit mengerutkan dirinya. Saya tersentak melihat sebuah bintang yang bersinar terang gemilang bak pamor senyuman kesegaran dewi rembulan. Orang-orang menamakannya orion. Saya terus saja memperhatikannya. Lekat-lekat dan saksama.
Pukul satu berdentang-dentang. Menandakan kepekatan malam mencapai zenit percumbuan kasihnya. Waktu inilah para orang-orang pengabdi setia Allah melakukan kekhusukan salat lailnya.
Waktu semua orang terlena terbuai keindahan mimpinya. Mereka bermunajat. Mereka mengintrospeksi diri dari kesalahan dan kesilafan serta dosa yang pernah dilakukan dengan cucuran air mata susu kemanisan demi mendapatkan ridho dan berkah Allah berupa sebuah kemuliaan hidup.
Saya masih masyuk menatap si orion tak berkedip. Sehingga menimbulkan keinginan dalam hati saya untuk memilikinya. Rencananya, orion akan saya hadiah untukmu. Apalagi orion dapat mengumandangkan suara azan mendayu-dayu kalbu, bergema pada setiap jam salat. Pasti kamu senang menerimanya.
Saat orang asyik dalam salat lailnya, saya mengambil orion. Dia saya masukan dalam saku baju tebal agar tidak ketahuan orang bahwa sayalah yang mengambil orion di langit.
Sehabis salat. Orang-orang ribut. Karena tidak melihat orion lagi bersinar di jaluran langit dengan taburan semaraknya bintang gumintang. Mereka bertanya-tanya dalam hati.
Kemanakah gerangannya orion menghilang? Jangan-jangan dicuri mahluk raksasa di langit. Tidak mungkin. Bukankah selama ini belum terjadi hal semacam itu. Jangan-jangan… Ini pasti kerjaan orang usil atau orang gila cinta. Dengan mengambil orion untuk dipersembahkannya pada si pacarnya. Siapa orangnya? Biar bagaimanapun caranya untuk mendapatkannya, orion harus dikembalikan pada tampuk mahkotanya. Orion harus ditemukan lagi.
Mereka yang merasa kehilangan orion melaporkan perkara itu pada pihak kepolisian agar pihak kepolisian membantu mereka dalam menemukan orang yang telah mengambil orion. Tapi laporan mereka tidak digubris sama sekali dan dianggap mengada-ngada serta merekayasa suatu kejadian. Malahan mereka dianggap orang gila. Lebih menyedihkan lagi, mereka dianjurkan pihak kepolisian untuk melaporkan masalah tersebut pada spesialis penyakit jiwa. Psikiater. Memang edan !
Jalanan gugusan pelangi membentang lurus menuju daerah di mana kamu berada. Saya berkemas-kemas menyiapkan akomodasi perjalanan ini. Orion saya simpan rapi dalam tas kulit, yang tergantung indah di bahu, tidak pernah dilepaskan. Saya naik ekpres Cinta dan menyinggahkan saya pada pelabuhan Suka Bangun. Menggunakan oplet saya menuju tempat tinggalmu yang berada di Pesaguan Kiri.
“Assalamualaikum,” ketuk saya pada daun pintu.
“Waalaikum salam wr.wb,” sahutmu.
Seraut wajah manismu menyembul dari balik pintu.
“Hei Saif, masuklah dan silakan duduk,” serumu kegirangan.
Saya masuk dan duduk di bangku tamu melepaskan kepenatan sehabis perjalanan jauh.
“Bagaimana kabarmu, Saif?”
“Baik-baik saja Nit seperti yang kamu lihatlah. Kabarmu bagaimana Nit?”
“Baik-baik juga, Saif.”
“Kamu dalam rangka tugas ya ke sini?”
“Tidak Nit. Cuma ada keperluan khusus saja.”
“Keperluan khusus apaan?”
“Menjumpaimu. Melepaskan rasa rindu ini yang sudah bergelora seperti besarnya ombak Narai Kapuas,” tunjuk saya pada kalbu.
“Kamu masih seperti dulu saja. Suka sekali bercanda,” cubitmu pada lengan saya sehingga saya mengaduh kesakitan.
“Kalau menyubit kira-kira dong. Jangan sampai mengelupas seperti ini,” kata saya mengelus cubitanmu supaya rasa sakitnya berkurang.
“Ya.. deh. Oh ya Saif, kelihatannya kamu capek. Istirahatlah. Istirahat saja di kamar sebelah,” ucapmu kemudian.
“Ya… Nit ! Terima kasih atas pengertianmu,” jawab saya.
Saya masuk ke kamar sebelah yang tidak berjauhan dengan kamarnya.
Sayup-sayup suara orang bertadarus masih terdengar. Malam ini rupanya malam menyambut lebaran. Besok akan berdentang gong kemenangan bagi umat Islam. Hari yang penuh dengan suka cita. Hari yang memang ditunggu-tunggu umat Islam untuk kembali pada fitrah.
Keesokan harinya saya memberikan orion sebagai hadiah padanya. Dia menerimanya dengan rasa bahagia mendalam. Sebuah kecupan kemesraan mendarat di pipi saya.
“Terima kasih Saif atas oleh-oleh yang diberikan.”
“Sure…… All this is just special to you.”
“Lagaknya bicara bahasa Inggris segala. Padahal bahasa Inggrisnya cedokan.”
Saya hanya tertawa mendengar gurauanmu.
Si orion terdengar melantunkan lafaz tasbih, tahmid, dan takbir. Menyuruh kami segera pergi ke masjid untuk merayakan hari kemenangan umat Islam, lebaran.
Dengan berpakaian rapi dan semprotan bau harum parfum kesturi selalu menyebar kemana-mana, kami melangkah bersama-sama penuh keyakinan mantap.
Di depan pintu rumah. Kami melihat serakan pelangi di lintasan cakrawala biru. Tercerai berai. Tidak menyatu dalam satu aluran lurus panjang. Selalu memberikan keindahan.
Kami saling termangu. Lalu saling tatap dan melemparkan cahaya rembulan yang sudah kami miliki. Cahaya terang dewi rembulan berbagi rata sama sisi.
Kami saling mengikrarkan janji mega putih bahwa sepulang dari merayakan hari kemenangan umat Islam. Kami akan menyatukan serpihan pelangi menjadi utuh seperti sedia kala, agar dapat memberikan keindahan dan kebahagiaan pada umat manusia.
Maket mahligai abadi dengan berhiaskan kencana yang cerah.

Rantau Panjang, September 2003
~oOo~

0 comments: