Sunday, September 23, 2007

Putri Pajangan

Oleh : M. Saifun salakim

Pesona menghampar. Pemandangan artistik terpampang jelas. Puluhan orang memadati kursi yang telah disediakan.. Bukan puluhan orang, bahkan bisa jadi ratusan orang. Berjubel. BerdesakanSaling kepanasan. Keringat mengucur mengelusi bahu, pipi, dan wajah bagian atas. Lampu pentas yang memiliki seribu pesona berkejaran lincahnya dari kiri ke kanan serta melakukan gaya sentripugal, teratur, dan kontinuitas. Kadangkala lampu pentas menyorot ke satu arah yang dituju. Membentuk bulatan atau lingkaran bulat penuh. Tentulah yang jadi sasaran atau mangsanya adalah para pemain teater yang memerankan naskah malam ini.
Pementasan malam ini dihadiri tamu kehormatan provinsi, yaitu Pak Gubernur beserta rombongannya. Mereka terlihat asyik bercengkerama dengan para kroninya. Membicarakan masalah kemajuan provinsi di masa mendatang. Langkah-langkah apa saja yang harus diambil? Bagaimana caranya mengatasi kendala apabila ada?
Terlihat dari sekian undangan. Ada yang tertawa-tawa berbau lisong politik ular. Ada yang berkomentar bersangitkan kelicikan tikus. Ada yang larak-lirik mencari gaetan dengan dibumbui mata liar sang kancil. Ada yang ngomong slebor, ngalor ngidul, harmoko! Pokoknya beraneka ragamlah gaya. Politis!
Pementasan ini digarap tiga sanggar terkenal di kota ini. Dengan mengirimkan para pemain terbaiknya dalam melakukan kolaborasi mementaskan naskah ASAL MULA KERAJAAN PONTIANAK. Dengan melakukan kolaborasi itu diharapkan dapat menciptakan tampilan yang serasi, selaras, seimbang, apik, dan menarik membuat penonton berdecak kagum. Bila perlu kekaguman itu mereka keluarkan sampai terkentut-kentut atau berair mata keindahan. Hebat! Hebat! Hebat!
Pementasan naskah ASAL MULA KERAJAAN PONTIANAK berjalan lancar, tidak ada halangan sedikit pun, dengan perahu lancang kuningnya melancar membawa orang-orang yang menonton pada pulau kekaguman yang maha dahsyat. Terpana. Bengong ayam. Karena belum pernah mereka melihat pementasan yang semenarik dan sebaik pementasan saat malam tenang meniduri embun kali ini. Sampai-sampai Pak Gubernur melontarkan harumnya kembang mewangi, terutama pada aktor pria yang diperankan saya dan aktor wanita yang diperankan wanita cantik molek anak asuhan Sanggar Bangsawan.
“Kerja kalian sukses sekali,” tepuk Pak Gubernur pada bahu ketua panitia pementasan.
“Alhamdulillah Pak!” sahut ketua panitia pementasan dengan wajah berseri-seri.
“Kalau ada pertunjukan hiburan di instansi saya. Bolehkan saya dihibur lagi pemain-pemain bagus malam ini? Apik sekali mereka bermain. Improvisasi yang bagus. Ini ada sedikit uang untuk sekadar pembinaan supaya kesenian ini bisa dikembangkan lebih baik lagi,” lanjut Pak Gubernur menyerahkan segepok uang dalam amplop tertutup pada ketua panitia pementasan.
“Terima kasih Pak atas semuanya ini. Mengenai keinginan Bapak, nanti saya konfirmasikan dengan mereka,” jawab ketua panitia lalu mengambil amplop tersebut.
Pak Gubernur menyalami semua panitia pementasan. Tak terkecuali para pemain malam ini. Saya dan dia dapat tepukan hangat tanda kepuasan. Apa yang dilakukan Pak Gubernur diikuti oleh rombongan yang lain. Selanjutnya tempat pementasan tinggal sunyi mematung bisu. Cuma tinggal kami yang asyik berganti pakaian.
“Kamu bermain sangat bagus,” puji saya padanya.
“Kamu juga main sangat bagus. Saya betul-betul senang malam ini mendapatkan pasangan main yang klop seperti kamu. Biasanya pasangan main saya grogi, tidak bagus memerankan aktingnya. Padahal kalau dipikir sudah lama dia berlatih sebelum ini. Kok bisa kagok ya? Alasannya simpel saja. Katanya, dia tidak mampu berhadapan secara terbuka dengan saya. Saya punya mata setajam elang yang meluluhlantakan keberaniannya. Saya punya pesona yang menyilaukan pandangan matanya sehingga kekagokan terjadi. Gombal! Bau hipokrit! Seharusnya dia bisa menguasai diri. Jangan membawa terlalu dalam perasaan hati atau persoalan kalbu kalau kita sedang main peran. Persoalan peranlah yang seharusnya diatastinggikan. Kamu tidak kok. Kamu malah santai dan rileks. Itu baru penghayatan yang apik dan gentleman. Itulah intinya bermain peran,” rendahnya suaramu mengumbarkan sayup-sayup mendayu buluh perindu.
“Yang betul?”
“Betul deh. Asli tidak adanya dilandasi unsur politis. Murni.”
“Kalau begitu, terima kasih ya atas komentarnya.”
“Kalau sekiranya saya mengajak kamu main bareng lagi. Bersediakah kamu memenuhi ajakan ini?”
Saya membesarkan dada. Banggalah! Karena mendapat pujian manis darinya yang hanya segelintir buih busa di lautan terbuka. Sudah kegedean rasa. Dasar pendeknya pikiran! Dasar tumpulnya pertimbangan! Setan lebih banyak berperan pada kesempatan ini. Wow, sombonglah! Sombongkan tidak boleh karena sombong penghancur tatanan kehidupan yang dibina dengan baik.
“Tidak mau ah.”
“Kenapa?”
“Karena kamu sudah kegedean rasa. Sudah membanggakan diri. Itu yang saya tidak suka.”
“Ha……Ha……,”
Tawa saya berderai memecahkan meja kaca. Serpihan beling-belingnya amblas menembus lantai. Tidak menimbulkan jejak sedikit pun. Raib. Kamu kaget, bingung, dan merasa aneh. Terpikir oleh otakmu dengan kata penolakan ini saya akan marah dan cemberut. Tapi saya malahan tertawa. Sungguh aneh bin sinting.
“Samaaaaaaakkkkkkkkkk.”
Saya mulai serius lagi. Lempang.
Ini pasti kerjaan seniman. Improvisasi. Bermain peran lagi, kajimu dalam hati.
“Akting ya?”
Saya hanya memunculkan sedikit rembulan di kelangitan bibir yang gersang. Maklum belum meneguk air putih. Kehausan. Sebab suara sudah tersalurkan begitu banyak selama bermain peran dalam pementasan tadi. Sedikit sinar rembulan yang dilemparkan dengan granat waktunya sejuk menghampar dan mengimbas sekujur dirimu sehingga tubuh dan wajahmu memantulkan kilauan air emas yang menyepuh. Sungguh indah di kaca seni mata. Saya kaget.
“Wow, pelangi artistik. Akting ya?” balik saya yang mendepaknya.
Kamu langsung tertawa renyah, serenyah kacang garuda cap dua kelinci. Melepaskan uneg-unegmu yang menyangkut di selokan perasaan. Memuntaskan kejanggalan di jiwa. Melahirkan keceriaan di sanubari dan kalbu terdalam.
“Aneh ya?”
“Tentu dong. Kalau tidak aneh mana mungkin saya ketawa. Kalau sekiranya penyebabnya tidak ada, saya ketawa. Nanti dikira sinting lagi.”
Memang sinting, mengumpat saya pada kalbu.
~oOo~

Inilah kehidupan seorang seniman. Selalu merasuki dunia kegilaan tetapi dengan pikiran yang tidak gila, waras. Walaupun hal itu dilihat orang adalah kegilaan. Orang yang memandang pekerjaan seniman adalah gila, orang yang tidak tahu menahu atau paham dengan jiwa seni. Kalau kiranya dia paham atau mengerti dengan jiwa seni maka dia juga akan merasakan kegilaan itu. Kegilaan yang menimbulkan sebuah kenikmatan. Layaknya sebuah makanan lezat yang terhidangkan di setiap pesta, pesta apa saja baik pesta pantai, pesta perkawinan, pesta ulang tahun, dan masih banyak lagi pestanya. Sebab kegilaan ini menuntun orang untuk meraih setitik sinar rembulan berpelukan erat dengan sinar matahari dalam tabung terdalam perasaan sanubari. Kebahagiaan alamiah. Tidak pernah ada yang mencemarinya. Murni hadir menghiasi kehidupannya. Kegilaan itu juga membuat kita menemukan hakikat jati diri kita yang hakiki.
“Dari tadi kita asyik berhaha…hihi…saja dan glunoran terus. Nanti bisa kebablasan dan bocor.”
“Ember kali.”
“Bisa jadi. Betul. Tapi itukan bumbu kehidupan biar enak begitu.”
“Shiiippppppp…………………”
“Namun, jangan terlalu berlebihan nanti rasanya tidak enak.”
“Betul.”
“Oh ya Man, kamu anak Sanggar Topeng atau anak Sanggar Kiprah?”
“Anak asuhan Sanggar Kiprah. Kamu, kalau saya coba menerka dengan melihat wajahmu yang cantik dan pernik dandananmu yang apik dan modis soo pasti tidak meleset lagi, pasti kamu anak asuhan Sanggar Bangsawan. Ya, kan?”
“Tepat sekali. Peramal ya?”
“Tidak cuma sedikit. Kalau banyak nanti mabuk.”
“Kayak minuman beralkohol saja. Bikin mabuk segala.”
“Bisa sajakan…?”
“Ya, deh…….”
“Girl. All right. Introduce. My name is Maksum.”
“Saya Puput Trinarwangsih, cukup dipanggil keren Putri.”
“Putri pemukau penuh aneka warna asri.”
“Hust, gombal melulu. Baru saja kenalan sudah pandai gombal gede. Apalagi kalau sudah akraban. Bisa-bisa gombalnya setinggi Gunung Kinibalu.”
“Tinggi amat…… tidak kecapaian. Kamu juga harus tahu bahwa gombal adalah bagian dari bumbu seniman dalam berkelakar.”
“Ah, bisa saja kamu.”
“Ya, dong. Sayakan seniman.”
“Memuji ni ye…….”
“Yalah. Lebih baik memuji diri sendiri dulu, sebelum dipuji orang lain. Tahu diri. Kan ada manfaatnya. Tambah kepercayaan diri dan memantapkan keyakinan. Bisa saja pujian ini menebal setebal ban mobil Cantona, kalau orang lain juga melakukan pujiannya. Kalau pun tidak, tidak rugi-rugi amat. He….he….”
“Ya, deh. Kreatif…….”
Saling berjabat tangan juga kami. Mengikrarkan sebuah persahabatan yang nirmala.
~oOo~

The art is your life. Kesenian adalah kehidupanmu.
Setiap ada perlombaan atau pementasan seni, kamu selalu hadir dan tampil. Begitu juga saya. Sama-sama mempunyai kegemaran atau hobi yang mirip atau serupa. Sama-sama menyukai kesenian. Tanpa terasa keintiman merajut jalinan kehidupan kita sehingga teman-teman hanya bisa mengiaskan kita bagaikan Romeo dan Juliett. Benarkah itu semua? Tidak pernah ada jawaban yang diberikan. Yes or no. Semuanya dibiarkan saja berlalu.
Sebenarnya kalau ingin tahu bahwa Romeo dan Juliett adalah sebuah tampilan kanvas lukisan percintaan muda-mudi di masa depan yang dilukiskan William Shakespeare. Imajinasi. Hanya berupa fantasi. Sampai kini karya emas William Shakespeare masih dijadikan amulet masyarakat umum.
Kalau sekiranya ada dari mereka menyaksikan atau mengalami percintaan yang selalu tidak ingin dipisahkan, cinta Romeo dan Juliettlah. Busyet! Pemanis mulut dalam bicara saja. Eufimisme. Adat timur selalu dipakai. Selalu mengembangkan sikap tabularasa. Kasihan deh. Tidak pernah mengatakan yang sejujurnya. Politis!
~oOo~

Di akhir talk show MEMBIDIK MASA DEPAN OLEH DERAP SASTRAWAN, salah satu pembicaranya adalah saya. Kamu menghadirinya dengan antusias sampai selesai. Dilanjutkan dengan acara hiburan berupa pementasan baca puisi, pantomim, tablo, dan kegiatan seni yang lainnya.
Putri. Kamu menjadi MCnya. Anggun tampilanmu. Makin memantapkan keyakinan saya bahwa kamu adalah sosok mahluk Allah yang terbaik dari kecantikanmu, yang memancar indahnya.
Saya tersentak seperti disengat beribu bahkan berjuta kalajengking. Linglung. Bingung. Mendengari teman-teman menggelari kamu putri pajangan. Apa penyebabnya?
Padahal kalau saya perhatikan kehidupanmu. Kamu bukanlah merpati yang terkurung dalam sangkar emas, tetapi kutilang yang melanglang buana mengitari dunia dengan kesenanganmu untuk menggenggam matahari. Padahal kamu bukanlah ilalang di padang gersang atau kaktus di gurun pasir tetapi kamu adalah bunga bakung di tepian aluran pantai atau air terjun di Gunung Palong.
Aneh? Ada misteri dirimu yang belum tersingkap di balik kabut kehidupan ini. Mungkin masih ditutupi oleh halimun tanah berputar ligat menerbangkan angin. Masih tertutup dalam ketidakmengertian. Saya membulatkan tekad untuk menyingkap kemisteriusan dirimu dengan cahaya terang kemengertian untuk melahirkan kebenaran absah. Wujud nyata dari sesuatu yang ingin diketahui. Puas! Bangga!
Saya tahu bahwa mereka yang menggelari kamu sebagai putri pajangan adalah orang-orang yang pernah mencoba mendekatimu. Selalu kandas. Gatot. Putus dayung sampan di tengah lautan sehingga sampannya terombang-ambing terbawa arus lautan. Entah kemana. Linglung. Kamu sepertinya tidak pernah ada tanggapan, selalu menghindar. Ice Cream. Tidak tepat istilah tersebut. Mungkin sedikit mengena adalah Cedin. Cool Girl, keren dikitlah. Semuanya adalah istilah diberikan mereka untukmu selain putri pajangan. Sudah semakin keren dan melangit di lambung awan kehidupan. Dengan alasan, kamu adalah sebuah barang atau benda yang hanya bisa dilihat, dikagumi, dan disanjung-sanjung sepuas hati tentang keindahannya, tapi tidak bisa dimiliki. Alasan kamu melakukan itu, mereka tidak tahu.
Walau maraknya rumor sumbang yang menyudutkanmu, telah beredar terang-terangan tapi saya tetap try continue mengungkapkan kepajanganmu selalu membuat geregetan dengan trik sendiri. Biar puas dan bangga. Kalau berhasil kan menjadi the best. Menjadi orang nomor satu menundukan kebekuan dan kemisterianmu.
Wow, semuanya akan menjadi spektakuler di dunia fantasi. Eksotis di dunia imajinasi. Fantastis di dunia khayalan. Kodok pun ikut menyanyikan dendang bhagawat gita menandakan telah menang perang. Perang menundukanmu.
Malam ini begitu indah apalagi suasana lengang dengan kesunyian menghentak. Menghambur dalam jiwa ini. Ingin mengorek kebenaran dari gayamu, sikapmu, tingkah lakumu, dan kecantikanmu yang begitu penuh pesona.
Salah satu cara yang saya lakukan adalah pendekatan represif. Anehnya setiap kali berbicara tentang kedalaman mawar kalbu mewangi kamu selalu mengindar. Seakan mengisyaratkan penghambatan terhadap lajunya sampan saya ke arah pantai impian rembulan. Mengapa putri? Kamu menutupi hal itu. Pasti ada alasan lain di balik ini.
Saya tidak surut dan gentar dengan alasan yang selalu kamu buat-buat. Malahan saya terus merangsek maju. Keras kepala. Spirit pantang menyerah tidak pernah padam dalam langkah ini walaupun langkah sudah terseok-seok tapi tetap menerjang. Sampai menemukan tujuan yang ingin dicapai.
