Saturday, July 28, 2007

Kisah Tak Berujung

by: Pradono
Merah Putih tercabik-cabik di Bumi Kopyang
Lambangkan perilaku jahiliyah tak terhalang
Atas para syuhada yang rebah bersimbah darah

Terfitnah mendurhaka Jepang si penjajah

Merah Putih tercabik-cabik tercabik-cabik
Luluh lantak tercabik-cabik
Sementara tiap jiwa setiap masa diam tak berkutik
Entahkah kesedihan dan keperihan menitik
Ataukah bisu seribu bahasa sejuta muslihat dan taktik

Inikah balas jasa anak bangsa yang meraup jaya
Atas nama para syuhada tak berdaya
Ya, apatah mereka tak berdaya
Di selaput pandang mata tak bermata
Di gumpal hati mati tak bernyawa
Di lubuk kalbu tak bermalu para pendurhakanya

Mandor, kausingkap kedurhakaan anak bangsamu
Kaulah tragedi setiap generasi sepanjang waktu
Kaulah kisah tak berujung para anak cucu

Apatah para syuhada harus bicara
Atas angkara yang merobek Merah Putihnya


DI SEBUAH KAWASAN. HAMPARAN LUAS PASIR PUTIH. LUBANG-LUBANG MENYERUPAI DANAU TERSEBAR DI BEBERAPA TEMPAT. DI KAWASAN ITU PULA, LEBIH DARI DUA BUAH MESIN-MESIN PENAMBANG EMAS TANPA IZIN SEDANG BEROPERASI. TERLIHAT BEBERAPA ORANG PEKERJANYA SEDANG SIBUK MENGAMATI HASIL GALIAN MESIN TERSEBUT. TANPA SEPENGETAHUAN PARA PEKERJANYA, BEBERAPA TOKOH YANG ENTAH DATANG DAN BERASAL DARI MANA, TAMPAK SEDANG BERDEBAT. ENTAH APAPULA TEMA DAN TOPIKNYA.

+ Apa yang dapat ditinggalkan bagi anak cucu ketika permukaan mayapada hanya hamparan kegersangan?

- Ah. Kau hanya berfilsafat dengan retorika murahan. Apa kau tak punya nalar yang lebih berbobot dan realistis!

+ Apa?

- Ingat, kawan! Kita menginjak bumi kasat mata. Kita berdiri di atas hamparan realita. Aktifkanlah sinyal pancainderamu. Bukalah telinga, dengarkan gemuruh masa depan lewat mesin-mesin pencipta lembar-lembar kekuasaan ini.

+ Apa!

- Apakah tak kaurasakan di seluruh urat nadi mereka mengalir denyut-denyut masa depan? Apakah tak kaudengarkan gemerincing kemilau kemakmuran? Ah, kawan. Engkau terlalu sentimentil. Apalah artinya retorika tanpa masa depan!

+ Apakah aku tidak sedang bermimpi?

- Kawan. Sudah aku katakan kita berdiri di atas hamparan realita!

+ Jadi?

- Kawan. Engkau telah mempertontonkan kebodohanmu sendiri. Bagaimana engkau sanggup berjuang dan memperjuangkan. Bisamu hanya berpatah-patah kata. Membuka cerita tanpa alur dan kesimpulan. Apa? Apa! Jadi? Hanya itu yang kaubisa katakan. Ah. Jenis sepertimu inilah makanan empuk para nafsu berkuasa. Engkau tak lebih seekor lalat comberan yang sekali jentik, .... plek, plek, plek ... mampus! Jadi, aku tak salah. Engkau hanya menjual retorika murahan ...!

Rupanya sang dewa realita telah turun dengan wejangan-wejangan agungnya. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu, gerangan apa yang telah terjadi. Apakah aku telah kehilangan tema. Boleh aku nimbrung dalam majelis agung ini ....

+ Dengan penuh ketulusan. Siapapun berhak berada di sini. Inilah ruang tanpa kelas dan status. Ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Ruang tanpa prasangka.

Terima kasih, kawan-kawan. Tampaknya realita telah pula menjelma menjadi dewa yang begitu mudahnya masuk ke segenap ruang jiwa. Jiwa yang hampa seperti kawan kita yang satu ini.

+ Realita menurut kawan kita ini adalah realita itu sendiri. Tak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya, tapi cukup disaksikan saja sehingga tak lagi nyata di selaput pandang mata tak bermata. Tak lagi bermakna di gumpal hati mati tak bernyawa. Tak lagi bercahaya di lubuk kalbu tak bermalu. Apakah lagi ketika meluncur dari suara bijak sang dewa realita kita ini.

- Apa!?

Ah, ke mana arah pembicaraan ini. Kudengar tadi katanya kita ini berada di ruang tanpa prasangka, tapi rupanya kalian semakin jelas dan tegas berpijak pada dua kutub yang berbeda. Rupanya aku telah ketinggalan orientasi. Baiklah, ada yang ingin menjelaskan....?

- Awalnya, adalah soal manusia dan alam lingkungannya. Pencipta mereka telah memberikan anugerah hidup dan kehidupan bagi keduanya. Kedua pihak ini masing-masing diberikan amanah, hak dan kewajiban. Tentu dengan konsekuensi masing-masing pula.

+ Jelas maksudnya. Siapa berbuat dialah yang memetik hasilnya. Itulah yang disebut realita oleh kawan kita ini. Jadi, menurutku tinggal bagaimana manusia itu sendiri bisa memisahkan mana yang benar dan tak benar. Mana yang haknya dan mana yang hak pihak lain. Bumi dan segala isinya telah disediakan oleh Sang Maha Pencipta sebagai sumber rezeki. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya.

- Ya. Realita adalah realita yang sudah semestinya bermakna hasil yang dipetik. Pihak manusialah yang paling bertanggung jawab atas segalanya karena merekalah yang dibalut oleh keinginan dan nafsu. Sedangkan alam sekalipun juga bernama makhluk, agaknya lebih berada pada posisi pasif dan pasrah. Mereka ibarat barang-barang stok dan pelayan sekaligus. Itulah realita. Lagi-lagi ... re-a-li-ta. Lalu, apa yang mesti kita perdebatkan lagi. Semua telah berjalan sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Penciptanya.

+ Sekeliling kita berdiri ini hanya hamparan pasir putih. Lubang kawah di mana-mana. Deru suara mesin-mesin itu kedengarannya semakin bernafsu menyedot kemilau isi bumi: masa depan dan kemakmuran menurutmu, bukan? Pohon-pohon yang berdiri itu kelihatannya takkan bisa lebih lama lagi mempertahankan dirinya dan segera rebah. Akhirnya, takkan lebih lama pula para manusia dan nafsunya akan memetik hasil perbuatan mereka.

Bumi mana yang kita pijak ini?

- Mereka menyebutnya Mandor.

Mandor ... Mandor ... Mandor. Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu. Man-dor! Ya. Mandor! Apakah yang kaumaksudkan Mandor itu adalah ladang pembantaian satu generasi Negeri Khatulistiwa bernama Kalimantan Barat yang dilakukan oleh fasis Dai Nippon itu?

+ Tepat sekali! Tapi rakyat negeri ini lebih mudah menyebut fasis itu dengan penjajah Jepang. Menurut sejarah negeri ini, penjajah inilah yang telah membantai satu generasi dari berbagai kalangan, status dan profesi sebagai tokoh-tokoh unggulan rakyat negeri ini, yang mereka anggap telah mendurhaka kepada Dai Nippon.

Apakah ini alasan realistis para fasis itu?

- Maksudmu?

Ya. Apakah tidak lebih realistis bahwa fasis itu sesungguhnya mengincar kandungan isi bumi negeri ini, yang Anda sendiri menyebutnya sumber kemakmuran dan masa depan itu? Mereka adalah penjajah! Bukankah mereka ketika itu sedang berperang? Mereka adalah musuh bagi musuh yang lain! Bukankah mereka perlu modal dan sekaligus masa depan untuk dibawa pulang ke negeri asal mereka setelah perang berakhir? Boleh jadi mereka telah mendengar bahwa isi perut bumi Mandor ini berkemilau emas. Ah, Anda seperti tak paham saja tabiat para penjajah.

+ Ya. Kukira ada benarnya juga. Mereka mungkin terlalu percaya diri bahwa merekalah sang pemenang. Ternyata sejarah berbicara sebaliknya. Pembantaian rakyat negeri ini adalah realita yang lain lagi. Mereka anggap inilah alasan realistis atas realita yang lain. Sebut saja suatu ketakutan dari terbongkarnya sebuah skenario besar atas niat sesungguhnya Dai Nippon menguras isi perut Mandor sehingga dengan berbagai tipu muslihat mengajak para petinggi negeri ini dengan alasan bermusyawarah untuk memikirkan nasib dan masa depan negeri ini karena akan dijajah oleh bangsa lain.

Padahal sesungguhnya pihak Dai Nippon itu telah kalah karena negeri asal mereka telah dibumihanguskan oleh tentara Sekutu, musuh yang lain bagi mereka. Jadi, mereka membantai para tokoh unggulan dan puluhan ribu nyawa yang lain itu agar tidak memberontak karena mereka telah kehilangan kekuatan. Begitu maksud Anda?

+ Ya! Begitu kira-kira.

- Lalu, kesan apa yang kalian tangkap?!

+ Rupanya ada juga retorika murahan andalanmu.

- Apa peduliku! Kau sendiri mengatakan bahwa ini adalah ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Tidakkah kausaksikan bahwa generasi berikut negeri ini lebih bernafsu menggali isi perut buminya dibandingkan menggali kebenaran sejarah yang menimpa para patriot pendahulunya. Apakah ini bukan kelanjutan propaganda skenario Dai Nippon itu? Apakah ini bukan perlambang bahwa perilaku jahiliyah tetap akan abadi dan tak terhalang? Padahal para syuhada mereka rela rebah bersimbah darah demi mempertahankan setiap jengkal milik mereka. Nama apa yang pantas kausandangkan atas perilaku generasi penerus mereka ini?

+ Baik. Lalu apa semestinya yang dilakukan generasi penerus para syuhada negeri ini?

- Seperti katamu, retorikaku murahan. Aku tak ingin menggurui mereka apa yang semestinya mereka perbuat. Mereka adalah generasi para cerdik cendekia negeri ini. Mereka seharusnya sudah mengerti apa yang seharusnya. Bukankah mereka telah diajarkan lewat sebuah adagium bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya”? Bukankah itu sudah cukup menjadi pedoman bagi mereka?

Begini saja, kawan-kawan. Rakyat negeri ini adalah generasi para pejuang. Biarkan mereka terus memperjuangkan kehormatan negerinya. Para pendahulu mereka telah rela mengorbankan jiwa raga demi Ibu Pertiwi-nya. Tentu saja, di antara mereka ada yang hidup hanya demi memenuhi keinginan nafsu mereka. Untuk itu mereka disebut para pengkhianat bangsa sendiri. Menurutku, di atas bumi yang kita injak ini tengah berproses apa yang kusebut neokolonialisme. Mungkin kalian lebih suka menyebutnya neoimperialisme. Atau apalah namanya itu.

+ Ironis, memang. Bangsa yang katanya telah merdeka ini ternyata dijajah dan dikuras kembali oleh saudara sebangsanya. Mungkin sebutan yang tepat bagi mereka ini adalah kolonial berambut gelap. (Mandor, 9 Mei 2004)

Thursday, July 26, 2007

SURAT UNTUK SARIFUDIN

by : deki triadi

seperti ceritamu malam ini
aku juga ingin berbagi
mungkin kau sangsi tadi siang aku melewati kamu
melemparkan kesombongan lama yang tak pernah terlepas
sejak dulu lagi sampai pada titik kulminasi keangkuhan yang mendera
dikisikisi hari terus berlari berlomba mencari yang terbaik diantara kita

seharusnya kau tetap disini
menemani pertapa tua yang setia menunggu embun atau hujan
menjadi permandian kita ketika ditarik ke rawa dan paya yang melintas diotak gelisah

seperti ceritamu malam ini
aku ingin berbagi
kesangsian melintas lagi
dibawa gagak melepaskan sayapnya ketika menarik kamu yang setia
menemani malam disuguhkan cerita sama dari bibir mungil terselip sebatang rokok

seperti ceritamu malam ini
aku berbagi
bahwa kamu mulai mengukur resah yang meluap melebihi banjir
pernah kita nyatakan disepanjang kapuas berenang gadis muda
membelai malam seperti ular yang setia menunggu adam dan hawa

“mungkin kita tak usah berbagi,
katakanlah malam ini kita tak pernah bertemu”

Pontianak 25 September 2001

BISU

by : deki triadi

semuanya memudar kini
tak ada lagi kata sepakat
lalu satu persatu lari
: menghilang atau menyusun strategi
kebisuan adalah tanda terindah
mungkin kita berdiam sebentar
lalu ngoceh, ngoceh, dan ngoceh
sampai kering air dibakbak sampah
dan pada kuburan semakin sepi
: memang sejak dulu peziarah
takut melewati rumah abadi ini
bila nurani yang kita tanya telah melewati jam malam
bagi seorang gadis yang belajar berjalan lalu terjatuh
ketika tersandung sampah dan batubatu
apakah harus kita bimbing kembali?
: mungkin kita perlu merenungi diatas kuburan bahwa kebisuan
adalah tanda tanya terindah

Pontianak, 2002

LORONG GELAP

by : deki triadi

menyusuri lorong gelap ini
ramarama berlomba mengejar lampu merkuri
: ayo bang, singgah sebentar jak
tadak mahal be, cume dua puluh ribu
asap rokok
bibir mungil
sudut kumuh
ranjang lusuh

ditengah birahi yang memuncak
dua wanita menarik mimpi tentang
adzan sore tadi yang bercanda didada
ibu yang berpesan
: nak, jangan na’ maen ke tempat tu ye
banyak ular tedong. bahaye
pacar yang ditinggalkan
: yang, telpon kamek malam ni ye! awas kalau tadak

segelas kopi telah bermain diotak
suarasuara terus merangsang naluri hewan
(alangkah indahnya ibu, adzan, atau menelpon malam ini)

Pasar tengah, Januari 2002

RAJA MIDAS

by: deki triadi

negeri ini telah melahirkan moyangku
:gemah ripah lohjinawi
kakekku
bapakku
aku
sentuhan midas telah merambah kota dan desa
hingga
air yang ada rabuk menggerogoti sendi
memporakporandakan tenaga ketika seorang kuli pelabuhan
datang lagi dalam botol aqua
maka tak ada lagi embun pagi menjadi jampi
menarik kita keperadaban masa lalu

Pontianak, Januari 2002

MEMORABILIA

by ; deki triadi

ada bayangmu dipekat ini
malam berkeluh kesah
pada bangunan usang dan bangkai tua
: dibatas kaki langit ini
waktu kita ukir tak pernah berhenti