Saya mengajak kamu menikmati suasana indah di Kafe Olah Seni Taman Budaya Pontianak. Mengambil tempat agak dipojok. Biar leluasa berbicaranya. Memesan sirup advokat dan makanan ringan seala kadarnya. Saya mulai memasang kuda-kuda. Mengeluarkan jurus untuk menaklukanmu. Kalau pun tidak dapat mengorek alasanmu selalu mengindar dari kehidupan berumah tangga dan punya pendamping hidup, diinginkan semua wanita. Berteman akrab saja denganmu sudah lebih sedari cukup.
“Putri, kamu tahu yang dimaksud teman sejati?”
“Tahu Sum.”
“Seperti apaan?”
“Teman sejati adalah teman yang selalu bersama menangis dalam duka dan tertawa dalam kegembiraan. Selalu dekat dalam kehidupan. Tapi sulit nian mendapatkannya. Kalau dalam seribu mungkin hanya satu atau tiga orang saja.”
“Langka sekali ya?”
“Memang begitulah kenyataannya. Karena orang dalam berteman lebih senang berpura-pura serta selalu memakai topeng setiap kala. Topeng monyet, topeng tikus, topeng buaya, dan lebih sadis lagi topeng singa.”
“Kalau teman sejati kehidupan, bagaimana pendapatmu?”
“Teman sejati kehidupan adalah teman selalu bersama kita dalam mengarungi rumah tangga sampai perceraian memisahkan, tidak mungkin kita lepaskan. Setiap kala mendampingi kita karena dia sudah disahkan oleh tali perkawinan.”
“Ada terbetik tidak kamu memiliki teman sejati seperti itu?”
“Ada. Setiap manusia normal pasti mendambakannya. Hanya keterbatasan saya yang menghalangi semuanya ini.”
Terperangkap pula Putri oleh pembicaraan saya. Mulailah saya dapat berlega hati karena tidak lama lagi saya akan dapat menyingkap kabut misteri dalam dirinya.
“Keterbatasanmu seperti apa? Mungkin sebagai temanmu, saya bisa membantu dalam menyelesaikan masalah ini.”
“Ahhhhhhhhhhhhh…… Uhhhhhhhhhhhhhhh……,” lenguhan napasmu keluar menerobos cerobong tanker minyak kafe. Asapnya membulat menembus lubang atap kafe langsung mendekam di langit kepurihan. Kamu tertunduk sekilas. Menekuri dirimu. Hening sejenak yang bersenandung. Terdengar merdu tingkah suara jam beker kafe masih hangat berdentang nyaring. Gemuruh gelombang perasaan saya memuncak teratas di gulungan tertinggi sedang mengganas kala ini.
Cepatlah!!! Cepatlah ungkapkan biar saya mengerti.
Saat mengangkat wajahmu yang terkilau sinar purnama, terlihatlah mendung bergelayut di rona keindahan wajahmu ditambah dengan melelehnya cairan bening air hujan salju merembes perlahan. Pandanganmu sayu.
“Lho mengapa musti menangis? Apakah salah saya bertanya seperti itu?”
Kamu tetap diam membisu. Hanya sinar mata bening peslahmu terus kuyu di balik retina mata indah itu. Cairan bening salju tetap mengalir sejuk perlahan-lahan ke aliran sungai lalu menghilang menembus lantai kafe.
“Maaf ya mas? Sebentar lagi kafenya tutup!” tegur pelayan kafe dengan keramahtamahannya.
“Jam berapa sekarang ya Mbak?”
“Sudah jam 12.00 malam mas.”
“Sudah malam rupanya. Tidak terasa juga ya? Sampai terlupakan untuk pulang.”
“Sum, kita pula saja ya?” lirih bibirmu juga angkat bicara walau dalam kesenduan.
“Yalah, Putri. Karena waktunya sudah menyuruh kita pergi padahal saya ingin berlama-lama denganmu. Tapi tidak apalah untuk kali ini. Masih ada waktu tersisa untuk hari yang lain. Baiklah Putri. Saya pesanannya dulu. Kamu tunggu saja disini.”
“Ehem……,” anggukmu dengan pelan sambil menunggu.