Pontianak, 151001

Tuesday, July 24, 2007

F e n o m e n a l
Oleh : M. Saifun salakim


“Kita mau kemana, Ndi?”
“Tenang saja, Far. Kamu jangan khawatir. Kita akan ke tempat yang indah. Tempat yang tak pernah terpikirkan dalam benakmu.”
“Busyet. Jauh sekali tempat itu,” umpatku.
“Jangan-jangan kamu membawaku ke tempat yang tak benar.”
“Tak mungkinlah, Far. Aku akan menjerumuskanmu. Kita kan sudah berteman lama sekali. Masak aku tegaan padamu. Tak mungkinlah. Percayalah padaku, Far,” yakinkan temanku. Layaknya seorang jurkam meyakinkan publiknya.
“Percaya aku memang percaya. Tapi……. Kamu kadang-kadang punya niat menjahili juga.”
“Ini tidak. Aku serius kali ini. Aku ingin menunjukkan padamu sebuah realita kehidupan yang menarik. Yang selalu disisihkan. Untuk itu, kamu ikut sajalah. Ini cocok sekali untuk bahan analisis tesis otakmu. Akukan tahu kamu suka tantangan. Pasti yang kutunjuki ini dapat menyenangkanmu. Menyenangkan kajian logikamu.”
“Tahu saja kamu, Ndi kegemaranku,” cerocosku.
~oOo~