Saya pun membayar pesanan ke kasir. Seterusnya saya mengantarkanmu ke peraduan sunyi.
Gagal lagi saya menyingkap kabut misteri dirimu yang hampir terbuka. Masih belum beruntung! Masih belum mujur! Busyet. Kesal mengumpat-ngumpat dalam hati. Jangan takut dan kecewa sobat, masih ada kesempatan selanjutnya yang tersisa.
Biar tambah semarak. Biar tambah syahdu. Saat ini saya telah jadi detektif mengungkapkan kabut misteri dirimu. Saya memilih lokasi tenang untuk menghabiskan hari denganmu. Penuh obrolan-obrolan segar. Nanti dari obrolan itu akan saya jebak ia agar mengungkapkan keterbatasannya tidak mau kawin atau memiliki pendamping hidup untuk selama-lamanya. Dengan pendamping hidup bisa menjaga dan merawat serta melindungi kita dari segala halangan dan rintangan kehidupan.
Jujur saja. Saya salah satu orang yang telah mencalonkan diri untuk jadi pendamping hidupnya secara blak-blakan saja. Kayak anggota legislatif partai politik saja. Secara terang-terangan mencalonkan diri. Itu perlu. Karena zaman sudah membuatnya seperti begini. Ikuti saja kemauan zaman. Biar tidak dikatakan primitif tapi modernis. Pengikut arus kehidupan zaman.
Sebuah catatan yang perlu diketahui, mengikuti zaman harus disesuaikan dengan kultur dan budaya kita, bangsa Indonesia. Yang memiliki beraneka ragam suku bangsa dan tradisi budaya. Unik untuk dilestarikan. Mencirikhaskan bangsa Indonesia. Yang sekiranya kalau dilihat dari kaca mata internasional mempunyai suatu jati diri yang instan, membedakannya dengan bangsa lain yang ada di dunia ini.
Kafe Tanggui yang berada di Jalan Ahmad Yani II jadi lokasinya. Seperti biasa, kita memesan makanan kecil sekadar untuk menemani dalam mengobrol segar atau mengukir sebuah memori serta nostalgia yang bisa jadi berkesan. Dikenang untuk seumur hayat.
Dipesan adalah dua gelas sirup pepaya dan dua hidangan nasi goreng serta penganan pendukung. Sambil makan kita saling bertukar pikiran dan mengasah kemapuan di dunia seni agar mencapai yang terbaik. Bosan bicara tentang kesenian dan kebudayaan. Saya menyelitkan pembicaraan untuk menyingkap kabut dirimu, belum tuntas seperti pil tuntas saat itu.
“Putri, sepertinya kamu menganggap saya sebagai teman sejatimu hanya dalam tanda kutip.”
“Apa maksudmu dengan tanda kutip, Sum? Apakah kamu sudah punya pikiran bosan berteman dengan saya?”
“Tidak, Putri. Bukan begitu maksud saya. Tapi… maksudnya adalah bahwa kamu baru menganggap saya teman sejati kehidupanmu belum seratus persen diterima. Saya tidak enakan hati sehingga menimbulkan pradugaan yang tidak-tidak. Jangan-jangan…… Jangan-jangan itu saya tidak tahu. Sebenarnya Putri, apa sih alasanmu selalu mengindar dari kenyataan ini? Apakah saya tidak pantas untukmu? Apakah saya bukan tipe teman sejati kehidupan yang masuk dalam daftar kriteriamu?” kata saya.
Kamu terdiam. Tefekur. Merenungkan sesuatu dengan wajah tertunduk. Untung kalau jadi filsuf terkenal seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates. Dapat menyumbangkan gagasan pikirannya untuk kemajuan kehidupan orang banyak. Hingga namanya jadi harum semerbak sepanjang zaman berputar di porosnya. Kalau kamu sih paling jadi pilsut. Pikiran selalu kusut. Mengapa musti kusut? Kalau kamu mau berterus terang tentang kekurangan itu maka hal itu bukanlah sebuah kekusutan lagi malahan jadi keterbukaan. Sayangnya kamu masih introvert.
“Putri, kalau selamanya kamu tidak memberitahukannya. Selamanya hidupmu dalam kemisterian dan tertekan selalu,” kata saya lagi.