Aku dihempaskan pada realita ini. Realita kehidupan di Rangga Sentap. Sudah camuh.
Malam ini hingar bingar musik sejenis disko menikam jantung. Terbelalak. Hilir mudik burung-burung liar mengundang hasrat. Burung-burung liar yang selalu terbang di malam hari dengan memamerkan kemolekan tubuhnya. Dari kepala sampai kakinya. Mengajak siapa saja yang ada di situ untuk berbuai kasih demi sesuap nasi, katanya. Atau bisa jadi demi untuk menikmati kenikmatan semu yang fantastis.
Bau minuman beraroma kelas tinggi menyengat hidungku. Yang duduk bersama teman. Di salah satu warung remang-remang Rangga Sentap. Warung yang satu ini tergolong sedikit bersih dari kecamuhan. Yang letaknya tidak jauh dari bibir sungai Pawan. Karena di warung ini tidak memberikan ruangan untuk fly, geliat malam, dan sejenis kenikmatan semu lainnya.
Burung-burung liar itu asyik bertengger di sepanjang warung remang-remang Rangga Sentap. Dengan penuh rupa dan warna yang menarik dan memukai rasa. Pamer sensasi semuanya. Dalam rangka mengikat pelanggan. Orang-orang yang berkantong tebal. Biar dapat menciptakan terjadinya adu kekuatan tenaga dalam demi mengeluarkan keringat berkuah-kuah. Mencari siapa pemenangnya dari pertarungan tersebut. Seperti pertandingan tinju, sepak bola saja he… he…
Mengapa realita seperti ini harus ada? Padahalkan segala minuman keras, prostitusi, sudah dilarang pemerintah. Mengapa di sini masih ada prostitusi dan minuman keras? Apakah daerah ini tidak pernah dibersihkan dari kecamuhan?
Sebenarnya sudah ada. Tapi kekuatan sopoilah yang membuat mereka masih betah bertahan. Mengapa bisa jadi begini? Tidak bisakah kebersihan hadir di sini? Apakah selamanya daerah ini menjadi lingkaran dua sisi mata uang yang berbeda? Di satu sisi bernapaskan kebenaran dan satu sisinya lagi beraromakan kepalsuan. Apakah selamanya daerah ini pada waktu malam harinya menjadi dunia geliat malam tanah Kayong? Apakah? Mengapa? Apakah? Mengapa? Apakahhhhhhhhh?????
~~~oOo~~~

“Ndi, itu betulkah surau?” tunjukku pada sebuah surau yang terpandang tajam oleh mataku. Letaknya dekat bibir sungai Pawan. Tidak jauh dari warung tempat kami mangkal.
Suraunya terbuat dari dinding semen dan berlantaikan semen. Puncaknya membentuk kubah. Berdiri megah di antara kecamuhan. Ukuran bangunan surau itu kurang lebih 6 X 6 meter.
“Betul sekali. Memangnya ada apa kamu menanyakan hal itu? Apa ada yang unik? Aku lihat bentuknya sama dengan surau yang lain. Apa uniknya? Dasar writer, selalu ada saja yang diamatinya,” jawab Andi sambil sedikit mencolek pinggangku.
“Uh… Yang begini ni jadi fenomenal,” gumamku sembari menghindari colekan Andi.
“Sorry… colekannya meleset. Habis bukan penembak jitu sih,” kelakarku.
“Mau ditembak yang lebih jitu ya?” ujar Andi yang sudah siap melakukan tembakan tangannya. Tangannya terlihat terkembang padaku. Dengan tangan terkembang begitukan akan memudahkannya menuju tembakannya ke sasaran urat geliku. Tak bisa menghindar. Karena ruang penghindaran diblokir. Jalan satu-satunya adalah…
“Tidak mau ah!” tahanku. Karena aku rasakan cukup kelakar ini.
“Far, tadi kamu bilang bahwa surau itu menjadi fenomenal. Betulkah itu? Apa maksudnya?” tanya Andi ingin tahu dan penasaran. Mukanya beralih menatapku serius. Betul-betul ingin mendengar penjelasanku.
Mengapa surau itu begitu fenomenal di daerah kecamuhan ini? Mengapa surau itu begitu unik dalam kaca mata pandanganku? Apa keunikkannya? Padahalkan bentuknya sama dengan bentuk surau yang lain. Berbentuk bangunan luas yang mendalam dan ada kubah di puncaknya. Dari sudut mana aku menilai surau itu menjadi fenomenal? Itulah yang ingin diketahui Andi. Karena selama ini belum ada yang mengatakan itu. Ia saja yang sudah sering mangkal dan bertemu surau itu seribu bahkan sejuta kali, tak pernah menemukan kefenomenalannya. Aku yang baru saja bertemu puluhan menit sudah bisa menemukannya. Apa ia tidak penasaran.
“Ndi, cobalah kamu pikirkan. Surau ini begitu megahnya berdiri di daerah ini. Daerah yang penuh kecamuhan. Kamukan tahu bahwa surau adalah tempat muslim melakukan ibadahnya. Bisakah khusyuk orang-orang yang beribadah di antara kebisingan musik yang hingar bingar, kegaduhan manusia bercinta malam, dan kesenangan virus-virus kemiangan merusak kulit keimanan.”
“Ya sih, Far. Tapi… Saat orang-orang di sini akan melaksanakan ibadahnya, semua musik dan kegaduhan dihentikan sementara. Itu peraturan di sini yang tak pernah dibantah. Setelah itu baru dilanjutkan lagi.”
“Baguslah kalau memang begitu adanya. Ada toleransinya. Tetapi tetap saja ada kecenderungan negatifnya. Tak bisa menghapus image yang jelek dari lapisan masyarakat di sekitar ini. Jangan-jangan orang-orang yang ada di sini dalam melakukan kebaikan dan beribadah hanya sebagai tameng keburukan. Apa tak menyakitkan. Itulah yang aku anggap fenomenal. Selain itu, kefenomenalan lain adalah mengenai keberadaan surau ini yang yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai media dakwah bagi orang-orang yang mau berpikir dakwah. Untuk menyadarkan orang-orang di sini yang terjebak dalam kenikmatan semu agar bisa kembali pada jalan yang benar dan bisa menikmati kenikmatan hakiki, yaitu tulus dan sejuknya untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tenang dalam setiap aktivitas ibadah. Selalu akan berusaha mencari rezeki yang halal. Terus akan selalu menyukuri nikmat Tuhan dengan ceria dan lapang dada. Hingga hidup akan kita rasakan tidak terlunta-lunta. Karena kebahagiaan sejati telah hadir dalam hati kita. Kalau hati sudah bahagia dalam segala pernak-pernik hidup maka jiwa pun juga akan merasakan kebahagiaan. Memang agak berat untuk menjalankannya. Tapi kalau kita ingin mencoba dan berusaha serta tidak lupa berdoa memohon rida-Nya. Insya allah, semua itu akan terlaksana. Asalkan hal itu dilakukan dengan sabar. Belum sampai pada tujuan belum berhenti.”
“Betul juga katamu, Far. Baru kali ini aku mengerti kefenomenalan surau ini. Mengapa tak sedari dulu ketemukan hal itu ya?”
“Dasar lamber. Selalu telmi saja kerjaanmu, Ndi,” sentilku dengan senyuman ramah. Sedikit tertawa. Tawa terkulum.
“Lamber-lamber sedikit tak apalah. Asal tak bermulut ember sepertimu. Telmi-telmi sedikit ada untungnya karena saat ini perutku sudah keriting. Aku mau kamu jamin aku makan indomie. Perutku lapar nih,” cengir Andi.
“Huh…. Dasar kucing batu. Kerjaannya hanya makan melulu,” kataku.
Andi hanya terkekeh-kekeh. Ia tertawa riang.
“Tak berpengaruh. Yang pentingkan aku tak mati kelaparan. Bisa sial jadinya kalau aku mati kelaparan. Kalau kamu terserah…..”
~oOo~

Setiap malam aku mangkal di daerah Rangga Sentap. Dunia malam Kota Kayong. Tentu aku mangkal di warung biasanya, warung Pak Sukir. Warung yang bersih dari geliat malam dan kecamuhan.
Aku ingin mengetahui lebih jauh lagi kefenomenalannya yang ada. Selain pasar tradisional yang beralih fungsi menjadi pasar desah-desah, mabuk-mabukkan, judi, dan disko-diskoan, dan suraunya yang megah berdiri kokoh di atas tanah kecamuhan. Sungguh krusial untuk dipikirkan logika otak.
Malam ini aku sedikit beruntung. Aku ditemani Vita, salah satu burung liar Kota Kayong. Aku cuma minta dia menemaniku ngobrol. Berapa tarif ngobrolnya akan kubayar kontan. Dia menyanggupinya. Malam ini dia mengkhususkan untuk free dari kerjanya. Aku ngobrolkan tentang profesinya. Walau demi semua aku harus mentraktirnya habis-habisan. Aku tak perduli. Terpenting informasi penting akan kudapatkan. Tapi dalam hati aku sedikit kesal. Karena dari pembicaraan dengannya aku tidak mendapatkan apa yang ingin kudapatkan. Walau begitu aku berusaha tak menampakkan kekecewaan itu.
Yang membuat aku tertarik. Dia menceritakan padaku bahwa dia mempunyai seorang teman. Temannya adalah anak orang kaya tetapi terjebak dalam lingkaran setan ini. Padahal kalau ingin mengejar kekayaan. Sudah dia miliki. Sebenarnya dia mengejar apa? Kepuasan. Mungkin… pradugaku sementara. Ini menarik sekali. Temannya Vita juga seorang writer, berprofesi sama seperti diriku. Ini lebih menarik lagi. Sebenarnya apa yang dia inginkan ya?
“Kalau Bung Safar mau jumpa dia. Aku siap melobikannya untuk Bung. Mau Bung Safar?” kata Vita.
“Boleh. Aku sangat mau. Katakan padanya. Aku berharap sekali bisa jumpa dengannya,” jawabku.
“Akan aku usahakan Bung. Mudah-mudahan saja dia mau. Tetapi tarifnya sangat mahal Bung. Tujuh juta lima ratus ribu. Siap Bung?”
“Masalah uang bukan persoalan bagiku, yang penting dia bisa kuboking. Aku siap membayarnya kontan,” tegasku.
“Okelah kalau begitu, Bung Safar. Nanti besok malam tunggu saja dia di sini kalau dia sudi menemui Bung Safar. Kalau dia tak sudi, Bung Safar jangan berkecil hati,” kata Vita memberikan kepastian. Aku merasa lega. Aku berdoa semoga saja dia sudi menemuiku. Aku mulai menerawangkan pikiran sebentar.
Tuhan, temukanlah aku dengannya. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Dialah yang sungguh kurasakan memiliki fenomenal lebih di antara semuanya. Fenomenal daerah Rangga Sentap.
~~oOo~~

“Mengapa dia keluar dari surau? Apakah dia burung liar Kota Kayong yang sudah insaf?” desahku.
Mataku tak luput memperhatikannya. Karena rugi kalau kulepaskan keanehan ini. Keunikan yang semantis. Tak terasa dia telah berdiri di depanku. Aku kaget luar biasa. Dia adalah orang yang pernah kukenal dua tahun yang silam. Memori masa lalu terfilmkan lagi dalam benakku. Bagaimana keindahan dan kedamaian pernah kami rasakan berdua.
Keindahan baru terasa hambar ketika kami berpisah untuk menuntut ilmu. Dia yang pergi jauh meninggalkanku. Ke negeri seberang. Beberapa kali kami masih sempat berkirim surat dan berbagi cerita manis. Namun setelah surat yang kedua puluh tujuh, tak ada lagi surat yang berikutnya. Aku mulai cemas. Mungkihkah kamu sudah melupakanku? Atau sibukkah kamu dengan kuliahmu? Atau kamu sudah punya kekasih baru? Aku tak bisa menerkanya. Walau rindu masih mengental. Aku mencoba berusaha menepis bayanganmu. Agar aku tidak terlalu menyesak dalam kerinduan. Tapi aku tak bisa. Karena kamu sungguh berarti bagiku. Kadang aku mengeluh pada Tuhan, semoga kamu melayangkan kabar lagi dari sekian ribuan komunikasi yang terputus ini. Tapi apa yang kuharapkan tak kunjung datang juga… Aku hanya bisa memendam rindu. Berapa lama aku mampu bertahan?
“Ninik….,” seruku tergeragap. Terputus rasa suara di tenggorokkan. Ada rasa sedih bercampur senang menghantam karang hatiku. Sedih karena kamu terjebak dalam lingkaran setan seperti apa yang dikatakan Vita. Senang karena aku bertemu denganmu. Sekian waktu selalu kurindukan. Jika sekiranya kamu akan kembali kepadaku. Mampukah jiwaku menerimamu…
Ah, aku belum bisa memutuskannya.
Hi… hi… Ninikku tertawa kecil. Dia menertawakan apa. Menertawakan kelucuanku. Kelucuan apa? Aku berpikir, aku tak lucu. Apanya yang lucu?
Aku masih senang melihat tawamu. Tawamu masih riang seperti dulu. Tawa kecilnya tak pernah berubah. Cuma… hatiku mulai kebat-kebit.
“Safar, jangan kaget begitu dong. Masak jumpa doi yang sudah lama dirindukan kaget drastis begitu. Biasa saja. Silakan duduk. Aku tak ingin kekasihku mati berdiri karena kelamaan jadi robot,” katanya mempersilakanku.
Seharusnya akulah yang mempersilakannya duduk. Ini malahan sebaliknya. Tak wajarkan tamu mempersilakan tuan rumah duduk. Sudahlah. Hal itu tak perlu digubris.
Aku duduk di sebelah Ninik yang telah duduk duluan. Duduknya begitu manisnya. Kami saling berhadapan. Mata beradu pandang. Menelisik kedalaman hati masing-masing. Masih adakah gelora rindu itu di dada?
“Kamu, betulkah Ninik yang kukenal dulu?” sergahku untuk memastikan.
“Iyalah. Memangnya aku hantu. Aku masih Ninik kekasih hatimu,” jawabnya masih menyunggingkan senyuman termanis dan terindah. Aku membalasnya.
“Nik, aku bingung dengan kamu saat ini. Bisanya kamu terjerumus ke lingkaran setan ini dan menjadi burung liar pencari kenikmatan semu. Padahalkan kamu selalu alergi dengan hal ini. Itu ucapan yang pernah kamu ucapkan padaku waktu kita masih bersama dulu.”
“Ya, aku tahu itu. Aku tak menyalahkanmu mengatakan dan berpikiran seperti itu. Karena kamu telah mengetahuinya dari Vita. Wajar saja kamu menduga seperti itu. Syukurlah Vita telah melakukan tugasnya dengan baik. Kalau kamu ingin kejelasannya. Inilah kebenarannya. Semua yang dikatakan Vita mengenaiku adalah suruhanku. Itu kulakukan hanya ingin mengetahui sejauhmana reaksimu padaku, yang sudah hampir tiga tahun tak berjumpa. Kamu masihkah perhatian padaku? Rupanya kamu masih memilliki itu. Aku sungguh beruntung. Tak sia-sia juga aku setia padamu. Sebenarnya Far, kamulah yang telah terjebak olehku?”
“Bukan aku yang telah terjebak oleh ucapan Vita, tapi kamulah yang terjebak ke lembah nista?”
“Far, aku tak pernah akan terjebak ke lembah nista. Aku tak akan pernah jadi burung liar mengejar kenikmatan semu. Aku memasuki lingkaran kehidupan mereka karena aku hanya ingin tahu jauh tentang mereka. Bagaimana mereka menjalani kehidupannya dan seluk-beluk lain yang sering menyakitkan dan memojokkan mereka. Aku hanya mengumpulkan bahan untuk tulisanku sama seperti yang kamu lakukan saat ini,” jelasnya begitu gamblang.
Aku hanya terdiam. Hanya otakku saja yang terus berputar, tiada berhenti. Benarkah yang dia katakan itu atau suatu alasan untuk menutupi keburukan perilakunya?
“Far, aku tegaskan padamu bahwa aku bukanlah manusia bodoh yang rela menceburkan diri ke lembah nista. Otakku belum sinting, Far. Satu hal yang harus kamu ketahui bahwa sampai saat ini aku masih menyintai dan menyayangimu. Semua yang kulakukan ini agar aku selalu bertemu dan ingin bersamamu sampai kapanpun.”
Mantap sekali hal itu diutarakannya dengan ekspresi tenang, murah senyum, dan sederhana.
Ah, aku tambah bingung.
Rupanya Ninik sungguh menyayangiku. Mengapa tak sedari dulu sayang ini dia utarakan? Betulkah ini sayangnya? Sekian lama menghilang dariku tanpa pesan. Sekian lama membuatku perih dan mulas menanggung sayang padanya. Sekian lama membuatku menjadi gila karena rindu berat padanya. Itukah sayang?
Rangga Sentap? Mengapa semuanya menjadi fenomenal?
Pasarmu. Suraumu. Ninikku.
Burung liar pencari kenikmatan semukah dia? Atau dia adalah Ninikku yang dulu penuh dengan keasliannya? Betulkah dia menyayangiku setulus hatinya ataukah dia hanya berpura-pura?
Diriku? Mengapa kamu buat dalam fenomenal juga?
Dihempas oleh keragu-raguan. Dihempas oleh ketidakmengertian. Dihempas…
Teman-teman setiaku berikanlah aku sebuah solusimu. Bagaimana aku harus berbuat dan bertindak menghadapi fenomenal ini? Kirimkan saja solusimu ke emailku : Udhien_78@yahoo. Com……

Pontianak, 23 September 2006

Bercinta dengan Laut
Oleh: M. Saifun salakim

Subuh baru saja usai di ranting waktu. Deritan senyumannya mendorong tanganku melipat sajadah yang bergambar masjid coklat. Yang kugunakan dalam salat subuh barusan. Sajadah itu kuletakkan di meja belajar dengan penuh kerapian. Seterusnya kutinggalkan kebisuan kamar. Tak ingin sedetik pun tertinggal untuk menikmati lautan.
Derap langkahku yang kasar terbaca oleh ibu. Sama. Sudah selesai juga melaksanakan salat subuh. Agar tidak kepergoknya kutambah kecepatan langkah ini.
Aku tak ingin ibu bertanya macam-macam. Mengapa subuh ini aku keluar? Apa yang kucari di subuh ini? Mengapa aku tidak membantunya bekerja di dapur? Menyiapkan peralatan untuk membuat kue yang akan dititipkan di kantin Ibu Makrifah. Menambah penghasilan setiap harinya. Tak ingin.... capek aku menjawabnya. Nantinya....
Aku juga heran pada diriku sendiri. Mengapa subuh ini aku bersemangat untuk pergi ke lautan. Ingin melihatnya. Ingin memandangnya. Seakan jiwaku dituntun oleh kekuatan tak terlihat. Kekuatan apa ya? Kekuatan siluman atau kekuatan malaikat? Sepertinya aku ceria saja menuju ke sana. Seakan tidak ada beban penderitaan yang kubawa. Seakan-akan aku juga akan mendapati kekasihku yang lama kunantikan dalam seribu kerinduan. Kerinduan untuk menyatukan perasaan yang sudah lama membeku biar mencair lagi.
Subuh ini. Sungguh. Aku tak pernah bisa memahami maknanya. Aku diikat rasa indah mendalam. Dengan menyaksikan riak air lautan yang tenang tak beriak mendayung bahteranya dengan damai ke pantai. Memerciknya pelan-pelan. Seperti jatuhnya butiran embun di dedaunan hijau pagi hari. Ia membongkar muatannya berupa kedamaian dan kesegaran meruakkan jiwa ke langit kayangan. Aku semakin terhanyut dibuai perasaan damai. Apalagi senandung angin bernyanyi dengan merdunya. Mengajakku untuk bernyanyi. Aku mengikutinya tanpa protes apapun. Tanpa aku ketahui bahwa waktu terus saja dimakan peredarannya. Sehingga ia mulai pamit diri. Ia ingin istirahat sebentar di peraduannya. Melemaskan sendi-sendi tubuh yang pegal linu biar pulih kembali seperti apa adanya.
Aku merasa kecewa. Sungguh kecewa. Karena terlalu singkat subuh indah ini berlalu dari kenanganku. Coba saja tiap daur yang ada selalu menampilkan subuh indah begini dengan suasana panorama lautan juga seperti ini. Sudah dipastikan aku tak akan kemana-mana. Aku akan terus berdiam diri di sini. Berkeluarga. Beranak pinak.
Padahal sebenarnya sebelum aku berjumpa panorama lautan yang begitu indah di subuh ini. Aku paling membencinya. Aku paling alergi dengannya. Aku mual dan muak setiap kali teman-temanku menceritakan keindahannya. Karena pemikiranku waktu itu bahwa lautan tak pernah memberi kenikmatan apa-apa padaku. Lebih enaknya aku menikmati daratan dan menaklukan keperkasaannya yang selalu menantang adrenalinku, terbangkitkan. Menggelutinya. Sampai ia menyatakan menyerah setelah kutaklukan. Karena aku lebih perkasa darinya.
Kalau teman-temanku ingin mengajakku rekreasi laut atau rekreasi untuk menikmati keindahan pantai, aku selalu menolaknya secara tegas. Aku sungguh membencinya. Sampai mati pun aku tak akan mau sudi menikmatinya. Mengapa aku terlalu membencinya? Mungkin jawaban yang dapat kuberikan adalah lautan bagiku begitu angkuh dengan keluasannya. Lautan terlalu rakus dengan kedalamannya. Lautan terlalu beringas dengan kekuasaannya. Secara otoriter memaksa manusia untuk mengidolakannya. Pokoknya lautan begitu terlalu.... Teman-temanku hanya mengurut dadanya dan memberikan aku sebuah gelar, manusia abnormal. Antipati pada keindahan lautan yang lebih yahut daripada daratan.
Aku akan marah kalau mereka berani membandingkan keindahan lautan dengan keindahan daratan. Apalagi menjelek-jelekkan daratan yang selalu kupuja-puja seperti pangeran yang selalu memuja-muja putri nirwana.
Teman-temanku memintaku berpikiran bijaksana. Jangan terlalu fanatik buta. Dengan hanya mengidolakan keindahan daratan. Teman-temanku memberikan argumennya bahwa keindahan di dunia ini terdiri dari dua keindahan, yaitu keindahan lautan dan keindahan daratan. Dua keindahan itu selalu berjalan beriringan tapi tak pernah bertemu. Kapan ya dua keindahan itu akan bertemu?
Karena tak bisa meruntuhkan keteguhan imanku yang selalu setia memegang prinsipku yang hanya mengidolakan keindahan daratan. Akhirnya mereka mencapku manusia mati suri. Badanku yang sebelahnya mati. Badanku yang sebelahnya lagi hidup. Seharusnya, dua badan itu selalu hidup dan terus hidup. Baru dikatakan normal atau wajar. Aku tak pernah mau ambil peduli dengan gelar baruku itu. Karena hanya aku yang mengetahui badanku sendiri. Aku tetap manusia normal. Pedulikah dengan gelar macam itu.
~~oOo~~

Aku selalu memperhatikannya. Dua minggu ini. Pemuda setia yang setiap subuh selalu duduk antik di batu dengan tenangnya. Sejuknya batu yang didudukinya menghangati suasana hatinya bertambah damai. Dia selalu memperhatikan keadaanku. Tak jemu-jemunya. Tak bosan-bosannya. Saat seperti inilah membuat hatiku berdebar-debar. Ada gemuruh rindu di dada kalau sekali saja tak melihat pemuda itu. Ada getar asing bercokol di perasaan kalau setiap saat memandangnya. Membawakan imajinasiku ingin selalu bersamanya. Menyatu dengannya, bila perlu. Mungkinkah yang kualami ini yang dinamakan orang dengan jatuh cinta pada pandangan mata... entahlah, aku tak bisa menerka sejauh itu. Apakah aku betul-betul jatuh cinta atau tidak? Yang terpenting suasana perasaan seperti ini harus tetap selalu kunikmati.
Semakin sering aku menikmati suasana perasaan itu. Semakin aku dihantam perasaan ganjil yang setiap kala menghantuiku. Membayang-bayangi hidupku. Apakah pemuda itu benar bayangan hidupku untuk masa depan?
Ah... aku selalu membayangkan wajahnya yang begitu senangnya melihat penampilanku. Setianya setiap subuh berlalu. Mengeraskan perasaan ganjil semakin kuat memberontak dari dalam tubuhku. Menyuruhku untuk menjumpainya. Tapi aku masih berusaha untuk meredamnya. Agar aku tak menjumpainya. Akan naif sekali kalau aku menjumpainya. Murahan. Seberapa lama aku akan mampu membendung perasaan ganjil ini? Setiap detik. Setiap menit. Setiap jam terus merajam-rajam tubuhku habis-habisan. Agar aku menjumpainya dan menghilangkan kenaifan itu.
Hingga akhirnya aku tak mampu membendung lagi serbuan perasaan ganjil itu yang begitu gencarnya dan bertubi-tubinya menghantam kekokohan hatiku. Dinding pertahanan hatiku jebol dihancurkannya. Serpihan-serpihannya berserakan berkeping-keping terlampar sepanjang aliran darahku. Menimbulkan sebuah keberanian padaku untuk menyambanginya. Menyapanya dan ingin bersenda gurau setiap kala menghabiskan masa yang terus bergulir menurut perputaran nasibnya.
Aku berjalan anggun menuju ke arahnya. Menebarkan pesona yang kumiliki. Mendekati dia yang masih setia duduk tenang dan manis di sebuah batu datar di subuh ini. Riakku yang berirama menembangkan nyanyian suling anak gembala. Mendayu-dayu menusuk kalbu. Ikut terbawa alunan suka padamu. Pakaianku yang sederhana hijau berlumut kukibarkan sepanjang mungkin. Agar dia dapat melihatku secepatnya. Mataku yang biru seperti mata orang barat, kupamerkan padanya. Agar dia bisa melihat dengan jelas dari mataku bahwa saat ini aku sangat senang. Sehelai selendang melingkari leher jenjangku. Luas membentang sepanjang aliran pantai. Aku akan mengenalkan namaku yang pertama sebelum dia menanyakannya.
Namaku Ami yang diikuti panggilan kekerabatan Tsuna. Kalau digabungkan namaku menjadi Tsunami. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua orang tuaku tak kuketahui siapa mereka. Karena saat aku muncul, aku sudah tak pernah melihat mereka. Kami hanya diasuh samudera hijau sehingga tumbuh dewasa seperti ini. Aku memiliki dua kakak lagi.
Kakakku yang pertama atau tertua namanya Longnami. Orangnya penyabar dan berpembawaan tenang. Dialah yang sering menjadi kepala keluarga dari kami bertiga. Dia jarang memunculkan dirinya ke permukaan bumi. Sebab dia lebih suka menyucikan dirinya. Dia lebih menyenangi dunia spritualis. Karena dia ingin jadi katarsis. Kalis dan suci tak beralis. Bersih dari noda dan dosa. Dia ingin dengan dunianya itu, dia dapat mencapai kebahagiaan hidup sejati. Kebahagiaan hidup sejati yang selalu damai dan penuh kesejahteraan. Tak ada percekcokan. Semua berjalan sesuai dengan kodratnya. Karena semuanya memiliki kesucian hati masing-masing.
Kakakku yang kedua, Ngahnami namanya. Dia lain dengan kakakku yang pertama. Kakakku yang kedua ini lebih suka berdakwah dan mengajak orang-orang untuk menuju jalan kebenaran dan kebaikan melalui fatwa yang diberikannya. Dia pintar berdakwah. Sehingga pengikutnya banyak. Lumut, karang, terumbu, ikan, kepiting, dan hewan laut yang sejenisnya adalah pengikut setianya. Pengikutnya yang selalu tak bosan-bosan mendengarkannya. Walaupun ada yang tak mengindahkannya. Mereka tetap asyik saja mendengarkan fatwa kakakku. Katanya suara kakakku yang memberi fatwa sungguh sejuk mengalir dalam jiwa. Mendamaikan perasaan yang ada. Sehingga pengikutnya begitu akrabnya menjalin persahabatan dan kesatuan antarsesama mereka. Damai. Tenang. Tak lupa mereka beramai-ramai mengucapkan syukur pada Yang Maha Kuasa.
Cuma aku saja yang bergerak bebas. Bebas bergerak kemana-mana. Sesuka hatiku. Karena aku tidak mau terikat seperti kedua kakakku oleh aturan keinginan mereka. Karena sejujurnya, aku memang suka bebas. Selain bebas, aku orangnya pemanas. Jujur saja itu kukatakan pada kalian. Agar kalian bisa mempertimbangkannya. Jangan sampai membuat aku sampai manas. Jangan sampai membuat aku terusik. Karena kalau aku sudah terusik dan manas. Semua orang akan kulabrak. Kutendang. Kuterajang. Kutinju. Bahkan kubonyokan biar jadi tape sekalian. Walaupun orang itu besar atau kecil, aku tak peduli. Aku akan puas kalau dia sudah kumatikan. Lemas napasnya.
Sejak memandang pemuda yang begitu sabar, telaten, dan bersahaja itu, aku jadi banyak merenung. Seakan-akan magnet matanya menyuruh aku melakukan perenungan. Padahal alam perenungan adalah hal yang paling kubenci. Mengapa aku harus melakukannya? Kenapa aku malahan sungguh tertarik untuk melakukan perenungan itu? Apakah urat takutku sudah putus? Entahlah aku tak bisa menjawabnya. Yang kutahu pandangan pemuda itulah yang telah memotivasiku untuk melakukan perenungan. Aku mulai memahami bahwa dalam kehidupan juga diperlukan kesabaran untuk memuluskan jalan dalam menjalaninya. Ketelatenan harus juga ada. Kebersahajaan juga harus dimiliki. Tak lupa, aku juga memikirkannya. Sungguh sabar, telaten, dan bersahajanya pemuda itu duduk manis di atas batu memperhatikanku. Sebenarnya mengapa pemuda itu sendirian? Apakah yang dicarinya di sini? Apakah yang diinginkannya dariku? Mengapa pemuda itu selalu ceria setiap memandangku? Mungkinkah pemuda itu betul-betul mencari dan ingin memiliku? Ah… hingga…
Pemuda kesepian, aku siap menjadi teman sepimu dan mungkin lebih jauh lagi aku siap menjadi kekasih hatimu.
~~oOo~~

Aku tersentak dari keceriaanku. Karena ada seorang bidadari mendatangiku. Mengapa kukatakan bidadari? Karena kecantikannya setara dengan bidadari walau gambaran bidadari hanya kudapatkan dari membaca buku. Aku seketika ingin berlari atau menjauh darinya. Bila perlu aku menghilang seketika dengan jurus sulap sim salabim. Tapi ternyata itu tak sanggup aku lakukan. Kakiku tak mau beranjak dari dudukku yang rapi. Mungkinkah dia menebarkan lem pada seluruh tubuhku sehingga aku tak bisa bergerak. Aku hanya bisa menatapnya saja. Bidadari itu terus mendekat. Aku semakin gemetar. Gemetar yang menggigilkan seluruh tubuhku. Bukan karena demam tetapi lebih banyak disebabkan keterkejutanku dapat bertemu seorang bidadari dalam wujud yang nyata, bukan dalam dunia angan-angan. Bidadari itu sudah tepat di depan mataku. Dia mulai menyapaku.
“Jangan takut. Aku bukan hantu.” Suaranya merdu mengalun. Menepis keraguan dalam hatiku kalau dia bukan jelmaan hantu. Memupus kegemetaranku.
“Kalau kamu bukan hantu, lantas kamu siapa?” tanyaku masih tergeragap.
Sebentar kesadaranku mulai pulih. Tapi aku bicara masih saja terbata-bata. Maklum baru kali ini aku menjumpai gadis seperti bidadari. Pendaran keringat tubuhku turun ke pasir. Meniris pelan-pelan seperti tetesan hujan melumat air. Keringatku hilang tak berbekas.
Bidadari itu tersenyum. Senyumannya indah membuat aku terpesona. Sebab aku melihat lengkungan pelangi yang muncul dari dalam bola matanya. Indah.
“Aku, Tsunami,” katanya mengenalkan namanya. Tanpa kaku. Lancar saja ia bicara. Penuh keramahan.
Semulanya aku tak ingin mengenalkan namaku. Tapi hatiku menyuruhku agar segera mengenalkan namaku juga. Akhirnya bibirku tak bisa diajak kompromi lagi. Secara refleks dia mengenalkan namaku.
“Tirta.”
Selanjutnya keakraban terjalin. Keramahtamahan menyatukan kami. Aku merasa damai di sampingnya. Kedamaian yang alamiah.
Setiap subuh aku sering menemuinya. Menghabiskan sari hidup dengannya. Mereguk kedamaian lewat kesenangan yang dipampangkannya. Di atas bening-bening bulir tubuhnya yang mulus, tak ada cela sedikit pun. Di genggaman erat cintanya yang hangat dan mesra. Selalu diberikannya padaku. Seakan tak pernah habis-habisnya. Menghadirkan surga dalam hatiku saat ini. Penuh gumpalan kenikmatan yang tak akan pudar untuk selama-lamanya. Tanpa aku memahaminya bahwa aku telah mendalam melakukan percintaan dengannya. Berulang-ulang kali setiap subuh yang kulalui. Tak pernah bosan-bosannya. Dengan pasir dan pantai jadi saksinya dan pengawal pribadi kami. Menjaga kami setiap saat dari gangguan-gangguan yang dilancarkan oleh orang-orang yang iri dengan kebahagiaan kami.
~oOo~

“Tirta, kenapa kamu selalu menghindar dariku? Padahalkan kamu telah berjanji akan menjagaku selamanya. Sekarang mana janjimu itu,” depak Virna.
Virna adalah orang yang pernah menciptakan pelangi dalam hatiku. Orang yang sering menghiasi jantungku dengan senjanya yang alamiah dan indah. Orang yang pernah menjadikan sanubariku sebuah taman bunga beraneka warna. Yang bunga-bunga tersebut tak pernah layu dan terus memekar sepanjang masa yang selalu menebarkan keharuman. Orang yang pernah membuat aku merasakan betul-betul menjadi manusia. Orang yang mampu membuatku bahagia. Hal itu terjadi saat aku belum mengenal Tsunami. Kini hal itu tak ada lagi. Hilang tak berbekas. Sirna entah kemana. Yang ada hanyalah Tsunami. Wajar saja Virna menagih janjinya. Karena gelagatku telah menunjukkan perubahan yang signifikan, tak mau berdekatan dengan Virna. Membuat Virna harus bersikap tegas dalam meminta ketegasanku.
“Virna, janji itu sudah tak ada lagi dalam hatiku. Janji itu telah kubuang jauh-jauh. Sekarang janji itu sudah kikis bersih dalam hatiku bahkan dalam memori otakku. Untuk itulah, aku tak bisa memberikan janji itu. Karena barang itu sudah tak ada lagi dalam diriku. Sekarang pun aku ingin berterus padamu bahwa aku tak bisa melanjutkan hubungan kita. Jadi maafkan aku, Vir,” tandasku.
Virna kaget. Dia tak menyangka bahwa aku bisa berbicara semacam itu.
Dimanakah kasih sayangku selama ini padanya? Betulkah cintaku sudah pupus seperti apa yang telah aku ucapkan. Betulkah aku menyirna dalam jiwanya. Pengaruh apa yang telah mampu menghilangkan rasa cintaku padanya. Aku menatap matanya mencari kebenaran itu. Karena aku tahu dari ibuku bahwa indera mata jarang berbohong. Walaupun berbohong, hal itu dilakukan mata karena terpaksa.
“Apa maksud ucapanmu barusan. Bagaimana dengan cinta kita, Tirta?”
“Vir, aku tak bisa lagi mendampingimu. Aku tak bisa lagi sebagai teman seperjalananmu untuk merengkuh bahagia. Sebab jujur kukatakan padamu. Aku berubah saat ini karena aku sudah menemukan orang yang betul klop denganku. Ialah yang telah merubah aku seperti ini. Tapi aku senang. Karena dalam penampilan dan gayaku sekarang, aku merasa manusia yang betul-betul menikmati kehidupan. Aku betul-betul manusia yang mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tiada terkirakan. Vir, maafkanku. Hubungan cinta kita berakhir cukup sampai di sini.”
“Semudah itukah kamu melupakanku. Orang yang banyak menorehkan kenangan manis padamu. Orang yang banyak membantumu hingga dapat menikmati manisnya kehidupan, dulunya.”
“Ya. Sebab aku sudah tak punya cinta lagi dengamu. Mengapa musti aku paksakan lagi. Dulu memang cinta itu terus tumbuh dalam hatiku. Tapi sekarang cinta itu bukannya tumbuh malahan semakin mekar dalam diriku. Tapi cinta itu bukan untukmu, melainkan untuk orang yang kucintai saat ini. Yang muncul saat subuh menjelang. Aku doakan kamu mendapatkan orang yang lebih baik dariku,” kata Tirta melangkah menjauh dari Virna. Langkahnya dimulai dari santai kemudian mulai melaju. Virna berusaha mencegat langkah itu.
“Tirta……..”
“Maaf Vir, aku harus pergi…” Makin laju ia meninggalkan Virna.
“Tirta, kamu kejam. Munafik. Bangsat. Aku tak menyangka kamu bisa berbuat sekejam ini padaku,” Virna mengguguk. Hujan badai dari matanya mulai menjelas membentuk butiran bening yang tumpah ruah. Membanjiri halaman tempat ia terguguk dan terduduk lemas.
Ia tak menyangka begini akhir dari percintaannya dengan Tirta. Tirta yang dulunya dikenal santun. Selalu dikhayalkannya. Menjadi penjaga hatinya. Pemberi cahaya penerangan dalam kegelapannya. Tapi ternyata… semuanya amblas dimakan waktu. Keropos.
~oOo~

“Bapak-bapak lepaskanlah aku. Izinkanlah aku menemuinya. Perkenankanlah aku untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang kulakukan padanya. Agar ia tak berpikiran yang bukan-bukan terhadapku dan akan berimbas kepada kalian. Perkenankanlah aku menemuinya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku yang telah menghamilinya.”
“Tidak bisa. Kamu harus dihukum pasung. Karena kamu telah melanggar pantangan desa.”
“Jangan bapak-bapak. Aku jangan dipasung. Bu, tolonglah anakmu ini. Berikanlah pengertian pada mereka bahwa perbuatan yang mereka lakukan padaku adalah salah. Bu, bantulah aku dengan sekuat tenaga dan daya upayamu,” pinta Tirta pada ibunya. Ibunya yang selalu bijaksana dalam menangani segala persoalan. Mungkinkah saat ini ibunya masih bertindak bijaksana. Setelah mengetahui anaknya telah melakukan perbuatan besar yang telah mendatangkan bencana atau malapetaka bagi seluruh masyarakat kampung juga termasuk dirinya.
Tirta kelihatannya meronta-ronta. Ia berusaha melepaskan cekalan warga yang akan memasungnya. Ibunya tak bergeming sedikit pun. Seakan ibunya sangat marah padanya. Sesekali kening ibunya berkerenyat-kerenyit. Sepertinya ia melawan marahnya. Akhirnya pertimbangannya kabur berganti kemarahannya mencapai puncaknya. Hawa amarah lebih dominan menguasai diri ibunya.
“Anak keparat! Sialan! Mengapa kamu selalu tak mengindahkan nasihat ibu. Bahwa ibu sudah melarang jangan melihat lautan di saat subuh hari. Itu adalah pantangan desa. Sampai sekarang tidak ada yang melanggarnya. Kamu saja yang keras kepala. Karena kalau dilanggar maka akan datang malapetaka dari laut akan menimpa seluruh penduduk kampung. Gara-gara perbuatanmu seluruh masyarakat kampung mendapatkan imbasnya. Perbuatanmu dinilai sudah kelewat batas dan terlalu besar. Untuk itu, ibu tak bisa memaafkan kesalahanmu. Dan mulai detik ini juga ibu berkata bahwa kamu bukan anakku lagi. Kamu adalah anak pembawa sial. Pembuat malapetaka. Pasunglah ia. Buatlah ia menderita untuk penebus kesalahannya. Bawalah ia menjauh dariku. Aku tak sudi lagi melihat wajahnya,” perintah ibuku.
“Ibu….. Ibu …...” gapai tanganku memanggil ibuku dari gelandangan penduduk kampung menuju pemasungan.
~oOo~

“Tolong…. Tolong…… Ada Tsunami,” pekik penduduk Kampung Laut berusaha menyelamatkan diri ke Kampung Darat. Dari anak kecil sampai yang tua meneriakkan kata-kata itu. Mereka terus berlari mencari tempat selamat dari amukan Tsunami. Tsunami tak peduli dengan semua itu. Tujuannya hanyalah ingin menemukan Tirta. Tirta yang telah mengkhianati cintanya. Tirta yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menghamilinya. Tsunami terus berteriak marah.
“Mana Tirta? Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
Penduduk Kampung Laut mana ada yang bisa memahami apa yang diucapkannya. Terdengar oleh mereka, hanyalah dengusan suara hidungnya yang bergemuruh garang. Penduduk Kampung Laut terus menjerit histeris. Kegaduhan menjadi-jadi dan ramai. Jeritan dan tangisan kecil maupun besar bercampur aduk ketika tubuh mereka ditinju dan diterjang oleh Tsunami. Terlempar jauh. Bahkan ada yang mati seketika. Karena tenaga yang digunakan Tsunami melebihi dari yang standar. Tenaga yang dikeluarkan Tsunami, yaitu 19,4 skala richter. Suatu nilai kekuatan tenaga tubuh yang begitu besar.
Pekikan penduduk Kampung Laut tak henti-hentinya. Kebisingan menderu-deru berbunyi nyaring senyaring drum kosong yang dipukul dengan besi. Jalanan membanjir dan terus menghajar siapa saja yang berani menghalangi langkahnya. Menyapa awan-awan sedang bersantai di angkasa biru. Dengan cat warna-warninya yang begitu cerah.
Tsunami tak peduli. Beribu-ribu bahkan berjutaan penduduk kampung terkapar karena ulahnya. Ia terus saja berjalan gagahnya menuju Kampung Darat. Ia harus cepat menemukan Tirta. Biar cepat ia membuat perhitungan dengan Tirta.
Walau melakukan perjalanan yang cukup jauh juga. Berkil0-kilo meter bahkan beratus-ratus kilometer, ia dapat menemukan Tirta yang dipasung penduduk Kampung Darat.
Sebelum Tsunami datang, penduduk Kampung Darat yang memasung Tirta telah kabur duluan. Mereka takut dilibas tak berdaya oleh Tsunami.
“Tsunami, aku senang kamu yang datang,” kata Tirta gembira. Ia menemukan lagi keceriaannya yang hampir punah tadi. Ia telah berjumpa dengan kekasihnya. Ia berharap kekasihnya Tsunami bisa melepaskannya dari pasungan. Tsunami belum bergeming sedikit pun. Tirta mulai menegur kekasihnya.
“Tsunami, lepaskan kekasihmu ini dari pasungan ini. Lepaskanlah kekasihmu dari derita ini. Aku merindukanmu. Aku akan bertanggung jawab atas kehamilan itu. Aku akan mengawinimu. Tapi lepaskan aku dulu!”
Tsunami masih belum beranjak. Ia masih berpikir.
“Tsunami kekasihku, cepatlah! Aku sudah tak tahan lagi menangung derita pasungan ini. Lepaskanlah secepatnya aku dari derita ini.”
“Baiklah, Tirta. Aku akan melepaskan deritamu untuk selama-lamanya. Karena kamu tak pantas lagi menjadi kekasihku. Aku sudah kepalang tanggung terluka olehmu. Lukanya sangat pedih. Biarlah benih hasil cinta dan kasih sayang kita, aku yang menjaganya. Tirta keparat, bersiaplah kamu kulepaskan dari derita ini untuk selama-lamanya.”
Tersentak aku mendengar suaranya yang garang. Belum pernah kulihat Tsunami semarah ini. Apakah tadi aku telah berbicara yang salah padanya? Memintanya dengan tak sabaran agar melepaskanku dari pasungan? Benarkah hanya alasan itu. Ah, tak perlu jauh aku berpikir. Tapi apa maksudnya, akan melepaskan aku selama-lamanya dari derita pasungan ini.
Belum lagi aku memahami ucapannya. Tsunami telah menghajarku. Menamparku. Meninjuku. Menendangku. Memukulku. Hingga aku hanya mengaduh kesakitan saja.

Pontianak, 1 Juli 2006
~oOo~

Kamar 9 B

by: Pradono
Entah siapa yang memulai. Lima kepala telah mengambil posisi. Satu persatu mulai menyatakan diri. Seorang darinya mengangkangi logika-logika. Seorang lainnya melepaskan embel-embel konvensi. Setiap diri beranjak memproklamirkan identitas. Semuanya mengukuhkan diri sebagai kepala berwatak pendobrak di tengah-tengah keramaian normatika.

Semua percaya pada visi masing-masing. Setiap mereka percaya bahwa pendobrakan hari ini akan sanggup menjebol benteng kemapanan kemarin. Mereka yakin bahwa masa depan akan tergenggam di telapak tangan keteguhan. Setiap diri yakin seyakin-yakinnya bahwa dengan menjebol dinding kiri konvensi berarti meruntuhkan dinding kanannya sekaligus. Sejak itu, merdekalah segalanya dari segala kemerdekaan yang terbelenggu kemapanan kulit kacang.

Atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk ini tak mampu lagi membendung tiap maksud dan segala sesuatu yang berseliweran. Segala realita singgah di pelupuk mata. Terhenti sekejap. Saling menatap. Sunyi. Senyap. Pengap. Tiba-tiba segalanya terungkap. Kepala demi kepalapun membentangwujudkan jatidiri.

“Aku tak ingin jadi epigon sebab aku lebih mulia daripada bebek-bebek.”

Sekepul asap dari sebatang kretek melesat dengan penuh keyakinan. Mengalahkan tebalnya empat kali empat meter dinding bujur sangkar yang melingkupi.

Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Sebisu angin malam di luar jendela. Cahaya bulan-setengah tampak malu-malu menempel di bingkai-bingkai kaca empat perseginya.

“Dalam otak matematisku, tersembul digit-digit kepastian. Satu langkah sama dengan sekian kali sekian. Perlawanan mesti dimulai dan harus berjalan dengan konsisten menuju puncaknya.”

Kamar dingin. Sedingin dinding-dindingnya yang dimesrai embun malam yang merayap menyapa dinihari. Lingkar cahaya bulan semakin menepi mengikut hasrat rotasi mengecup bibir cakrawala. Asap makin menyesak paru-paru, legam dilumuti kental nikotin.

“Inspirasiku yang tergantung di awang-awang melambai-lambai mesra. Tak hendak berhenti. Selalu menggebu-gebu ingin disetubuhi. Jari-jemari tinggal memetik satu demi satu.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini terlemparkan ke atas ranjang. Biarlah ia terbuai bersama sekeringnya keringat di sekujur tubuh. Berbaurnya antara kepenatan dan kebuaian mesra itu. Tak pula ternafikan menegangnya persendian dan sekumpulan urat-urat.

Keliaran imaji itu tertangkap juga. Keliaran imajinasi selalu minta dilayani begitu anak kunci orgasmenya memutar mencari wadah pelampiasan. Akumulasi segala yang terlintas dan terlisankan telah terjinakkan.

Lembar-lembar waktu berlalu tak dihasrati hanya berisi kekosongan. Betapa kesedihan diri ketika terbentur pada kekosongan. Kehampaan di tengah-tengah riuh rendah keramaian. Betapa berharganya sekelumit imaji. Sangat tak sebanding dengan perlakuan angkuh yang menyelimuti diri. Ruang gerak imajinasi mesti diberikan keleluasaan.

“Hasil adalah masa depan. Karya adalah bayi manis yang mungil atas setiap eksistensi. Bukan eksistensi yang utopis yang merangkak pada ketinggian yang ujung-ujungnya bermuara takut digumpal kecemasan paling cemas akan kejatuhan. Eksistensi utopis berwajah retorik tak lebih abadi daripada selembar kekenyangan seekor nyamuk rakus, menghisap darah mangsanya, buncit, sayappun lunglai dan jatuh bergedebung pada sekotak lantai tegel putih.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini kian terasa menuju kelegaan. Keringnya keringat di sekujur tubuh kian terasa bermakna. Ketegangan persendian bergulir melancarkan arus relaksasi. Hanya kepulan asap yang enggan meninggalkan ruang.

“Kehilangan kecerdasan memulai kalimat pertama adalah malapetaka besar bagi kelanggengan eksistensi. Setelah itu, jangan bermimpi mendaki gunung. Jangan berkhayal merekamkan kalimat abadi. Jangan mengigau bahwa besok pagi tersembul matahari.”

“Ya, malapetaka itu adalah malapetaka bersama. Malapetaka bagi yang berniat jadi pengabdi dan pelaksana kata-kata. Malapetaka bagi pengabadi sejarah. Malapetaka bagi malapetaka negeri yang mengabaikan kata-kata. Malapetaka bagi malapetaka bagi rakyat dan pemimpinnya yang mengabaikan sejarah.”

“Kita harus mendobrak dinding kebekuan. Negeri ini harus melek dari segala huruf. Segala kata-kata. Segala sejarah. Kita harus lebih gencar mencanangkan aksi pembacaan. Harus memelekkan diri dari segala keterpurukan di depan mata. Harus memelekkan hati bahwa belajar dari kesalahan adalah lebih mulia daripada masuk ke lubang dua kali bagai keledai tanpa kendali.”

Kepulan asap ternyata semakin berkontribusi memicu metabolisme adrenalin lima kepala di kamar empat persegi itu. Seorang demi seorang kian mengurai logika dan retorika. Tergambar upaya melepas diri dari keterkungkungan masing-masing ego-diri.

“Inilah konsekuensi eksistensi. Konsekuensi untuk memberikan kontribusi tanpa pamrih. Pamrih epigonis. Pamrih utopis. Pamrih oportunis. Koreksi atas kesalahan pemahaman dan faham mesti dilancarkan.“

Entah siapa yang memulai mengakhiri perbincangan. Tak ada negosiasi. Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Tetap sebisu angin malam di luar jendela. Setemaram cahaya bulan-setengah yang masih tampak malu-malu dilingkup awan mendung.

Hanya atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk yang kini sedikit merasa lega. Kamar bujur sangkar ini kini baru mulai sempat menghirup keleluasaan dan kelegaan. Bendungan tiap maksud dari lima kepala itu kini perlahan-lahan merembeskan udara segar senapas dengan antiklimaks adrenalin mereka.

Kini yang tinggal hanya Kamar 9B bertemankan keheningan. Kebisuan. Kesunyian. Dialah yang akan menjadi saksi perjalanan para pengabdi dan pelaksana kata-kata yang kini tengah asyik terbuai mimpinya sendiri-sendiri. Esok siang mereka akan menyaksikan mataharinya dan kembali bertarung dengan realitas di negeri setriliun janji dan retorika. Entah siapa yang memulai. Namun, konsekuensi harus dilancarkan. (*)

Saturday, July 21, 2007

T A M A N

by : deki triadi
I

aku menimbang suara adzan lagi
malam ini di taman yang mulai jengah
menawar kembangkembang muda yang berjejeran
diantara tiang listrik dan riap sungai kapuas
seekor ikan menggelapar di jala nelayan
mendesah dicelah malam yang berkeluh kesah

II

jam sepuluh malam
telah mampir embun disini
bisikan adzan tadi semakin kentara
tapi tertinggal dipintu kamar

III

embun yang menyirami kembang mulai terjengkang
: adzan lewat begitu saja
oplet tua telah lelah dalam kantuknya
malamku semakin beku
tanpa tahu letak rumahMu
tapi tetap saja kembangkembang berjejeran menunggu gontai
ojekan untuk pulang atau langsung di bentengbenteng rapuh
: seorang anak, seorang ibu, seorang bapak
menangis dalam kelambu malam ini

Pontianak, Januari 2002

KEMBANG

BY deki triadi
kembangkembang baru bermekaran senja ini
: angin terlalu pongah
menerbangkan engkau di tamantaman gersang
seekor kumbang bermanja lagi tertawa dan tertawa
menanti madu yang telah dibidik sejak lama lagi
: seorang ibu semakin resah menunggu embun membawa kembangku
pulang

Pelabuhan Sintete (Pemangkat), Desember 2001

Friday, July 20, 2007

Kembalinya Tarian Sang Waktu
Oleh : M. Saifun salakim

Waktu bergemerincing. Melangkah dengan gagah mengitari hatiku. Menelusupkan sebuah keinginan dan hasrat bahwa aku harus bergerak menuju masa itu. Masa berkepala mahkota daun-daun nipah yang hidup di pesisir pantai sanubari. Air lautan selalu mencium betisnya yang mulus dengan mesranya setiap ufuk merah berganti. Menggenangkan darah kesyahduan memuncak. Menimbulkan gelombang pasang yang membawa mineral-mineral dalam diri. Menisbahkan kepedulianku pada rimbunan daun-daun pohon yang berada di sekitar tepian pantai. Beragam jenis pohonnya. Menghantarkan saatnya tiba. Penghabisan roda bermanja berhenti detak jarum jamnya. Sering melingkari kehidupan panjang antara kita.
Kita sama-sama tak akan bisa melihat keindahan dunia. Sebab kita sudah tuna netra. Radiasi kekelaman yang membuat kita begini. Iritasinya cukup ganas menghitamkan kornea mata. Hanya kalbu yang terdalam sebagai penerangan rasa. Penunjuk arah tapak-tapak kita untuk melangkah berjauhan. Saling bertolak belakang. Aku ke timur, kamu ke barat.
Aku menyisiri bukit berbukit terjal arah timur. Membuat jiwaku lelah. Karena kakiku sudah mengelupas pecah digerogoti taring jalanan yang begitu tajamnya. Mengoyaknya, merobeknya, dan mengeluarkan intisari dagingku. Aku tersenyum asam gandis.
“Tuhan, inilah bagian jasad yang kuikhlaskan untuk-Mu.”
Pendar-pendar cahaya merah yang keluar dari intisari daging tubuhku menjemput diriku. Mengubur dan memendam aku dalam risalah-risalah angin, yang seringkali dimainkan anak-anak kecil berseragam kantong plastik. Mereka menaikkan layang-layang jiwa terbang menuju angkasa raya. Menggapai harapan dan cita-citanya.
Nampaknya mereka begitu senang memainkan risalah angin yang mengubur dan memendam diriku. Mereka menuntaskan kegembiraannya yang kadangkala dibelenggu di rumah. Karena orang tuanya tidak bisa memahami apa sebenarnya yang mereka inginkan. Kalau sebenarnya orang tua mereka bisa memahaminya maka mereka akan bahagia bermain dalam rumahnya. Rumah mereka adalah surga. Sebab dalam rumah mereka telah terjadi komunikasi interaktif dan mesra untuk saling memberikan kesenangan, kehangatan, dan kebahagiaan yang melimpah ruah. Kebahagiaan yang sungguh mereka harapkan. Kebahagiaan yang betul-betul murni. Alamiah. Tapi kenyataannya sedikit sekali mereka mendapatkan kebahagiaan itu di rumahnya. Akhirnya mereka mencarinya di luar rumah.
Hari ini sungguh senang lantunan tembang kebahagiaan anak-anak itu memainkan risalah angin. Mataku yang semula memang untuk dipejamkan selama-lamanya malah terbuka nyalang. Karena mendengar tembang mereka yang menyentuh kalbu.
“Sungguh bahagianya mereka. Mengapa aku tidak seperti mereka?”
“Eh, jangan berisik!” marah risalah angin.
Aku terdiam.
Saking bahagianya, anak-anak yang berseragam kantong plastik itu berseru girangnya.
“Surga hadir di hadapan kita!” teriaknya beramai-ramai.
Aku kaget.
Benarkah surga hadir di hadapan mereka?
Aku ingin melihatnya. Tapi risalah angin menjauhkan aku dari surga yang dikatakan anak-anak berseragam kantong plastik.
“Aku ingin melihat surga. Mengapa kamu bawa aku jauh darinya?” bentakku.
“Karena kamu tidak boleh melihatnya.”
“Mengapa aku tidak boleh melihatnya?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan tugas.”
“Tugas dari siapa?”
Risalah angin tidak mau memberitahukan atau menyebutkan orang yang menyuruhnya. Dia terus saja menjauhkan aku dari surga yang dikatakan anak-anak berseragam kantong plastik. Aku berusaha melepaskan diri dari kungkungannya. Tapi aku tidak bisa. Kungkungannya sungguh kuat dan tidak bisa ditembus walau sampai mengeluarkan keringat terkentut-kentut.
“Cepat katakan siapa yang memerintahmu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Mengapa tidak bisa?”
“Sebab....”. Berhenti dia sejenak. Aku menunggunya dengan cemas dan jantungku berdegup keras.
“Sudah! Diam !” kata risalah angin meradang.
Aku hanya menggerutu kesal. Karena keinginanku untuk melihat surga tidak terpenuhi. Padahal seumur hidupku, hal itulah yang ingin kulihat.
Beruntunglah anak-anak berseragam kantong plastik bisa melihat surga dalam alam nyata.
~oOo~

Aku masih ingat sebelum ini terjadi pada kita. Sebelum aku digulung dan dipendam angin dalam risalahnya. Masa dimana mempertemukan kita untuk terakhir kalinya.
Waktu datang dengan santainya menghampiri kita yang sedang berduaan di tepi lautan memanjang Tanjung Batu, Kendawangan. Aku duduk santai di batu menjulang tinggi hampir menjolok langit menatap gemerisik senandung ombak yang riuh rendah. Kamu juga sama. Kita berdiam diri. Menekuri wajah kita masing-masing. Mengukur perjalanan yang telah kita lalui. Masa ini menisbahkan kita untuk mengambil sebuah keputusan. Apakah kita akan bersama atau melangkah sendiri-sendiri?
“Kalian harus mengambil sebuah keputusan final hari ini. Sebab aku sudah lelah menasihati kalian. Menyadarkan kalian. Dalam rangka mendamaikan kalian. Menenangkan ketenangan jiwa kalian. Tapi kalian egois. Tidak mengindahkannya. Sekarang ambillah keputusan sendiri untuk menentukan jalan kalian sendiri-sendiri,” kata waktu menunjukkan wajah kesalnya. Keningnya berkerut. Senyumnya kecut. Tatapan matanya cenderung menyiratkan sebuah pisau yang mengelupas buah anggur.
Kita tak mengomentarinya.
Kamu turun dari batu menjulang tinggi. Mendekati air lautan yang bernyanyi kecil. Seakan ingin mengajakmu berdendang, menyenangkan hati. Kamu menjamahkan kakimu pada kesejukan dendang air. Sekaligus kamu mengambil nyanyian kecil air lautan lalu kamu usapkan ke kepalamu agar kepanasan yang bercokol dalam kepala mencair dan mendingin. Adem.
Aduh, mengapa kita saling bermusuhan padahal kita ingin bersatu? Wah, mengapa kita saling memandang lautan tapi tak pernah menatap daratan?
Padahal kalau direalitakan pikiran. Daratan juga memiliki kemewahan dan keindahan dari lautan. Kalau lautan ada airnya, daratan juga punya airnya. Air yang tertampung dalam sebuah tempurung daratan yang indah. Kalau lautan punya pulau membentang, daratan punya hutan membentang. Kalau lautan punya taman laut yang indah, daratan punya taman darat yang menarik. Pokoknya, antara lautan dan daratan memiliki potensi yang sungguh menarik untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai tempat hiburan, pelepas dahaga rasa.
Seharusnya kita berdua saling mengerti. Seharusnya kita berdua saling hormat-menghormati antara satu dengan yang lain. Seharusnya kita berdua mampu membahasakan jiwa kita masing-masing. Dalam memberikan kepercayaan penuh pada diri kita masing-masing agar rasa egois itu tak pernah singgah di dermaga senja, teratak panjang menuju ke tengah lautan permai. Kita habiskan kuncup-kuncup kembang senjanya dengan segarnya. Sungguh manisnya.
Dermaga itu pernah menjadi pengikat pertalian erat jiwa kita. Mempertautkan pusar kebersamaan. Ketika waktu kita mengerjakan proyek besar bersama, yaitu memisahkan air garam dari lautan agar menjadi garam seutuhnya. Garam yang menjadi saus penikmat bumbu makanan kehidupan.
“Nikmatnya makanan ini kalau dicampur dengan garam seutuhnya ya?” katamu gemes.
“Betul sekali, Dik. Nikmatnya!” sahutku mantap.
Menyatukan kegemesanmu dengan keceriaanku hingga erat memuntalkan ikatan pembuluhnya. Kerucut.
Pernah pula. Masih di dermaga itu. Kita menjalin untaian teja cemerawut yang melajur emas di langit merah dadu. Teja itu kita kalungkan di bukit-bukit dan gunung-gunung kejenjangan leher kita, menjulang gagahnya. Sungguh indahnya. Bahkan keindahan yang tercipta itu dapat dijadikan objek wisata terkenal. Banyak dikunjungi turis atau pelancong baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Keindahan alamiah. Devisa diri kita makin menjadi gunung keemasan. Kita menjadi kaya.
“Sungguh indah hasil karya naturalis yang tercipta ini?”
“Betul kawan. Betul indah. Tidak pernah aku melihat keindahan yang begitu mempesona seumur hidupku.”
“Ini benar-benar alami.”
“Betul kawan. Ingin rasanya aku berdiam diri selamanya di tempat ini.”
“Jangan. Seindah-indahnya keindahan yang ada di daerah orang lain, masih indah keindahan di daerah kita. Biarpun bagaimana parahnya daerah kita, kita harus merasa bangga. Karena daerah itu adalah daerah kita.”
“Betul katamu kawan. Syukurlah kamu mengingatkanku. Terima kasih banyak kawan.”
Mendengar percakapan itu kita tersenyum bangga. Satu rasa satu wadah. Sama-sama berusaha menciptakan pelangi-pelangi di tengah nusa.
Kita mulai melakukannya. Hanya hitungan sedetik napas merenung dan mengeluarkan image tercanggih yang kita miliki. Pelangi-pelangi yang kita inginkan terciptalah.
Pelangi yang kuciptakan lebih bagus darimu. Pelangi yang berbentuk keindahan manusia dengan berjambul kuda. Kepalanya menyentuh langit. Kakinya menghirup air lautan begitu banyaknya dan selalu memancarkan kemilaunya lebih terang dari pelangimu. Sedangkan pelangi yang kamu ciptakan berbentuk kupu-kupu dengan berbadan burung merak berbulu kusam. Matanya redup tidak ada sinar. Kakinya sedikit bengkok sehingga tidak banyak menghirup air lautan untuk menggemilangkan seluruh tubuhnya.
“Abang curang. Abang culas. Abang pasti memasukkan unsur lain. Abang telah melakukan tindak kepalsuan. Abang tidak murni membuat pelangi ini. Abang tidak jujur. Aku benci abang!” katanya seraya berlari karena marah.
Ia tidak berani mengakui kekalahannya dalam bersaing denganku.
“Tunggu dulu, Dik!” seruku mengejarnya.
“Tidak! Aku tidak mau bertemu dengan abang lagi!” pekiknya menghilang.
~oOo~

Pada masa perjalananmu ke barat. Kamu menemukan gubuk tua.
“Kebetulan sekali,” katamu.
Sebab saat ini kamu sudah berjalan jauh. Tubuhmu sudah mulai merasa kepenatan. Kamu mulai beristirahat. Kamu mendekati gubuk tua. Kamu mulai mengetuk pintu gubuk dan mengucapkan salam. Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya kamu memutuskan untuk beristirahat di depannya saja.
“Maaf ya Tuan Gubuk, permisi aku numpang beristirahat di depan karena tubuhku sungguh penat,” katamu lirih sembari melunjurkan kakimu. Sekali-kali kamu lemaskan otot-ototmu yang sudah pegal semua agar kembali segar. Ketika itulah ada suara menegurmu.
“Nak, tak usah kamu beristirahat di depan. Lebih baik kamu beristirahat di dalam.”
“Terima kasih Tuan Gubuk. Disini saja lebih nyaman,” sahutmu.
“Jangan, Nak. Disitu berdebu. Di dalam saja Nak karena lebih bersih. Silakan masuk, Nak,” ajak Tuan Gubuk dengan ramahnya.
Kamu tidak bisa menolak lagi keinginannya. Kamu menuruti kemauanya. Masuk dalam gubuknya.
Dalam gubuknya, kamu dibuat kaget. Karena lantainya betul bersih terbuat dari keramik putih. Dinding semuanya licin seperti istana kaca saja. Kamu tidak menyangka dalam gubuk ini seperti apa yang kamu lihat, sungguh indah. Kenyamanan mulai kamu rasakan. Kepenatan mulai mengabur dari jiwamu. Sebentar kamu teringat dengan suara Tuan Gubuk. Kamu juga ingin melihat sosok Tuan Gubuk seperti apa.
“Tuan Gubuk, kamu dimana?” tanyamu.
“Aku disini Nak,” sahut Tuan Gubuk lantang sehingga kamu bisa menerka arah suaranya. Kamu melihat Tuan Gubuk berupa pelita.
“Ah……,” kagetmu.
“Jangan kaget, Nak. Memang beginilah wujudku. Kini aku beruntung. Karena aku sudah menjumpai orang yang kutunggu beberapa dasawindu waktu. Orangnya adalah kamu. Berarti setelah berjumpa denganmu, aku harus pergi untuk selamanya. Terima kasih Nak, kamu telah meluruskan jalanku menuju Cahaya Maha Cahaya. Selamat tinggal Nak. Semoga kamu menemukan kembali hatimu yang separuhnya hilang dan bersatu kembali dengan dia,” kata Tuan Gubuk.
“Tunggu dulu Tuan Gubuk!” cegahmu.
Tapi sudah terlambat. Karena Tuan Gubuk yang berbentuk pelita sudah menghilang wujudnya di ujung senja yang kamu ciptakan.
Kamu tafakur sejenak. Merenungi semua kejadian yang telah kamu alami. Setelah puas bertafakur. Kamu mulai mengangkat mukamu. Saat itulah matamu melihat gundukan ketinggian parafin keputihan melekat dengan lantai keramik yang kamu duduki, tempatmu berpijak dalam kehidupan ini. Hingga terlihat dengan jelas di bawah kakimu muncul sebuah rembulan. Kamu ambil dia dengan kepastian. Tidak segan-segan kamu makan dia layak makanan yang enak. Kamu meleleh. Lelehanmu itu dibawa rembulan dalam tubuhmu ke langit maha luas.
~oOo~

Risalah angin mencampakkanku ke matahari. Sinar garang matahari melumerkanku. Hilang ragaku tak bertanda dan tak bernisan. Hanya jiwaku yang masih tersisa berupa butiran ozon sebagai persaksian pasti bahwa aku adalah sunyi dalam ketenangan senyap.
“Ah, semoga saja jiwa ini abadi. Semoga jiwa ini lestari di sukma yang kumiliki.”
Ketika ini. Aku mulai merindukanmu. Dimana kamu berada ya? Apakah kamu juga sama gosong seperti diriku? Atau sebaliknya kamu menemukan kehidupan barumu yang lebih indah? Aku tak tahu………
Walau seperti begini wujudku. Aku masih mampu bersyukur pada Allah. Karena aku masih diberikan jiwa dalam sukma. Walau yang lainnya sudah hangus.
Di antara kerjipan bintang yang berwarna-warni aku melihat kamu. Kamu sama juga melihatku. Kita saling tersenyum. Kemudian kita berusaha menghayati kedalaman kerjipan bintang. Alhamdulillah. Kita sukses memahaminya.
“Terima kasih Allah. Kamu pertemukan kami lagi walau dalam wujud yang berbeda,” ujar lirih hati kami.

Malam Kelam (Balber), 06062005

(Dipublikasikan di Harian Borneo Tribune, 1 Juli 2007)

Wanita Yang Ingin Memiliki Mentari
Oleh : M. Saifun Salakim

Wanita yang ingin memiliki mentari berlari kencang menerobos halimun di gerbang perbatasan kota. Kerintikkan deraian tangisan hujan menyentuh dingin sekujur tubuhnya. Ia terus berlari diantara denyutan napasnya berdoa semoga dia sampai kesana.
Di telaga bening saputan bulan merah jambu berkembang mekar. Duduk santai sesosok wajah berkemeja kekuning-kuningan, berambut lurus-kaku menjolok langit, dan bermata bening labu air. Berkulit kuning langsat dan mempunyai perawakan tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk Ia asyik memainkan air telaga, sumber kehidupan manusia.
Sejenak ia berhenti beraktivitas. Kala telinganya merekam pergesekan tapak dengan tanah. Ia menoleh kearah datangnya suara.
“Ada apa kamu mencariku? Perlu apa?”
“Aku butuh teman curhat,” kata orang yang barusan datang.
Dia adalah wanita yang ingin memiliki mentari.
“Kok mencari di sini. Kok aku, kan banyak temanmu yang lain lebih dariku.”
“Memang, tapi mereka tidak sama seperti kamu. Kamu lebih menghargai dan mengertiku,” tegasnya.
“Oke, kalau itu alasanmu. Biar enak ngomongnya. Kita ke taman saja,” ajakku padanya.
Lalu menunjuk sebuah taman yang lengkap dengan kursinya. Wanita itu setuju. Ia mengikuti langkahku. Kami duduk di taman itu. Seperti sepasang bendera.
“Apa sebenarnya permasalahanmu?” selidikku.
“Aku butuh doa agar cepat mati. Ajarkanlah aku doa itu!”
Wah, dia punya problem besar.
”Maaf sobat, aku tidak punya doa seperti itu. Lagi pula tidak baik kamu berpikiran begitu. Karena hal begitu adalah ciri orang pesimis terhadap kehidupan,” kataku mengingatkannya dari langkah yang salah.
“Habis mau melakukan itu salah. Melakukan begini salah, melakukan begitu salah. Begini dosa begitu dosa. Lebih baik aku menyembah berhala saja.”
“Eit, stop!” cegahku.
“Tidak baik kamu berbicara begitu. Sirkubillah. Syirik pada Allah. Itu dosanya besar, yang tidak mungkin diampuni Allah. Aku tahu kamu punya masalah rumit. Tapi tidak baik berbicara begitu. Aku tahu kamu masih belum bisa menenangkan hatimu hari ini. Sabarlah!”
“Sabar! Sudah puas aku bersabar. Tapi mengapa badai ujian itu selalu datang mendera karang hatiku. Rasanya aku tak sanggup lagi. Lebih baik aku mati saja.”Iia berdesis.
Badannya melemas seakan tidak ada energi.
“Jangan bicara begitu dong. Tenanglah. Kendalikan dulu emosimu. Coba belajar optimis!”
Seketika ia mengguguk, cairan bening merembes pelan dari kelopak matanya.
“Kok malah menangis! Salahkah aku berbicara tadi?” Aku merasa bersalah karena membuatnya sedih.
“Tidak. Kamu tidak salah kok,” ujarnya menyeka bulir bening di sudut matanya.
“Jadi?”
“Sorry. Aku terlalu romantis,” lembut katanya masih dalam kesenduan.
“Oke, kalau begitu. Sebenarnya masalahmu itu apa?”
Ditatanya dulu hatinya yang sempat kacau agar menjadi tenang. Setelah tenang barulah ia mengutarakan masalahnya.
Ada dua mentari yang hadir dalam hatinya. Mentari satu selalu dikejarnya. Namun, mentari itu selalu cuek dan tidak menghiraukannya. Tidak mau ambil peduli, padahal ia benar-benar ingin memilikinya. Ingin disimpan terus dalam jantungnya agar jantungnya terang benderang. Atau mentari satu menguji ia agar bisa lebih tabah menghadapi ujian meniti rel kehidupan? Ia tidak tahu, mana bisa ia menebak. Yang dirasakannya hanya suasana perasaan yang lain. Hanyalah resah dan kecewa berpadu. Sedangkan di sini mentari kedua selalu mengubernya, agar minta tempat juga di jantungnya, mau menolak mentari kedua, ia tidak bisa. Sebab ibunya meminta ia menjadi teman keduanya. Ia takut durhaka. Ia ingin berbakti. Akhirnya ia bingung menentukan pilihannya.
Apakah ia akan mengejar cintanya? Tapi di sisi lain ia ingin membahagiakan orang tuanya. Kini hatinya tersiksa.
Maka ia pun datang padaku.
“Sobat, kamu sudah kena dilema!”
“Dilema?” kagetnya.
“Jangan kaget. Tenang saja. Tidak hanya kamu yang mengalami seperti itu. Semua jiwa yang berwujud manusia pernah merasakannya.”
“Begitu rupanya. Jadi bagaimana solusinya?
“Susah juga urusannya ya?”
“Jadi kamu tidak bisa memberikan solusi dilemaku ini?” Ia terbelalak.
“Tenang sobat. Tunggu sebentar. Izinkan aku merenung sebentar saja untuk mencarikan solusi dilemamu itu. Mudah-mudahan ilham dari Maha kuasa mendatangiku.”
“Silakan,” katanya sambil menunggu.
Aku mulai memasukkan pikiranku pada dunia mikrokosmos. Menganalisis masalahnya. Petunjuk pun datang. Alhamdulillah. Aku sudah menemukan jalan keluarnya.
“Begini ya sobat, solusinya. Kalau bisa kamu harus membujuk ibumu agar dapat meluluskan keinginan hatimu untuk memiliki mentari satu. Betul-betul orang yang kamu cintai. Tapi kalau ibumu tidak mau. Kamu harus memenuhi keinginan hati orang tuamu. Untuk memilih mentari kedua. Sebab orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia. Bisa jadi yang dipilihkannya itu cocok untukmu. Walau rasanya begitu sakit untuk menerima hal tersebut. Kita harus dapat berlapang dada dan berbesar hati. Mungkin saja di balik semua ini ada hikmahnya. Jangan lupa kuatkan penerimaanmu dengan memohon keridhoan dari Allah.”
Itulah penjelasan yang dapat kuberikan padanya. Ia tersenyum.
“Terima kasih ya sobat atas sarannya. Insya allah akan kucoba.”
Angin lirih berhembus ketika itu. Aku cuma mengangguk, ikut merasakan kegundahannya.
Wanita yang ingin memiliki mentari sudah ceria lagi. tidak mendung dan kelam seperti hari-hari yang lalu. Sempat aku bertanya padanya.
“Bagaimana dengan dilemanya? Sudah diselesaikan?”
“Alhamdulillah, teman. Sudah bisa diatasi,” sahutnya begitu riangnya.
Syukurlah, pujiku dalam hati.
~oOo~

Di pojok ruangan segi empat rembulan. Ia duduk termenung. Wajahnya sangat kusut. Senyumnya kecut. Cantik kalau ia sedang begini. Cantik yang pahit. Teman-temannya berusaha menghiburnya. Tapi hiburan itu tak pernah singgah dalam jiwanya. Teman-temannya tetap saja menghiburnya agar ia dapat tersenyum dan tertawa. Ianya tetap saja kusut dan kecut. Beginilah kalau ia punya masalah. Labil lagi. Uring-uringan.
“Aduh, mengapa jadi begini lagi?” Ia mengome sendiri.
“Sudahlah teman, masih banyak teman seperti dia,” kata Mawar.
“Tapi War, dia begitu akrab denganku. Kok bisa teganya dia bermulut ember. Membocorkan masalahku. Sehingga teman-teman yang lain tahu semuanya. Aku jadi malu. Padahal aku percaya pada dia, bisa menjaga amanah ini. Nyatanya, begini jadinya. Aku sungguh kecewa. Kok bisa-bisanya dia berbuat begitu.”
“Itulah manusia, teman!”
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
“Karena semua manusia memiliki karakter masing-masing. Ada yang jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Ada yang bermulut ember, ada yang suka usilan. Bermacam-macam, karakter beragam. Untuk itu sebelum kita memberikan amanah kepada orang lain, dianjurkan terlebih dahulu kita mengujinya. Apakah dia orang yang bisa menjaga amanah kita atau tidak? Apakah ia orang jujur atau tidak? Apakah dia orang beragama teguh atau tidak? Kalau dia memilikinya barulah kita memberikan amanah itu. Kalau tidak, kita cari saja teman yang lain yang bisa memenuhi kriteria itu.”
Wanita yang ingin memiliki mentari terdiam sejenak. Ia tercenung mendengar penjelasan yang disampaikan Mawar. Ada benarnya juga. Mungkin temanku yang satu memang jujur.
“Sudahlah teman, mari kita hibur diri ini selagi masih muda,” ujar Mawar seketika.
Mawar menarik wanita yang ingin memiliki mentari itu. Mereka menyenangkan hati. Tidak terasa wanita yang ingin memiliki mentari sudah melupakan kegundahgulanaan dan kekesalannya. Mawar memang teman yang bisa menghibur teman di saat duka. Memang teman yang patut dibanggakan.
Septi adalah teman wanita yang ingin memiliki mentari yang paling dekat. Karena rumah mereka tidak berjauhan dan dia yang menjadi tempat pengaduannya kalau ada masalah. Namun, Septi itu belum dikategorikan dewasa walaupun usianya sudah tergolong dewasa, 17 tahun. Namun Septi belum bisa membedakan yang mana harus dijaga dan disimpan erat dan yang mana harus dibicarakannya. Semuanya dipukulnya rata.
Selain itu dia terkenal suka gosip. Karena itulah, hari ini, wanita yang ingin memiliki mentari kecewa padanya. Kesal, gara-gara ulah Septi yang membocorkan rahasianya sehingga teman-temannya tahu masalah yang dihadapinya.
Untunglah Mawar bisa mengobati kekesalan wanita itu. Sehingga, dia menyadari suatu hal bahwa kita harus bisa menentukan teman yang bisa menjaga amanah yang diberikan padanya dengan kategori dia haruslah orang jujur, dapat dipercaya, dan taat beribadat pada Allah.
Ketika di sudut bibir senyumannya terkembang aku berjumpa lagi dengan wanita yang ingin memiliki mentari. Dia mengajakku duduk di pojok ruang rembulan di halaman taman Pendidikan Atas. Aku menurut saja. Dia terlihat bahagia.
“Sobat, terima kasih atas saranmu bahwa kini aku sudah memiliki mentari,” katanya.
“Syukurlah,” kataku dalam hati.
Ikut juga merasakan kebahagiannya.
“Mentari satu atau mentari dua?”
“Tidak dua-duanya.”
“Kok, bisa begitu?”
“Bisalah sobat. Karena aku tidak ingin mengecewakan dan menyenangkan antara satu dari kami. Dengan keputusan bulat aku mengambil jalan tengahnya. Biarlah aku memilih mentari yang lain saja. Dengan begitu sama-sama adil. Masing-masing tidak ada dikecewakan dan tidak ada yang diuntungkan. “
“Bagus sekali tindakan yang kamu lakukan. Jadi mentari mana yang kamu pilih?”
“Mentari yang berada di langit nurani dan tepat berada di lubuk rembulan ketujuh satelit keabadian. Dialah selama ini selalu rela berkorban untukku dan tabah menantiku. Walaupun dia seringkali terbakar oleh pengorbanannya.” katanya lebih segar tersenyum memandangku.
Ia tersenyum, menyimpan sesuatu.
Aku terdiam dan tak bisa lagi berbicara. Lidahku kelu.
Karena akulah mentari itu.

Balber, 24 Juni 2005

(Dipublikasikan di Harian Borneo Tribune, 27 Mei 2007)

Thursday, July 19, 2007

LINGKARAN ISENG WAJAH BULAN

(EPISODE PROLOG)

by deki triadi

dalam lingkaran iseng ini, wajah bulan sumringah
anakanak tertawa lagi mainan lama tetap kangenkan tembangtembang yang hilang digedung mulai menjulang
buruh, buruk, kurus, wajah bopeng dan topeng
melewatkan angin diporipori
tak meneteskan keringat lagi
karena telah lama kita bercanda dalam lingkaran ini
disaksikan bulan tertawa menguping lagu kita yang dinyanyikan
ketika jemari di kunci g dan suara di kunci f
tak ada kesinambungan semua berempati pada nol keisengan kita lagi

dalam lingkaran keisengan, langkah kita menembus kelam
diantara ngiau kucing dan gonggong anjing disaksikan bulan tertawa
nguping rayuan basi di dalam lemari kaca tanpa dapat menembus benak berempati lagi pada nol dan kita berhitung dari lima sampai sepuluh wajah bulan kehilangan empat dan satu yang tertawatawa dalam lingkaran keisengan


Pontianak, Maret 2002

ROMANTIS

(LONTEKU I )

by deki triadi

sejak dulu kita begini
terkapar dan pergi
setelah perjalanan panjang
hanya menyisakan peluh dirahimmu
lalu hilang dipagi buta
hanya ranjang berserakan
dan selembar dosa tertinggal
sebagai kenangan bukan yang terakhir

Pontianak, 28 – 02 – ’02

ROMAN PICISAN (LONTE KU II)

by deki triadi

malam yang berkeluh kesah
telah menarikku keranjang lusuh
lalu aku lepas kembali kelopak-kelopak indah
racun dan dosa
: wanita sama adalah kau!
diranjang lusuh yang menyisakan keringat kita
tak pernah kering dari nafsu gila
berlayar dan berlayar
membelah dosa semakin meruap ke jalan raya

telah lama lagi kita tak berbagi
tentang keringat di rahim kini bersemi
tek mengenal dosa dan cerita kita
kini kutanam kembali dirahimmu
sebatang padi untuk nanti
bila waktu yang terlepas di dinding lapuk
dapat berhenti
maka kita tetap membelai malam
dalam zinah dan minuman
malam ini di malam lusuh
maka dosa adalah kedahagaan kita
pada dzikir yang telah lama ditidurkan
di ranjang lusuh
begitu kental akan aroma tubuh ini

Pontianak, 28 – 02 - 02

MELUKIS HUJAN

melukis wajahmu malam ini
hujan lewat begitu saja menari didalam kelam
yang berkeluh kesah mencintai. lagu kita telah berganti
irama
wajahmu semakin pias diantara dua mata air
yang mengalirkan ego ini tentang seekor enggang bercanda
lagi
: tahukah kau tentang dara nandung
tak ingin aku menjadi bujang nadi
mencintai diri di dalam mimpi

Pontianak, Januari 2002

SURAT UNTUK AFRIZAL MALNA

sungguh aku ingin mengenalmu
seperti aku kenal ibu bapakku sejak dalam rahim

angin yang membelai diri terlalu sombong menerbangkan aku
ke singgasanamu
tak kuasa matahari ini mencairkan aku yang telah membeku
tergantung didaun tua yang telah lama tersimpan dipeti
berkarat

peradaban lama yang silih berganti sejak marah rusli
hingga isbedy stiawan
tak kuasa menarikku ‘tuk menghapuskan pikiranpikiran
purba
tentang katakata berlumut dilembaran lumus
mungkin aku yang tak mengenal diri sendiri


Pontianak, 1 Oktober 2001

Wednesday, July 18, 2007

Bohong Seniman Tak Perlu Duit

by: Pradono

Bukan mengada-ada bila dinyatakan bahwa sudah saatnya kita menyadari bahwa seniman juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.

Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat memahami eksistensi seniman dengan terbiasa dan berani mengatakan dan menerima pernyataan: “Bohong seniman tak perlu duit! Pernyataan ini menanggapi ungkapan yang lentur di lidah dan begitu saja meluncur, “Ah, seniman tak dibayarpun tidak apa-apa, mereka kan hanya mencari kepuasan batin!” Akhirnya, karya seni menjadi tidak berharga dan bernilai karena seniman dianggap sasaran empuk ‘proyek thank you’.

Konkretnya, apa pelukis tidak perlu duit untuk membeli kanvas, kuas, cat, figura, dan sebagainya. Apa koreografer dan penari tidak perlu berbusana saat menari. Apa sastrawan tidak perlu alat tulis dan kertas untuk berkarya. Apa musisi tak perlu alat musik. Apa kelompok teater tak perlu biaya untuk pementasannya. Dan seterusnya. Apa seniman hanya sim salabim. Hup! Jadi! Dan tak usah dibayar dan dihargai karya-karyanya? Apalagi tak perlu digubris soal hak ciptanya? Betapa dahsyatnya!

What? “Apa kata dunia!” kata si Naga Bonar. Lalu diapun berseru, “Wahai dunia, seniman juga perlu duit untuk beli beras, ongkos naik oplet, membeli buku untuk menambah wawasan, perlu tabungan untuk membiayai keluarganya, perlu membayar pajak sebagai ketaatannya kepada negara, perlu menyumbang rumah ibadah sebagai ketakwaannya kepada Tuhannya, dan seterusnya, dan sebagainya.“

Ringkasnya, seniman bukanlah sesosok manusia yang hidup tanpa makan, tanpa keinginan dan mimpi hidup layak sebagaimana manusia yang lain. Jadi, seniman sama dengan manusia yang lain. Seniman adalah sesosok figur di tengah suatu masyarakat, yang karena motivasi eksistensinya pro-perdamaian, pro-peradaban, dan pro-rakyat mampu bersikap kritis sekalipun dalam krisis dan berani mengatakan: Tidak!

Seniman (dalam makna sesungguhnya) berdiri di barisan golongan masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Kelebihan seniman, begitu orang lain menganggapnya, hanya diberikan kesanggupan untuk mampu ‘berbeda’ dalam mengekspresikan jiwa dan eksistensinya.

Konteks ini hanya sekadar meluruskan persepsi segolongan masyarakat bahwa mereka selama ini sesungguhnya telah terjebak dan tersempitkan wawasannya oleh imej yang memandang seniman dari wujud lahiriah (personal)-nya semata. Pandangan ini sesungguhnya salah, keliru dan akhirnya sekian lama menjadi virus yang menyesatkan. Virus ini telah mematikan daya kritis masyarakat sendiri sebagai gambaran pembentukan karakter bangsa alias character building yang gagal sehingga memandang sesuatu secara tidak bijak dan sekadar berapriori dengan kacamata retak yang buram.

Segala wujud lahiriah personal itu sesungguhnya hanyalah ekspresi individual seniman tertentu, tetapi telanjur menjadi tafsir bebas untuk mengidentifikasikan sosok seniman secara generalisasi. Akibatnya, tampakan fisik itupun tak jarang menjadi alamat negatif yang dilekatkan pada seniman. Rambut gondrong merupakan idiom dan simbol yang paling populer, lengkap dengan segala definisinya yang cenderung negatif. Padahal, kalau mau jujur dan meluaskan pandangan, ada barisan panjang seniman yang berpenampilan parlente, necis, rapi, sopan, dan sebagainya bahkan tidak sedikit yang eksis dengan kepala plontos.

Jadi, bukan mengada-ada bila sekarang saatnya semua menyadari bahwa seniman secara personal juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.

Tak ada salahnya mulai mengubur dalam-dalam virus yang telah mematikan daya kritis kita dan menyingkirkan kacamata retak yang buram. Dengan demikian, akhirnya dapat bergandengan dengan seniman membangun peradaban. (*)

Penulis adalah Ketua Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak dan Sekretaris Dewan Kesenian Kalimantan Barat.

malam terasa malam

by: adi mochtar

dingin
di teras rumah
hadapan air mengalir deras
maklum separo hari turun hujan
sekarang saja tidak
malam terasa malam
apalagi keramaian telah menipis
padahal baru seminggu fitri dijalani
entahlah
sebab esok akan kutinggalkan kampungku
kembali arungi persaingan hidup

kampong dagang, sambas, sambil ngopi dan merokok,
20 nov 2004, 20:22:44 wib

KENUDISAN DOSA DAN SUARA ADZAN

by: deki triadi

waktu kau bernyanyi dengan suara sumbang kedua telingaku terkunci lagu dari mikrofonmikrofon usang kau banggakan seperti kau banggakan kemaluanmu malam itu diranjang yang kita bereskan bersama dalam sehelai celana dalam. memang kita tidak dalam kenudisan karena kenudisan hanya ada dirumah tuhan bukan diadzan mahgrib atau adzan subuh begitu sulit membuka mata ketika lelah membalut ranjang kita dalam sehelai celana dalam berserakan sedikit behamu yang tertinggal dan sehelai kaos singlet yang memisahkan kita dalam kenudisan dosa membangunkan suara adzan yang tenggelam digelasgelas kotor anggur yang merencanakan setan segera masuk dihati kita. kau atau aku bersama setan malam ini menuntaskan perjanjian lama yang diikrarkan ketika dosa diketik satusatu oleh adam dan hawa berzinah kembali melupakan suara adzan saat iga kehilangan buah kuldi. dan perjanjian itu telah sampai ditelinga kita yang terpisahkan behamu dan kaos singlet ini. dalam kenudisan dosa kita lupakan adzan sekejab saja asyikan nafsunafsu tua yang tersekat ditenggorokan untuk memuntahkan perjanjian yang menyisakan beha dan kaos singlet dalam kemaluanmu dan kemaluanku

Pontianak 1 Mei 2002

SEORANG BOCAH, WANITA MALAM, ORANG GILA, DAN AKU

by: deki triadi

senggang waktu diantara iseng langkahku bersenggama lagi bersama bocah dan wanita malam. aku tetap ditrotoar ini mengumpulkan debudebu menjadi orang gila setelah lama bersenggama diayunayun angin melepaskan sejenak siapa tuhan? engkau berbisik kembali kepada tuhanmu dan bukan tuhanku yang menjadi tuhan bagi orangorang kaya bukan yang dirawarawa
seekor rayap mulai merayap setelah sayapnya jatuh dibelantarabelantara lebat dosa dan dosa dalam senggama ini kau tetap mencari tuhanmu.
ah! terlalu kekal wajahmu dalam benaman nafsuku diantara bocah, wanita malam, orang gila, dan aku sendiri mengalirkan luka yang tak berdarah disemua benua mencari tuhan yang telah menitipkan dosa ini berkumandangkan suarasuara surgawi hanya janji belaka
senggang waktu terus berlari diantara iseng yang menuntaskan senggama diliangliang lahat berkafankan bayangmu dalam nafsuku semakin menanjak. adakah kau sama seperti aku diantara nafsu, bocah, wanita malam, orang gila, dan nafsu diwarung kopi atau diembun tua sekali sejak tuhan menitipkan dosa disaku baju.
sejenak isengku tandas dalam anginangin surgawi yang berjanji siapa hati kita diantara bocah, wanita malam, orang gila dan aku sendiri bingung menentukan dimana kita membuang dosa kemaren sore tak pasti dihamparan kaki lima atau tong sampah disamping mesjid yang telah mati karena lakilaki khalifah sebenar terlalu asyik bermain remi diwarungwarung yang mengumandangkan adzan untuk tidur sejenak memeluk minuman lalu mengucup bibirbibir indah bersama iler telah melebar ke rumah tuhan. senggang iseng waktu mampir sebentar dimesjid kehilangan lakilaki menumpuk seorang bocah, wanita malam, orang gila, dan aku sendiri tidak lagi menggunakan topeng karena dosa telah meluap kejalan raya yang mengekalkan lakilaki khalifah sebenarnya dalam goyangan asyik menegangkan kemaluan yang beradu diranjangranjang melupakan
tuhanmu sebenarnya. dalam iseng ini seekor rayap memandikan cahaya yang kehilangan tinta karena lakilaki sebenarnya telah terperosok kerawarawa berlari mengejar ularular betina dalam dongeng tentang seorang bocah, wanita malam, orang gila dan aku kehilangan tuhan!
Pontianak, 27 Mei 2002

SEMUSIM

: yati
by: deki triadi

dan hujan ini turun lagi
seirama titik air mata jatuh kebumi
membasahi hati yang luka

tak ada pergantian musim
membawa hati untuk kembali, bersatu dalam bencana
berpisah dalam bahagia

hanya satu untuk menghapus lara yang menjadi perkasihan semusim
tapi kenangankenangan yang menggantung dipohon tua
ketika ketika beromansa tak jua beranjak dalam otakotak gelisah

tak ada pergantian musim yang dapat membahagiakan hati
karena terlena janji, bersatu kembali
tapi, kekuatan benci tak mengubah hati ‘tuk kembali
diperkasihan semusim ini kutunggu dikau ‘tuk kembali
walau hanya seperempat pasti dari setengah harap

Korpri, 20-6-1998

Setetes Dawat Buat Odhy’s
Oleh : M.Saifun salakim

Saat kubaca lembaran pertama surat kabar Pontianak Post tertanggal 8 Mei 2005 tidak tertulis namamu. Lalu yang terbaca dan terpandangku hanya cerpen Agus Wahyuni, Nurhalimah Usman, dan Sajak Fantasi Helai Daun 1,2, dan 3 karya Pradono Yanku.
Pradono Yanku termasuk salah satu senior pembimbingku dalam menapaki kegemilangan dunia sastra. Seringkali aku berkonsultasi dan minta pendapat padanya. Setiap kala dalam hitungan waktu bernyanyi. Saat kuinjakkan langkahku di tanah dia berada, kota hantunya. Sekarang tempat tinggalnya lebih dikenal dengan sebutan Bumi Khatulistiwa atau Pontianak City.
Bang Dono, sapaan hangat, kupanggil namanya setiap putaran detik berlalu. Ketika kami habiskan hari memakan butiran-butiran kesegaran sastra dbalik menempelnya embun malam yang bergantungan dilapaz cinta rumput bersujud simpuh pada Allah. Sehingga badan tetap menyegar, meninggalkan rasa kantuk yang mendera. Yang ada hanyalah kenikmatan saja. Itu kulakukan agar segala hasil karya yang kuciptakan bisa bernilai tinggi di mata orang-orang pecinta sastra. Mungkin saja dapat bersarang telak di otak masyarakat Bumi Khatulistiwa saat ini, yang masih rendah menghargai karya sastra penyairnya.
Karena menyukai hal-hal yang berbau kesusasteraan, maka pecahan-pecahan cerpen dan sajak di surat kabar itu kusimpan dalam lemari, tempat kumenyimpan buku-buku pelajaran dan bacaanku. Rencananya serpihan surat kabar itu akan kukliping sebagai penambah wawasan dan khasanah perbendaharaan kesusasteraanku.
Entah mengapa di hari Jumat ini. Hari yang penuh kemuliaan dan barokah ini. Kutergiur untuk menelan berita-berita yang lain dari surat kabar itu, yang disimpan temanku Tito di bawah meja ruang tamu. Kuraih surat kabar itu dengan kebanggaan. AKu pun mulai menelaah isinya satu per satu. Terbacalah olehku sekilas berita tentangmu di pojok kolom surat kabar itu yang ditulis sahabatku, Dedy Ari Asfar. Semasa sama-sama satu kampus. Sama-sama berjuang dahulu sekuat tenaga untuk meraih cita-cita dan harapan. Yang memang telah diplaning dalam benak untuk direalitakan dalam kehidupan ini.
Alhamdulillah. Sahabatku itu terkena nasib mujur atau dapat dikatakan untung dua belas kali. Ia bisa berkenalan akrab dengan doktor ahli bahasa dan sastra. Doktor ahli bahasa dan sastra yang sudah dikenal banyak masyarakat bumi Khatulistiwa, Dr. Chairil Effendy. Lewat tangan dingin beliau itulah, sahabatku bisa meneruskan studi S2nya ke Malaysia.
Sejak saat itu kontak hubungan menghilang antara kami. Sebab kami sudah sama-sama mencari hakikat kehidupan masing-masing. Walaupun kadangkala kumasih merindukan memori itu. Ingin berbagi cerita masa lalu yang mungkin masih ngeres untuk diceritakan ulang. Atau sebaliknya cerita masa sekarang yang enak untuk diperdengarkan.
Ya. Benar sekali. Sungguh kebetulan. Sungguh kontras. Kagetku jadi beralasan. Ketika pijaran mata ini membaca tulisan sahabatku mengenaimu bahwa kamu sudah pergi ke negeri surgawi, menghadap Rabbmu. Rasanya aku belum percaya? Betulkah berita ini? atau hanya kebohongan saja? Berita pamer sensasikah? Tidak tahulah……………
Ketidakpercayaanku juga beralasan mengenai berita tentangmu. Sebab belum lama kita berpisah kala itu.
Bunga di taman kebersamaan kita masih meneriakkan keharuman dalam jiwa. Hembusan angin masih harum memenuhi rongga udara. Menembus jantung dan paru-paru kehidupan yang terdapat dalam kenikmatan terdalam. Segarnya. Apalagi kamu masih selalu mengumbarkan senyuman bak kilauan intan permata dengan disertai mulutmu berucap memberikan wejangan sastra padaku. Kumenyerapnya dengan baik bahkan wejanganmu masih kuingat sampai sekarang.
Wejanganmu, yaitu kalau ingin jadi sastrawan andalan, hendaknya kamu mengerjakan tiga hal pokok ini. Pertama, rajinlah membaca hasil karya sastra orang lain. Dalam artian untuk menambah wawasan dan mempelajari cara-cara orang membuat karya sastra. Kedua, rajinlah berkarya. Jangan sampai berhenti atau putus di tengah jalan. Terus dan terus dengan tiada hentinya. Ketiga, berkonsultasilah pada orang yang sudah pakar dalam bidang sastra, agar hasil karya yang kamu ciptakan mendapatkan masukan atau kritikan membangun. Yang sungguh berharga sebagai langkah perbaikanmu dalam berkarya untuk mengantarkan hasil karyamu ke gerbang yang berkualitas tinggi atau yang terbaik.
Selain itu, jiwa teduhmu selalui menaungi kepanasan hatiku. Tutur bahasamu yang lembut dan penuh keramahtamahan selalu kujadikan panutan. Kalau Allah memperkenankan ingin rasanya aku memiliki kelebihan seperti dirimu. Hingga wajarlah bila kamu kuanggap adalah guru pembimbing sastraku yang paling baik, selain sahabatmu yang lain.
Sebelum berpisah ketika itu. Kamu tengah merampungkan pengumpulan hasil karya sastra para penyair Kalimantan Barat untuk dibukukan bersama dengan penyair Kalimantan yang lainnya, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Antologi Penyair Kalimantan. Termasuklah salah satu penyair yang masuk kategorimu penyair Kalimantan Barat adalah aku. Yang proyek pembukuan itu dikerjakan oleh penyair Korrie Layun Rampan, penyair Kalimantan Timur. Katamu juga.
“Kalau bukunya sudah jadi maka para penyair yang hasil karyanya termuat dalam antologi itu akan diundang membacakan hasil karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kita yang dari Kalimantan Barat akan sama-sama mencari dananya. Kita akan sama-sama pergi ke Jakarta dengan membawa panji penyair Kalimantan barat.”
Tidak lupa kamu juga memberikan aku sebuah buku essaimu yang sudah diterbitkan yang berjudul ”Nasib Mendu; dan Sejumlah Renungan Sufistik Anak Melayu” yang penuh berisi ajaran kesufistikanmu untuk pengasah nalar dan iman agar menjadi mantap dan lebih baik. Buku itu juga adalah buku pemberi motivasiku untuk mengikuti jejak kesufistikan seperti dirimu. Lebih kental mengenal Allah.
Oh ya, Bang Odhy’s, panggilanku padamu.
“Terima kasih banyak atas oleh-oleh ini,” ujarku.
Kamu hanya tersenyum. Senyum kebahagiaan. Sebentar kamu berujar.
“Saifun, kalau puisi sufistikku sudah diterbitkan oleh penerbit dari Bandung. Akan kusisihkan untuk ente satu buah.”
Sungguh perhatian dia denganku.
“Alhamdulillah,” jawabku sederhana.
Mengenai puisi kesufistikannya itu sudah siap terbit. Mungkin dalam waktu satu bulan dan kurang dari dua bulan puisi itu sudah dirampungkan. Penulisnya yaitu Bang Odhy’s akan diberikan sepuluh buah buku sekaligus honorarium awal yang dibayar dengan sistem royalti dari penerbit. Sepuluh dari satu buah buku itulah, rencanaya akan diberikannya padaku.
Percakapan hangat antara kita waktu itu terus berlanjut sampai menjelang Magrib. Azan pun mengusik kehangatan itu. Menyuruh kita untuk melaksanakan kewajiban ibadah pada Allah. Kita pun sama-sama shalat berjamaah ke masjid Nursalim, yang tidak jauh dari rumahmu. Sampai menghabiskan shalat Isya sekalian. Kita masih sama-sama tunduk bersimpuh di masjid itu menghaturkan bakti pada Allah. Selesai shalat kita pulang ke rumahmu. Masih sempat kita mengobrol sebentar.
“Bang, kalau ada perkembangan sastra disini beritahu saya ya?” kataku.
“Insya Allah, Saifun. Saya akan memberitahukannya padamu. Masih nomor telepon yang lamakan?”
“Ya, Bang. Tidak berubah. Masih tetap yang lama.”
“Baiklah, kalau begitu Saifun. Oke deh.”
Kamu mengangguk-angguk tanda mengerti. Sebentar kemudian aku pamit pulang. Kamu melepaskanku dengan kehangatan jiwa seorang bapak dan guru yang dihormati anak muridnya. Itulah penggalan memori yang kurasa masih menghangat.
Tapi, aduh! Warta yang kubaca ini masih membuatku bimbang. Antara menerima atau tidak. Benarkah itu terjadi? Tapi, tidak mungkinlah sahabatku yang menulis warta ini berbohong. Karena sahabatku, kukenal konsisten dengan kejujurannya.
Subhanallah. Innalillahi wa innalillahi rojiun, kuucapkan kalimat itu dengan getaran sendu, sesendu jiwaku yang merasa kehilanganmu.
Tapi, aku sadar.
Ajal datang tidak pernah dapat diraba dan dia datang setiap saat sesuai dengan kehendak Allah. Mungkin Allah sudah punya ketentuan padamu bahwa umurmu cukup sampai disitu saja.
Kutata hatiku supaya bisa kokoh dan kuat bersabar. Walau serpihan sedih masih bersisa di aliran darahku. Aku harus bisa menerimanya. Walaupun kusungguh merasa kehilangan. Sebab belum tuntas rasanya kumenimba ilmu sastra denganmu sebanyak-banyaknya agar kubisa merasai kenikmatan air lautan cahaya. Biar aku sampai mabuk atau teler. Hingga rasa air lautan cahaya itu bisa kukecapi. Yang rasanya manis, tawar, pedas, asin, hambar, dan asam. Bila perlu juga, aku akan mendapatkan mutiara di dalam lautan itu yang selalu kudambakan dalam kehidupan ini.
Bang Odhy’s, di tempatku bertugas, yang jauh ini. Sungguh miris untuk menjengukmu. Membawakan kuntum kesturi dari keharuman taman hati untuk disemaikan di peristirahatanmu yang indah. Hal itu tidak bisa kulakukan waktu ini. Habis, jalan yang menghubungkan tempatku bertugas dengan kotamu, rusak berat dan berlubang sungguh dalam. Lubang itu membentuk danau buatan yang dalamnya mencapai empat sampai enam meter. Sulit untuk dilalui kendaraan bis. Apalagi akhir-akhir ini, musim penghujan sudah jadi sebuah langganan. Makanan setiap hari ke hari. Makin memperparah keadaan jalan penghubung itu.
Walaupun begitu, kumasih dapat tersenyum. Kumasih dapat bersyukur. Kenangan manis kita itu, sebelum kepulanganmu menuju rumah Allah tetap akan kuabadikan sepanjang zaman. Kamu tetap kukenang sampai kapanpun.
Sebagai ungkapan ketundukharuanku atas kepulanganmu ke negeri damai. Kuhanya dapat mengirimkan basah-basah doa di celah ranting-ranting pohon ketapang kering di sudut hatiku. Agar kamu bahagia di sana, bertemu dengan Allah. Selain itu, kuhanya dapat menitipkan selansir bait-bait olah pikirku untukmu. Agar kamu lebih tersenyum segar di sana.
Maaf ya, kuhanya dapat menyempalkan bait-bait terakhirnya. Karena kupikir bait-bait itu sudah mewakili apa yang kumaksud.
Bang Odhy,s, inilah oleh-oleh untukmu itu:
……….
Lalu bersamaan keharuman ini dari jauh
Yang masih membekas di taman kewangian memori
Kupetik setangkai doa angin yang penuh buah keikhlasan
Kutancapkan di kelambu-kelambu indah peraduanmu
Yang gembiranya bercengkerama bersama Tuhan
Dengan menyisakan efoni yang masih segar
; engkau adalah sahabat dan guruku yang paling baik

Balber, Medio mei 2005


Dipublikasikan di Pontianak Post, 17 Juli 2005