“Saya sudah terbiasa seperti itu, Sum. Bahkan dari dulunya memang sudah begitu?”
“Dari dulu? Kok bisa begitu. Berarti kamu adalah orang yang pesimistis pada kehidupan. Tidak bisakah kamu optimis menatap rembulan kehidupan ini, Putri!” saya berikan kekuatan padanya agar tegar menjalani kehidupan ini.
“Optimisnya sudah terkubur, Sum. Sudah mati. Sudah jadi arang tidak bisa lagi jadi berlian.”
“Kenapa bisa terjadi begitu?”
“Karena saya adalah wanita yang cacat jiwa.”
“Cacat jiwa bagaimana yang kamu maksud?”
“Cacat jiwa yang begitu dahsyat perihnya untuk diungkapkan oleh seorang wanita. Cacat jiwa yang merupakan cikal bakal pembunuh karakter wanita. Dialah pembunuh sadis bagi wanita. Bibir saya tidak bisa mengatakannya. Begitu berat nian.”
“Mengapa bisa berat?”
“Yang penting beratlah, Sum.”
“Tapi masalahmu bisa saja menjadi ringan, kalau saja kamu mau berterus terang. Sedikit banyak kalau saya sudah tahu masalahmu, sayakan bisa membantu kamu menyelesaikan masalah itu.”
“Tidak bisa, Sum. Saya tidak bisa mengungkapkannya. Sulitlah.”
“Sulit. Sulitlah. Itu hanya alasanmu saja. Sebenarnya kamu adalah wanita abnormal terhadap kehidupan.”
“Tidak……!!!!!!!”
“Kamu wanita hiperlife. Wanita egois. Wanita sombong. Bisa jadi kamu adalah wanita tak punya hati. Otak batu. Mungkin saja kamu hanya memiliki perasaan yang berupa buah kedondong atau sebuah bola nyala api neraka. Selalu hangus membakar orang lain, sakit hati, dan merana.”
“Bukan……!!! Cukupkan katamu, Sum. Saya tidak tahan lagi mendengarnya. Kamu keterlaluan. Kejam sekali kamu menuduh saya seperti itu?”
“Memang begitu kenyataannya,” ketus Maksum berbicara.
“Bukan, Sum. Kenyataannya. Saya adalah wanita yang kurang dalam keberadaan. Karena saya adalah wanita yang tidak memiliki kelamin dan rahim!”
“Hah……? Apa……?” terperanjat saya. Terhenyak di kursi dengan mata melotot tak percaya.
Mungkin ini adalah alasannya lagi untuk penghindaran. Mana mungkin manusia bernama wanita diciptakan Tuhan tanpa ada kelamin dan rahim. Mustahil. Impossible. Aneh bin ajaib. Kalau tidak punya tangan dan kaki, saya masih bisa terima dan percaya. Kalau ini rasanya saya tidak percaya ah!
“Bohong! Tidak mungkin Putri……………”
“Benar, Sum. Itulah rahasia selama ini saya tutupi,” derai tangismu berhamburan serampangan. Cairannya meleleh dari pipi mungil turun ke bawah. Menempel di kursi dan hilang dalam lantai unik kafe Tanggui.
Tidak! Saya belum bisa terima kenyataan ini. Namun dengan tatapanmu dan pengakuanmu yang jarang berbohong, saya mengiyakan. Kepala saya berputar-putar. Puziiiiiiinggggg……… ! Pikiran kusut membuncah. Terawangannya berkejar-kejaran dengan angin ganas mengombal buih, berderu menghantam kertas-kertas layu gersang. Beterbangan di bawa angin entah kemana. Tidak mungkin lagi saya punya pacar dia? Tidak mungkin lagi.
Ah………pendarnya kehidupan ini. Masam juga lalap makanannya. Uh…………! Bukannya menenangkan kegelisahan dan kesedihan Putri, malahan saya meninggalkannya.
“ Sum, tunggu dulu ! Jangan tinggalkan saya! Saya butuh teman ! Saya butuh kamu !” kejarmu. Saya terus cepat menghindar. Starter vega menderu-deru. Tancap gas kabur meninggalkannya. Sekilas terlihat hanya lambaian tangannya tergapai-gapai memanggil saya kembali. Tinggal bayangan semu.
Setelah menyadari kesalahan saya. Meninggalkannya sendiri dalam kesedihan dan kekalutan. Menunjukan ketidakbijaksanaan saya dalam menanggapi persoalan atau masalah.
Seharusnya, teman sejatikan bisa menenangkan pasangannya bila pasangannya bersedih. Saya justru sebaliknya. Meninggalkannya. Saya salah. Saya sudah bersalah besar padanya. Untuk memperbaiki kesalahan itu, saya harus menemuinya. Tapikan…………! Dia wanita?………Akh, sudahlah. Saya jauhkan dulu konsep yang salah. Sebagai teman saya harus bisa membantu dia dulu. Sungguh kasihan dia !
Tidak !!! Saya tidak boleh membawa nama kasihan dalam membantunya. Tapi benar-benar rasa menolong yang tulus murni. Sebagai teman sejatinya dalam pergaulan. Saya teguhkan ikrar itu. Logis!!!!!!!!!!!!!!!!!
Rumahnya saya datangi. Nampak sepi-sepi saja.
“Assalamualaikum wr. Wb,” seruan saya bergema. Diam sebentar.
Saya pencet bel pintu. Belnya berdering-dering. Suara tawon beribuan mengaung-ngaung. Tidak ada terdengar derap langkah mendekati pintu. Hati pun sudah kebat-kebit. Bosan mulai menjamah dengan senangnya. Hilir mudik berjalan dilaksanakan di depan pintu dengan jarak 10 meter. Kemana ya dia? Coba lagi ah. Belnya saya pencet lagi. Sama seperti semula. Sunyi dan hening dalam kebisuan. Dia tidak ada. Lain kali sajalah.
Waktu ingin meninggalkan rumahnya. Angin berhembus dengan perkasanya mencium pintu rumah terber-ber. Pintunya tidak terkunci. Rupanya sengaja dibuka. Berarti ia mempersilahkan saya untuk masuk. Berarti ia ada di dalam. Ia sudah menunggu saya sedari tadi. Berbalik lagi arah langkah saya memasuki rumahnya dengan pintu yang sudah terbuka dicium lembut sang angin.
Terperanjat saya. Melihat dalam rumahnya ada lautan maha luas. Putri menaiki gondola kencana dengan memakai pakaian kebesaran putri kayangan yang berkerlap-kerlip intan permata keemasan. Menebarkan cahaya memenuhi semua ruangan. Terang benderang keemasan. Senyumanmu bak rembulan terkembang menyilaukan jiwa saya yang berdiri di ujung dermaga penantian.
“Putri kesinilah. Saya ingin bicara denganmu. Merapatlah. Dekatkanlah gondolamu kesini,” lambai saya dengan rasa kebahagiaan meluap dan gembira.
Acuh tak acuh. Apatisme. Kamu tidak pedulikan saya. Malahan bibir rembulanmu mengembang sekali lagi. sejuk meruak di perasaan ini.
“ Maaf Sum, Selamat tinggal………………………!”
Gondola kencanamu melaju merencah kebeningan dan keluasan air lautan maha luas. Menjauh dari diri ini. Dengan gagah terus berlarung tiada hentinya menuju hamparan permadani lukisan seni awan kepurihan.
“Jangan begitu Putri. Jangan tinggalkan saya sendirian. Saya memang bersalah. Meninggalkan kamu sendirian waktu itu.” Sejenak saya terdiam.
“Putri, saya datang hari ini untuk memohon maaf atas kesalahan saya waktu itu. Moga saja kamu bisa memaafkannya. Putri, saya tidak mau kamu tinggalkan sendirian disini. Saya mau ikut kamu. Saya cinta dan sayang kamu. Putriiiiiiiiiii……,” kejar saya memburumu. Tidak sadar dan terpikirkan lagi, dimana saat ini saya berada.
Bbbbbyyyyyyyyuuuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrr…………

Rantau Panjang, 5 Desember 2003
~~~&&&~~~

(Dipublikasikan di Tanjungpura Post jadi cerita bersambung)

0 comments: