Sunday, September 23, 2007

Putri Pajangan

Oleh : M. Saifun salakim

Pesona menghampar. Pemandangan artistik terpampang jelas. Puluhan orang memadati kursi yang telah disediakan.. Bukan puluhan orang, bahkan bisa jadi ratusan orang. Berjubel. BerdesakanSaling kepanasan. Keringat mengucur mengelusi bahu, pipi, dan wajah bagian atas. Lampu pentas yang memiliki seribu pesona berkejaran lincahnya dari kiri ke kanan serta melakukan gaya sentripugal, teratur, dan kontinuitas. Kadangkala lampu pentas menyorot ke satu arah yang dituju. Membentuk bulatan atau lingkaran bulat penuh. Tentulah yang jadi sasaran atau mangsanya adalah para pemain teater yang memerankan naskah malam ini.
Pementasan malam ini dihadiri tamu kehormatan provinsi, yaitu Pak Gubernur beserta rombongannya. Mereka terlihat asyik bercengkerama dengan para kroninya. Membicarakan masalah kemajuan provinsi di masa mendatang. Langkah-langkah apa saja yang harus diambil? Bagaimana caranya mengatasi kendala apabila ada?
Terlihat dari sekian undangan. Ada yang tertawa-tawa berbau lisong politik ular. Ada yang berkomentar bersangitkan kelicikan tikus. Ada yang larak-lirik mencari gaetan dengan dibumbui mata liar sang kancil. Ada yang ngomong slebor, ngalor ngidul, harmoko! Pokoknya beraneka ragamlah gaya. Politis!
Pementasan ini digarap tiga sanggar terkenal di kota ini. Dengan mengirimkan para pemain terbaiknya dalam melakukan kolaborasi mementaskan naskah ASAL MULA KERAJAAN PONTIANAK. Dengan melakukan kolaborasi itu diharapkan dapat menciptakan tampilan yang serasi, selaras, seimbang, apik, dan menarik membuat penonton berdecak kagum. Bila perlu kekaguman itu mereka keluarkan sampai terkentut-kentut atau berair mata keindahan. Hebat! Hebat! Hebat!
Pementasan naskah ASAL MULA KERAJAAN PONTIANAK berjalan lancar, tidak ada halangan sedikit pun, dengan perahu lancang kuningnya melancar membawa orang-orang yang menonton pada pulau kekaguman yang maha dahsyat. Terpana. Bengong ayam. Karena belum pernah mereka melihat pementasan yang semenarik dan sebaik pementasan saat malam tenang meniduri embun kali ini. Sampai-sampai Pak Gubernur melontarkan harumnya kembang mewangi, terutama pada aktor pria yang diperankan saya dan aktor wanita yang diperankan wanita cantik molek anak asuhan Sanggar Bangsawan.
“Kerja kalian sukses sekali,” tepuk Pak Gubernur pada bahu ketua panitia pementasan.
“Alhamdulillah Pak!” sahut ketua panitia pementasan dengan wajah berseri-seri.
“Kalau ada pertunjukan hiburan di instansi saya. Bolehkan saya dihibur lagi pemain-pemain bagus malam ini? Apik sekali mereka bermain. Improvisasi yang bagus. Ini ada sedikit uang untuk sekadar pembinaan supaya kesenian ini bisa dikembangkan lebih baik lagi,” lanjut Pak Gubernur menyerahkan segepok uang dalam amplop tertutup pada ketua panitia pementasan.
“Terima kasih Pak atas semuanya ini. Mengenai keinginan Bapak, nanti saya konfirmasikan dengan mereka,” jawab ketua panitia lalu mengambil amplop tersebut.
Pak Gubernur menyalami semua panitia pementasan. Tak terkecuali para pemain malam ini. Saya dan dia dapat tepukan hangat tanda kepuasan. Apa yang dilakukan Pak Gubernur diikuti oleh rombongan yang lain. Selanjutnya tempat pementasan tinggal sunyi mematung bisu. Cuma tinggal kami yang asyik berganti pakaian.
“Kamu bermain sangat bagus,” puji saya padanya.
“Kamu juga main sangat bagus. Saya betul-betul senang malam ini mendapatkan pasangan main yang klop seperti kamu. Biasanya pasangan main saya grogi, tidak bagus memerankan aktingnya. Padahal kalau dipikir sudah lama dia berlatih sebelum ini. Kok bisa kagok ya? Alasannya simpel saja. Katanya, dia tidak mampu berhadapan secara terbuka dengan saya. Saya punya mata setajam elang yang meluluhlantakan keberaniannya. Saya punya pesona yang menyilaukan pandangan matanya sehingga kekagokan terjadi. Gombal! Bau hipokrit! Seharusnya dia bisa menguasai diri. Jangan membawa terlalu dalam perasaan hati atau persoalan kalbu kalau kita sedang main peran. Persoalan peranlah yang seharusnya diatastinggikan. Kamu tidak kok. Kamu malah santai dan rileks. Itu baru penghayatan yang apik dan gentleman. Itulah intinya bermain peran,” rendahnya suaramu mengumbarkan sayup-sayup mendayu buluh perindu.
“Yang betul?”
“Betul deh. Asli tidak adanya dilandasi unsur politis. Murni.”
“Kalau begitu, terima kasih ya atas komentarnya.”
“Kalau sekiranya saya mengajak kamu main bareng lagi. Bersediakah kamu memenuhi ajakan ini?”
Saya membesarkan dada. Banggalah! Karena mendapat pujian manis darinya yang hanya segelintir buih busa di lautan terbuka. Sudah kegedean rasa. Dasar pendeknya pikiran! Dasar tumpulnya pertimbangan! Setan lebih banyak berperan pada kesempatan ini. Wow, sombonglah! Sombongkan tidak boleh karena sombong penghancur tatanan kehidupan yang dibina dengan baik.
“Tidak mau ah.”
“Kenapa?”
“Karena kamu sudah kegedean rasa. Sudah membanggakan diri. Itu yang saya tidak suka.”
“Ha……Ha……,”
Tawa saya berderai memecahkan meja kaca. Serpihan beling-belingnya amblas menembus lantai. Tidak menimbulkan jejak sedikit pun. Raib. Kamu kaget, bingung, dan merasa aneh. Terpikir oleh otakmu dengan kata penolakan ini saya akan marah dan cemberut. Tapi saya malahan tertawa. Sungguh aneh bin sinting.
“Samaaaaaaakkkkkkkkkk.”
Saya mulai serius lagi. Lempang.
Ini pasti kerjaan seniman. Improvisasi. Bermain peran lagi, kajimu dalam hati.
“Akting ya?”
Saya hanya memunculkan sedikit rembulan di kelangitan bibir yang gersang. Maklum belum meneguk air putih. Kehausan. Sebab suara sudah tersalurkan begitu banyak selama bermain peran dalam pementasan tadi. Sedikit sinar rembulan yang dilemparkan dengan granat waktunya sejuk menghampar dan mengimbas sekujur dirimu sehingga tubuh dan wajahmu memantulkan kilauan air emas yang menyepuh. Sungguh indah di kaca seni mata. Saya kaget.
“Wow, pelangi artistik. Akting ya?” balik saya yang mendepaknya.
Kamu langsung tertawa renyah, serenyah kacang garuda cap dua kelinci. Melepaskan uneg-unegmu yang menyangkut di selokan perasaan. Memuntaskan kejanggalan di jiwa. Melahirkan keceriaan di sanubari dan kalbu terdalam.
“Aneh ya?”
“Tentu dong. Kalau tidak aneh mana mungkin saya ketawa. Kalau sekiranya penyebabnya tidak ada, saya ketawa. Nanti dikira sinting lagi.”
Memang sinting, mengumpat saya pada kalbu.
~oOo~

Inilah kehidupan seorang seniman. Selalu merasuki dunia kegilaan tetapi dengan pikiran yang tidak gila, waras. Walaupun hal itu dilihat orang adalah kegilaan. Orang yang memandang pekerjaan seniman adalah gila, orang yang tidak tahu menahu atau paham dengan jiwa seni. Kalau kiranya dia paham atau mengerti dengan jiwa seni maka dia juga akan merasakan kegilaan itu. Kegilaan yang menimbulkan sebuah kenikmatan. Layaknya sebuah makanan lezat yang terhidangkan di setiap pesta, pesta apa saja baik pesta pantai, pesta perkawinan, pesta ulang tahun, dan masih banyak lagi pestanya. Sebab kegilaan ini menuntun orang untuk meraih setitik sinar rembulan berpelukan erat dengan sinar matahari dalam tabung terdalam perasaan sanubari. Kebahagiaan alamiah. Tidak pernah ada yang mencemarinya. Murni hadir menghiasi kehidupannya. Kegilaan itu juga membuat kita menemukan hakikat jati diri kita yang hakiki.
“Dari tadi kita asyik berhaha…hihi…saja dan glunoran terus. Nanti bisa kebablasan dan bocor.”
“Ember kali.”
“Bisa jadi. Betul. Tapi itukan bumbu kehidupan biar enak begitu.”
“Shiiippppppp…………………”
“Namun, jangan terlalu berlebihan nanti rasanya tidak enak.”
“Betul.”
“Oh ya Man, kamu anak Sanggar Topeng atau anak Sanggar Kiprah?”
“Anak asuhan Sanggar Kiprah. Kamu, kalau saya coba menerka dengan melihat wajahmu yang cantik dan pernik dandananmu yang apik dan modis soo pasti tidak meleset lagi, pasti kamu anak asuhan Sanggar Bangsawan. Ya, kan?”
“Tepat sekali. Peramal ya?”
“Tidak cuma sedikit. Kalau banyak nanti mabuk.”
“Kayak minuman beralkohol saja. Bikin mabuk segala.”
“Bisa sajakan…?”
“Ya, deh…….”
“Girl. All right. Introduce. My name is Maksum.”
“Saya Puput Trinarwangsih, cukup dipanggil keren Putri.”
“Putri pemukau penuh aneka warna asri.”
“Hust, gombal melulu. Baru saja kenalan sudah pandai gombal gede. Apalagi kalau sudah akraban. Bisa-bisa gombalnya setinggi Gunung Kinibalu.”
“Tinggi amat…… tidak kecapaian. Kamu juga harus tahu bahwa gombal adalah bagian dari bumbu seniman dalam berkelakar.”
“Ah, bisa saja kamu.”
“Ya, dong. Sayakan seniman.”
“Memuji ni ye…….”
“Yalah. Lebih baik memuji diri sendiri dulu, sebelum dipuji orang lain. Tahu diri. Kan ada manfaatnya. Tambah kepercayaan diri dan memantapkan keyakinan. Bisa saja pujian ini menebal setebal ban mobil Cantona, kalau orang lain juga melakukan pujiannya. Kalau pun tidak, tidak rugi-rugi amat. He….he….”
“Ya, deh. Kreatif…….”
Saling berjabat tangan juga kami. Mengikrarkan sebuah persahabatan yang nirmala.
~oOo~

The art is your life. Kesenian adalah kehidupanmu.
Setiap ada perlombaan atau pementasan seni, kamu selalu hadir dan tampil. Begitu juga saya. Sama-sama mempunyai kegemaran atau hobi yang mirip atau serupa. Sama-sama menyukai kesenian. Tanpa terasa keintiman merajut jalinan kehidupan kita sehingga teman-teman hanya bisa mengiaskan kita bagaikan Romeo dan Juliett. Benarkah itu semua? Tidak pernah ada jawaban yang diberikan. Yes or no. Semuanya dibiarkan saja berlalu.
Sebenarnya kalau ingin tahu bahwa Romeo dan Juliett adalah sebuah tampilan kanvas lukisan percintaan muda-mudi di masa depan yang dilukiskan William Shakespeare. Imajinasi. Hanya berupa fantasi. Sampai kini karya emas William Shakespeare masih dijadikan amulet masyarakat umum.
Kalau sekiranya ada dari mereka menyaksikan atau mengalami percintaan yang selalu tidak ingin dipisahkan, cinta Romeo dan Juliettlah. Busyet! Pemanis mulut dalam bicara saja. Eufimisme. Adat timur selalu dipakai. Selalu mengembangkan sikap tabularasa. Kasihan deh. Tidak pernah mengatakan yang sejujurnya. Politis!
~oOo~

Di akhir talk show MEMBIDIK MASA DEPAN OLEH DERAP SASTRAWAN, salah satu pembicaranya adalah saya. Kamu menghadirinya dengan antusias sampai selesai. Dilanjutkan dengan acara hiburan berupa pementasan baca puisi, pantomim, tablo, dan kegiatan seni yang lainnya.
Putri. Kamu menjadi MCnya. Anggun tampilanmu. Makin memantapkan keyakinan saya bahwa kamu adalah sosok mahluk Allah yang terbaik dari kecantikanmu, yang memancar indahnya.
Saya tersentak seperti disengat beribu bahkan berjuta kalajengking. Linglung. Bingung. Mendengari teman-teman menggelari kamu putri pajangan. Apa penyebabnya?
Padahal kalau saya perhatikan kehidupanmu. Kamu bukanlah merpati yang terkurung dalam sangkar emas, tetapi kutilang yang melanglang buana mengitari dunia dengan kesenanganmu untuk menggenggam matahari. Padahal kamu bukanlah ilalang di padang gersang atau kaktus di gurun pasir tetapi kamu adalah bunga bakung di tepian aluran pantai atau air terjun di Gunung Palong.
Aneh? Ada misteri dirimu yang belum tersingkap di balik kabut kehidupan ini. Mungkin masih ditutupi oleh halimun tanah berputar ligat menerbangkan angin. Masih tertutup dalam ketidakmengertian. Saya membulatkan tekad untuk menyingkap kemisteriusan dirimu dengan cahaya terang kemengertian untuk melahirkan kebenaran absah. Wujud nyata dari sesuatu yang ingin diketahui. Puas! Bangga!
Saya tahu bahwa mereka yang menggelari kamu sebagai putri pajangan adalah orang-orang yang pernah mencoba mendekatimu. Selalu kandas. Gatot. Putus dayung sampan di tengah lautan sehingga sampannya terombang-ambing terbawa arus lautan. Entah kemana. Linglung. Kamu sepertinya tidak pernah ada tanggapan, selalu menghindar. Ice Cream. Tidak tepat istilah tersebut. Mungkin sedikit mengena adalah Cedin. Cool Girl, keren dikitlah. Semuanya adalah istilah diberikan mereka untukmu selain putri pajangan. Sudah semakin keren dan melangit di lambung awan kehidupan. Dengan alasan, kamu adalah sebuah barang atau benda yang hanya bisa dilihat, dikagumi, dan disanjung-sanjung sepuas hati tentang keindahannya, tapi tidak bisa dimiliki. Alasan kamu melakukan itu, mereka tidak tahu.
Walau maraknya rumor sumbang yang menyudutkanmu, telah beredar terang-terangan tapi saya tetap try continue mengungkapkan kepajanganmu selalu membuat geregetan dengan trik sendiri. Biar puas dan bangga. Kalau berhasil kan menjadi the best. Menjadi orang nomor satu menundukan kebekuan dan kemisterianmu.
Wow, semuanya akan menjadi spektakuler di dunia fantasi. Eksotis di dunia imajinasi. Fantastis di dunia khayalan. Kodok pun ikut menyanyikan dendang bhagawat gita menandakan telah menang perang. Perang menundukanmu.
Malam ini begitu indah apalagi suasana lengang dengan kesunyian menghentak. Menghambur dalam jiwa ini. Ingin mengorek kebenaran dari gayamu, sikapmu, tingkah lakumu, dan kecantikanmu yang begitu penuh pesona.
Salah satu cara yang saya lakukan adalah pendekatan represif. Anehnya setiap kali berbicara tentang kedalaman mawar kalbu mewangi kamu selalu mengindar. Seakan mengisyaratkan penghambatan terhadap lajunya sampan saya ke arah pantai impian rembulan. Mengapa putri? Kamu menutupi hal itu. Pasti ada alasan lain di balik ini.
Saya tidak surut dan gentar dengan alasan yang selalu kamu buat-buat. Malahan saya terus merangsek maju. Keras kepala. Spirit pantang menyerah tidak pernah padam dalam langkah ini walaupun langkah sudah terseok-seok tapi tetap menerjang. Sampai menemukan tujuan yang ingin dicapai.
Saya mengajak kamu menikmati suasana indah di Kafe Olah Seni Taman Budaya Pontianak. Mengambil tempat agak dipojok. Biar leluasa berbicaranya. Memesan sirup advokat dan makanan ringan seala kadarnya. Saya mulai memasang kuda-kuda. Mengeluarkan jurus untuk menaklukanmu. Kalau pun tidak dapat mengorek alasanmu selalu mengindar dari kehidupan berumah tangga dan punya pendamping hidup, diinginkan semua wanita. Berteman akrab saja denganmu sudah lebih sedari cukup.
“Putri, kamu tahu yang dimaksud teman sejati?”
“Tahu Sum.”
“Seperti apaan?”
“Teman sejati adalah teman yang selalu bersama menangis dalam duka dan tertawa dalam kegembiraan. Selalu dekat dalam kehidupan. Tapi sulit nian mendapatkannya. Kalau dalam seribu mungkin hanya satu atau tiga orang saja.”
“Langka sekali ya?”
“Memang begitulah kenyataannya. Karena orang dalam berteman lebih senang berpura-pura serta selalu memakai topeng setiap kala. Topeng monyet, topeng tikus, topeng buaya, dan lebih sadis lagi topeng singa.”
“Kalau teman sejati kehidupan, bagaimana pendapatmu?”
“Teman sejati kehidupan adalah teman selalu bersama kita dalam mengarungi rumah tangga sampai perceraian memisahkan, tidak mungkin kita lepaskan. Setiap kala mendampingi kita karena dia sudah disahkan oleh tali perkawinan.”
“Ada terbetik tidak kamu memiliki teman sejati seperti itu?”
“Ada. Setiap manusia normal pasti mendambakannya. Hanya keterbatasan saya yang menghalangi semuanya ini.”
Terperangkap pula Putri oleh pembicaraan saya. Mulailah saya dapat berlega hati karena tidak lama lagi saya akan dapat menyingkap kabut misteri dalam dirinya.
“Keterbatasanmu seperti apa? Mungkin sebagai temanmu, saya bisa membantu dalam menyelesaikan masalah ini.”
“Ahhhhhhhhhhhhh…… Uhhhhhhhhhhhhhhh……,” lenguhan napasmu keluar menerobos cerobong tanker minyak kafe. Asapnya membulat menembus lubang atap kafe langsung mendekam di langit kepurihan. Kamu tertunduk sekilas. Menekuri dirimu. Hening sejenak yang bersenandung. Terdengar merdu tingkah suara jam beker kafe masih hangat berdentang nyaring. Gemuruh gelombang perasaan saya memuncak teratas di gulungan tertinggi sedang mengganas kala ini.
Cepatlah!!! Cepatlah ungkapkan biar saya mengerti.
Saat mengangkat wajahmu yang terkilau sinar purnama, terlihatlah mendung bergelayut di rona keindahan wajahmu ditambah dengan melelehnya cairan bening air hujan salju merembes perlahan. Pandanganmu sayu.
“Lho mengapa musti menangis? Apakah salah saya bertanya seperti itu?”
Kamu tetap diam membisu. Hanya sinar mata bening peslahmu terus kuyu di balik retina mata indah itu. Cairan bening salju tetap mengalir sejuk perlahan-lahan ke aliran sungai lalu menghilang menembus lantai kafe.
“Maaf ya mas? Sebentar lagi kafenya tutup!” tegur pelayan kafe dengan keramahtamahannya.
“Jam berapa sekarang ya Mbak?”
“Sudah jam 12.00 malam mas.”
“Sudah malam rupanya. Tidak terasa juga ya? Sampai terlupakan untuk pulang.”
“Sum, kita pula saja ya?” lirih bibirmu juga angkat bicara walau dalam kesenduan.
“Yalah, Putri. Karena waktunya sudah menyuruh kita pergi padahal saya ingin berlama-lama denganmu. Tapi tidak apalah untuk kali ini. Masih ada waktu tersisa untuk hari yang lain. Baiklah Putri. Saya pesanannya dulu. Kamu tunggu saja disini.”
“Ehem……,” anggukmu dengan pelan sambil menunggu.
Saya pun membayar pesanan ke kasir. Seterusnya saya mengantarkanmu ke peraduan sunyi.
Gagal lagi saya menyingkap kabut misteri dirimu yang hampir terbuka. Masih belum beruntung! Masih belum mujur! Busyet. Kesal mengumpat-ngumpat dalam hati. Jangan takut dan kecewa sobat, masih ada kesempatan selanjutnya yang tersisa.
Biar tambah semarak. Biar tambah syahdu. Saat ini saya telah jadi detektif mengungkapkan kabut misteri dirimu. Saya memilih lokasi tenang untuk menghabiskan hari denganmu. Penuh obrolan-obrolan segar. Nanti dari obrolan itu akan saya jebak ia agar mengungkapkan keterbatasannya tidak mau kawin atau memiliki pendamping hidup untuk selama-lamanya. Dengan pendamping hidup bisa menjaga dan merawat serta melindungi kita dari segala halangan dan rintangan kehidupan.
Jujur saja. Saya salah satu orang yang telah mencalonkan diri untuk jadi pendamping hidupnya secara blak-blakan saja. Kayak anggota legislatif partai politik saja. Secara terang-terangan mencalonkan diri. Itu perlu. Karena zaman sudah membuatnya seperti begini. Ikuti saja kemauan zaman. Biar tidak dikatakan primitif tapi modernis. Pengikut arus kehidupan zaman.
Sebuah catatan yang perlu diketahui, mengikuti zaman harus disesuaikan dengan kultur dan budaya kita, bangsa Indonesia. Yang memiliki beraneka ragam suku bangsa dan tradisi budaya. Unik untuk dilestarikan. Mencirikhaskan bangsa Indonesia. Yang sekiranya kalau dilihat dari kaca mata internasional mempunyai suatu jati diri yang instan, membedakannya dengan bangsa lain yang ada di dunia ini.
Kafe Tanggui yang berada di Jalan Ahmad Yani II jadi lokasinya. Seperti biasa, kita memesan makanan kecil sekadar untuk menemani dalam mengobrol segar atau mengukir sebuah memori serta nostalgia yang bisa jadi berkesan. Dikenang untuk seumur hayat.
Dipesan adalah dua gelas sirup pepaya dan dua hidangan nasi goreng serta penganan pendukung. Sambil makan kita saling bertukar pikiran dan mengasah kemapuan di dunia seni agar mencapai yang terbaik. Bosan bicara tentang kesenian dan kebudayaan. Saya menyelitkan pembicaraan untuk menyingkap kabut dirimu, belum tuntas seperti pil tuntas saat itu.
“Putri, sepertinya kamu menganggap saya sebagai teman sejatimu hanya dalam tanda kutip.”
“Apa maksudmu dengan tanda kutip, Sum? Apakah kamu sudah punya pikiran bosan berteman dengan saya?”
“Tidak, Putri. Bukan begitu maksud saya. Tapi… maksudnya adalah bahwa kamu baru menganggap saya teman sejati kehidupanmu belum seratus persen diterima. Saya tidak enakan hati sehingga menimbulkan pradugaan yang tidak-tidak. Jangan-jangan…… Jangan-jangan itu saya tidak tahu. Sebenarnya Putri, apa sih alasanmu selalu mengindar dari kenyataan ini? Apakah saya tidak pantas untukmu? Apakah saya bukan tipe teman sejati kehidupan yang masuk dalam daftar kriteriamu?” kata saya.
Kamu terdiam. Tefekur. Merenungkan sesuatu dengan wajah tertunduk. Untung kalau jadi filsuf terkenal seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates. Dapat menyumbangkan gagasan pikirannya untuk kemajuan kehidupan orang banyak. Hingga namanya jadi harum semerbak sepanjang zaman berputar di porosnya. Kalau kamu sih paling jadi pilsut. Pikiran selalu kusut. Mengapa musti kusut? Kalau kamu mau berterus terang tentang kekurangan itu maka hal itu bukanlah sebuah kekusutan lagi malahan jadi keterbukaan. Sayangnya kamu masih introvert.
“Putri, kalau selamanya kamu tidak memberitahukannya. Selamanya hidupmu dalam kemisterian dan tertekan selalu,” kata saya lagi.
“Saya sudah terbiasa seperti itu, Sum. Bahkan dari dulunya memang sudah begitu?”
“Dari dulu? Kok bisa begitu. Berarti kamu adalah orang yang pesimistis pada kehidupan. Tidak bisakah kamu optimis menatap rembulan kehidupan ini, Putri!” saya berikan kekuatan padanya agar tegar menjalani kehidupan ini.
“Optimisnya sudah terkubur, Sum. Sudah mati. Sudah jadi arang tidak bisa lagi jadi berlian.”
“Kenapa bisa terjadi begitu?”
“Karena saya adalah wanita yang cacat jiwa.”
“Cacat jiwa bagaimana yang kamu maksud?”
“Cacat jiwa yang begitu dahsyat perihnya untuk diungkapkan oleh seorang wanita. Cacat jiwa yang merupakan cikal bakal pembunuh karakter wanita. Dialah pembunuh sadis bagi wanita. Bibir saya tidak bisa mengatakannya. Begitu berat nian.”
“Mengapa bisa berat?”
“Yang penting beratlah, Sum.”
“Tapi masalahmu bisa saja menjadi ringan, kalau saja kamu mau berterus terang. Sedikit banyak kalau saya sudah tahu masalahmu, sayakan bisa membantu kamu menyelesaikan masalah itu.”
“Tidak bisa, Sum. Saya tidak bisa mengungkapkannya. Sulitlah.”
“Sulit. Sulitlah. Itu hanya alasanmu saja. Sebenarnya kamu adalah wanita abnormal terhadap kehidupan.”
“Tidak……!!!!!!!”
“Kamu wanita hiperlife. Wanita egois. Wanita sombong. Bisa jadi kamu adalah wanita tak punya hati. Otak batu. Mungkin saja kamu hanya memiliki perasaan yang berupa buah kedondong atau sebuah bola nyala api neraka. Selalu hangus membakar orang lain, sakit hati, dan merana.”
“Bukan……!!! Cukupkan katamu, Sum. Saya tidak tahan lagi mendengarnya. Kamu keterlaluan. Kejam sekali kamu menuduh saya seperti itu?”
“Memang begitu kenyataannya,” ketus Maksum berbicara.
“Bukan, Sum. Kenyataannya. Saya adalah wanita yang kurang dalam keberadaan. Karena saya adalah wanita yang tidak memiliki kelamin dan rahim!”
“Hah……? Apa……?” terperanjat saya. Terhenyak di kursi dengan mata melotot tak percaya.
Mungkin ini adalah alasannya lagi untuk penghindaran. Mana mungkin manusia bernama wanita diciptakan Tuhan tanpa ada kelamin dan rahim. Mustahil. Impossible. Aneh bin ajaib. Kalau tidak punya tangan dan kaki, saya masih bisa terima dan percaya. Kalau ini rasanya saya tidak percaya ah!
“Bohong! Tidak mungkin Putri……………”
“Benar, Sum. Itulah rahasia selama ini saya tutupi,” derai tangismu berhamburan serampangan. Cairannya meleleh dari pipi mungil turun ke bawah. Menempel di kursi dan hilang dalam lantai unik kafe Tanggui.
Tidak! Saya belum bisa terima kenyataan ini. Namun dengan tatapanmu dan pengakuanmu yang jarang berbohong, saya mengiyakan. Kepala saya berputar-putar. Puziiiiiiinggggg……… ! Pikiran kusut membuncah. Terawangannya berkejar-kejaran dengan angin ganas mengombal buih, berderu menghantam kertas-kertas layu gersang. Beterbangan di bawa angin entah kemana. Tidak mungkin lagi saya punya pacar dia? Tidak mungkin lagi.
Ah………pendarnya kehidupan ini. Masam juga lalap makanannya. Uh…………! Bukannya menenangkan kegelisahan dan kesedihan Putri, malahan saya meninggalkannya.
“ Sum, tunggu dulu ! Jangan tinggalkan saya! Saya butuh teman ! Saya butuh kamu !” kejarmu. Saya terus cepat menghindar. Starter vega menderu-deru. Tancap gas kabur meninggalkannya. Sekilas terlihat hanya lambaian tangannya tergapai-gapai memanggil saya kembali. Tinggal bayangan semu.
Setelah menyadari kesalahan saya. Meninggalkannya sendiri dalam kesedihan dan kekalutan. Menunjukan ketidakbijaksanaan saya dalam menanggapi persoalan atau masalah.
Seharusnya, teman sejatikan bisa menenangkan pasangannya bila pasangannya bersedih. Saya justru sebaliknya. Meninggalkannya. Saya salah. Saya sudah bersalah besar padanya. Untuk memperbaiki kesalahan itu, saya harus menemuinya. Tapikan…………! Dia wanita?………Akh, sudahlah. Saya jauhkan dulu konsep yang salah. Sebagai teman saya harus bisa membantu dia dulu. Sungguh kasihan dia !
Tidak !!! Saya tidak boleh membawa nama kasihan dalam membantunya. Tapi benar-benar rasa menolong yang tulus murni. Sebagai teman sejatinya dalam pergaulan. Saya teguhkan ikrar itu. Logis!!!!!!!!!!!!!!!!!
Rumahnya saya datangi. Nampak sepi-sepi saja.
“Assalamualaikum wr. Wb,” seruan saya bergema. Diam sebentar.
Saya pencet bel pintu. Belnya berdering-dering. Suara tawon beribuan mengaung-ngaung. Tidak ada terdengar derap langkah mendekati pintu. Hati pun sudah kebat-kebit. Bosan mulai menjamah dengan senangnya. Hilir mudik berjalan dilaksanakan di depan pintu dengan jarak 10 meter. Kemana ya dia? Coba lagi ah. Belnya saya pencet lagi. Sama seperti semula. Sunyi dan hening dalam kebisuan. Dia tidak ada. Lain kali sajalah.
Waktu ingin meninggalkan rumahnya. Angin berhembus dengan perkasanya mencium pintu rumah terber-ber. Pintunya tidak terkunci. Rupanya sengaja dibuka. Berarti ia mempersilahkan saya untuk masuk. Berarti ia ada di dalam. Ia sudah menunggu saya sedari tadi. Berbalik lagi arah langkah saya memasuki rumahnya dengan pintu yang sudah terbuka dicium lembut sang angin.
Terperanjat saya. Melihat dalam rumahnya ada lautan maha luas. Putri menaiki gondola kencana dengan memakai pakaian kebesaran putri kayangan yang berkerlap-kerlip intan permata keemasan. Menebarkan cahaya memenuhi semua ruangan. Terang benderang keemasan. Senyumanmu bak rembulan terkembang menyilaukan jiwa saya yang berdiri di ujung dermaga penantian.
“Putri kesinilah. Saya ingin bicara denganmu. Merapatlah. Dekatkanlah gondolamu kesini,” lambai saya dengan rasa kebahagiaan meluap dan gembira.
Acuh tak acuh. Apatisme. Kamu tidak pedulikan saya. Malahan bibir rembulanmu mengembang sekali lagi. sejuk meruak di perasaan ini.
“ Maaf Sum, Selamat tinggal………………………!”
Gondola kencanamu melaju merencah kebeningan dan keluasan air lautan maha luas. Menjauh dari diri ini. Dengan gagah terus berlarung tiada hentinya menuju hamparan permadani lukisan seni awan kepurihan.
“Jangan begitu Putri. Jangan tinggalkan saya sendirian. Saya memang bersalah. Meninggalkan kamu sendirian waktu itu.” Sejenak saya terdiam.
“Putri, saya datang hari ini untuk memohon maaf atas kesalahan saya waktu itu. Moga saja kamu bisa memaafkannya. Putri, saya tidak mau kamu tinggalkan sendirian disini. Saya mau ikut kamu. Saya cinta dan sayang kamu. Putriiiiiiiiiii……,” kejar saya memburumu. Tidak sadar dan terpikirkan lagi, dimana saat ini saya berada.
Bbbbbyyyyyyyyuuuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrr…………

Rantau Panjang, 5 Desember 2003
~~~&&&~~~

(Dipublikasikan di Tanjungpura Post jadi cerita bersambung)

Hadiah Istimewa Buat Sang Pacar

Oleh : M. Saifun salakim

Devianita, Kalam terindah di Bukit Oreon
Ada sekelumit serakan kerang yang terlampar di pasir putih yang akan saya berikan padamu agar dapat ditata apik dan indah menjadi mahligai disaput keemasan yang terkilau sinar mentari. Kalau saja kamu masih di tanah kemuliaan kenangan ini. Selain itu banyak tambo purnama yang bersinar gemilang dan selalu hadir menghiasi kelam, mengental bersama dengan kecerahan bintang dalam menerangi jagat yang ingin saya sampaikan padamu, kalau saja kamu masih ada di kesejukan bumi yang saya pijak ini.
Di saat itu kita masih selalu seiring sejalan menaiki sepeda kumbang meniti rel-rel jalanan kehidupan yang melekang-lekang panas dengan mengikuti koridor waktu yang terus berlomba dengan ketegaran kita menuju zenit kasih abadinya. Sampai dia kembali ke pangkuan ibunda untuk menutup matanya. Masih tersisa mutiara laut bianglala berhamburan kembang-kembang mawar kesturi, memang kembang kegemaranmu yang akan saya haturkan ikhlas di haribaanmu, yang sudah memang menyebarkan keharuman. Biar tetap melekat dan tak pernah hilang, walaupun dilibas usia zaman yang semakin garang memangsanya. Enak dipandang mata dan sedap diendus hidung. Sekiranya kamu masih menjadi taman mewangi dalam inspirasi saya. Walaupun gugusan pulau yang membentang sudah menghambat tegur sapa kita berlanjut. Walaupun kedalaman dan kepanjangan luas lautan tak bertepian sudah beku tersenyum di dalam memori-memori karang yang berserakan di kerikil-kerikil pada tumbuhan biota di kedamaian laut mengikrarkan kasih sayang kita berbekas. Masih ada semuanya dalam kesan saya. Walaupun jaraknya jauh mengambang, saya tetap kirimkan kerinduan rembulan dengan mentari yang rindu pada kehangatan pelangi dengan hadirnya sekali-kali di permukaan bumi ini lewat puisi-puisi lusuh - kencangnya kereta masa kesana, yang terkaver dalam buku putih yang saya layangkan padamu agar kamu selalu ceria dan periang. Tersenyum sumringah dengan lesung pipit membuka, very Sweet and beatiful.
In memoriam sungai kapuas jadi ilham dan inspirasi saya. Sewaktu kita berdayung sampan berdua. Yang menimbulkan rasa senangnya untuk menuju tepian cinderamata sambil menikmati kemolekan tubuh senja, memunculkan seluruh wajahnya yang mulus, fantastik, eksotik, spektakuler, dan tangan dinginnya selalu menaburkan kasih sayangnya, mencumbu perawan-perawan laut yang asyik berdekam diri dengan ketenangannya di luas lamparan permadaninya.
“Nit, wow begitu indahnya senja hari ini. Bagaimana menurutmu?”
“Sungguh indah, Saif. Seumur hidup saya, belum pernah saya melihat dan memandang senja seindah saat ini. Walaupun saya pernah melihat senja sebelumnya. Senja ini menghantarkan keindahan, ketenangan, dan kedamaian pada jiwa saya yang datang secara alamiah. Terima kasih ya Saif, kamu telah membawa saya menikmati senja seindah ini !”
“Nit, kalau kamu senang dan enjoy dengan senja ini, saya bisa mengambilkannya untukmu agar kesenanganmu semakin bertambah.”
“Ah, jangan bergurau dan membikin guyonan, Saif. Mana bisa kamu dapat mengambil senja yang ada di lintasan lazuardi biru. Karena selama ini belum pernah ada orang yang bisa mengambil senja. Saya mengerti maksudmu bahwa kamu ingin membuat saya senang dan selalu menikmati kebahagiaan. Untuk tidak mengecilkan keinginan hatimu, terserahlah padamu!”
“Okelah, kalau begitu Nit. Tunggu saya sebentar di sini. Saya akan mengambilkan senja untukmu.”
Saya pun berusaha mengambilkan senja itu dengan susah payah. Menikmati jalanan yang penuh lika-liku dan kerikil tajam yang sempat menggoreskan sepercik luka di badan, namun semua itu dapat saya atasi dengan mulus dan lancar.
Devianita merasa kagum dan takjub bahwa saya bisa mengambil senja untuknya. Yang sangat sulit dilakukan oleh orang lain. Kegirangannya terpancar kontras dengan mendapatkan senja yang membuat hatinya semakin tambah bahagia. Dia pegang senja itu di kemulusan tangan kanannya dan senyumnya membentuk sekuntum rembulan, menyeruak dan terukir indah di bibirnya.
Keasyikannya memandang senja di tangan kanannya, terbuyarkan. Dikejutkan suara ribut-ribut dan ramai menuju ke arahnya.
“Itu orangnya. Saya melihatnya dengan jelas. Dialah yang telah mengambil senja itu. Dialah malingnya. Mari kita sama-sama merebut kembali senja yang telah diambilnya.”
“Nit, mari kita cepat tinggalkan tempat ini, sebelum orang-orang ramai sampai ke sini dan merampas senja yang telah saya ambilkan untukmu,” seru saya.
Kamu hanya mematung bisu. Tak bergerak sedikitpun. Malahan kamu perhatikan saya dengan pandangan mata saksama, menyiratkan sebuah kemasgulan. Dari tatapanmu seolah-olah kamu menyudutkan saya pada kenyataan atau keadaan yang bersalah. Macam terdakwa di hadapan sang hakim, pemberi segala keputusan hukum.
Suara gemuruh orang ramai seperti air bah, terus menderu-deru menghampiri kami.
“Nit, mari kita tinggalkan tempat ini. Jangan pedulikan orang-orang itu yang hanya mengusik kebahagiaanmu,” tarik saya pada tangannya dan tangan sebelah lagi mengayuh dayung sampan supaya dapat melaju dengan maksimal. Meninggalkan orang-orang ramai yang terus mengejar.
Orang-orang ramai tidak kalah semangatnya. Mereka terus berteriak-teriak riuh rendah sambil mengejar kami. Lontaran bunyinya memedaskan jiwa dan memanaskan daun telinga.
“Saif, daripada membuat orang ramai ribut-ribut dan terus mengejar kita, lebih baik kamu kembalikan saja senja ini pada tempatnya. Saya rela melepaskannya demi kepentingan orang banyak.”
“Apa?” kejut saya.
“Tapi Nit?”
“Tidak pakai tapi-tapian.”
“Nit, kamu juga harus mikir bahwa saya sudah susah payah mengambilkan senja ini untukmu. Bahkan dengan perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan. Semua itu terus saya jalani. Semuanya demi kamu. Saya ingin melihat kamu terus ceria dan selalu merasakan kebahagiaan. Hanya karena ocehan orang ramai, kamu sudah jadi down dan lemah semangat serta menyuruh saya mengembalikan senja yang telah diambil pada tempatnya. Nit, kamu harus tegar dan mantap. Kamu jangan terpengaruh dengan ocehan orang ramai itu. Anggap saja ocehan itu seperti anjing menggonggong kafilah berlalu. Terpenting kita tetap enjoy dan indehoi. Orang lain terserahlah.”
“Tidak bisa begitu, Saif. Egois namanya.”
“Bukan egois Nit, tapi kewajaran demi kepentingan pribadi.”
“Sudahlah Saif, saya tidak mau berdebat lagi. Maafkanlah saya. Saya tidak bisa memenuhi apa yang kamu inginkan. Karena saya tidak bisa merusak keinginan atau kebahagiaan orang banyak yang menginginkan senja ini, agar selalu memberikan cahaya keindahan pada mereka. Hanya untuk memenuhi kesenangan dan kebahagiaan saya yang berupa segelintir buih busa di lautan terbuka. Saya tidak tega sama mereka, Saif. Bukan berarti dengan pembangkangan ini, saya tidak menghargai ketulusan dan kebaikan kamu, yang susah payah mengambilkan senja demi membuat saya senang dan bahagia. Bukan begitu maksudnya. Malahan saya sangat berterima kasih dengan perjuanganmu. Kekaguman saya padamu makin bertambah lagi jika sekiranya kamu dapat mengembalikan senja ini pada tempatnya,” ucapmu sambil menyerahkan senja pada saya. Saya mengambilnya.
“Baiklah Nit, kalau memang itu keinginanmu. Saya akan mengembalikan senja ini pada tempatnya,” jawab saya pelan.
Senja itu saya kembalikan lagi pada porosnya. Orang-orang ramai menghentikan pengejarannya. Teriakannya yang beraroma cabe rawit terhenti seketika. Berganti dengan senyuman keceriaan yang terpancar indah.
“Alhamdulillah, dia telah mengembalikan senja itu. Kita akan menikmati keindahan senja lagi.”
Mereka bersorak sorai kegirangan dengan menaburkan genderangnya, yang berencah buana. Ribut.
Kamu mengulaskan senyuman termanis melihat mereka, dan saya juga menurutimu supaya tidak dikatakan pahlawan kesiangan atau ketinggalan.
~oOo~

Devianita, rembulan bergayung dalam selimut ketebalan purnama

Masih ingat dan terkesan manis, in memoriam saat kita sama-sama memakan rembulan tengah malam.
Waktu itu kita sedang rileksasi dari kejenuhan perkuliahan yang banyak menguras dan menyita pemikiran. Bertumpuk-tumpuknya pekerjaan makalah dan tugas lainnya yang diberikan dosen. Harus diselesaikan dengan tepat waktu. Kalau tidak akan berakibat fatal, yaitu tidak lulus mata kuliah. Menyebabkan mengulang lagi pada semester berikutnya. Itu yang tidak kita inginkan. Walaupun berat tugas dari dosen tetap kita kerjakan dengan baik agar selesai dengan cepat.
Di korem, halaman Alun-Alun Kapuas dekat Kafe Lancang Kuning, kita duduk santai dan rileksnya sambil berkelakar menikmati kelezatan malam yang indah. Saya menawarkan sesuatu padamu.
“Kamu mau makan bakso, Nit?”
“Terserah kamu, Saif !”
“Okelah, kalau begitu. Kita makan bakso dulu sambil minum es campur dan ngobrol ngalor ngidul.”
Saya memanggil pelayan untuk menyiapkan pesanan, yaitu dua mangkok bakso dan es campur.
Malam terus bertambah pekat dan kenyal dalam lintasan kelembutan lazuardi, berselimutkan kehangatan langit. Bintang bertaburan menghiasi rona malam biru yang memancarkan cahayanya pada sekujur kemolekan dan kemulusan tubuh bumi tercinta. Tetapi malam ini terasa ada kekurangannya, yaitu belum nampaknya dewi rembulan. Entah mengapa dia belum memunculkan dirinya. Apakah dia lagi sedang bersolek? Apakah dia lagi mempercantik dirinya? Biar dapat tampil dengan wajah berseri-seri lewat kedipan matanya yang sangat disukai oleh tua muda, kecil besar, peok segar, dan energik renta. Mereka adalah pengagum dan penggemar sejatinya.
Malam ini sangat ramai pengunjungnya. Rata-rata didominasi muda-mudi yang berpasang-pasangan. Sama seperti kami menikmati kelezatan malam sambil menghirup segar sinar kuning merkuri yang muncul dari Kafe Lancang Kuning. Menambah keindahan malam ini begitu orisinilnya.
Pesanan bakso dan es campur telah terhidangkan si pelayan. Asapnya terlihat berpuisi menembus kepekatan malam yang kepulannya melebar dan masih hangat membaui hidung untuk dicicipi.
“Nit, mari dicicipi baksonya selagi masih hangat?” kata saya.
“Ya… Saif ! Mari kita cicipi sama-sama,” jawabmu.
Kamu mulai menarik sendok dan garpu yang telah disediakan untuk memasukan bakso ke dalam mulutmu. Saya juga melakukan hal sama dengan yang kamu lakukan. Nikmat sekali baksonya. Sehingga kita makan begitu lahapnya. Hanya meninggalkan sebutir bakso yang besar, belum disantap. Ludes.
Dewi rembulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Akhirnya memunculkan dirinya. Pantulan senyumannya putih melepah, tersebar berkuah-kuah. Menyapa lembut mahluk yang ada di permukaan bumi, terutama mahluk yang menikmati malam di dekat Kafe Lancang Kuning dan sekitarnya. Sehingga menampilkan semua wajah mahluk tersebut berseri-seri dan menambahkan keceriaan yang gemilang.
Sedetik memberikan kehangatan pantulan senyuman putihnya. Dewi rembulan menukik cepat ke arah kami yang sedang menghabiskan sebutir bakso besar. Kami terkejut. Semua orang memandang kami. Dewi rembulan berbentuk sebesar telur burung puyuh. Pantulan senyuman dan sekujur tubuhnya yang putih melepah menyilaukan wajah kami. Saya memberanikan diri memegang dewi rembulan. Terasa lembut dan empuk. Lalu saya permisi padanya. Saya membelahnya dengan garpu bakso hingga menjadi dua bagian.
“Ambillah Nit, dewi rembulan ini dan makanlah supaya dewi rembulan bisa menyatu dalam tubuhmu,” kata saya.
Kamu ragu-ragu. Seketika dengan gemetar kamu terima sebagian dewi rembulan itu. Namun kamu masih terpaku, belum melaksanakan apa yang saya suruh. Seakan kamu tak percaya dengan kejadian ajaib seperti ini.
“Makanlah Nit,” kata saya untuk kedua kalinya.
Barulah kamu mau memakannya.
“Gurih……,” katamu.
Setelah memakan dewi rembulan, tubuh kita menjadi cahaya putih melepah dan terus berseri-seri. Semua orang di taman Alun-Alun Kapuas menggerutu dan mengucapkan kekesalannya. Karena mereka tidak dapat menikmati dewi rembulan. Anugerah terindah dari Sang Maha Pencipta.
~oOo~

Devianita, oreon bersembulan merah dadu di selimut kepekatan ini

Di tengah malam berbekas kembang-kembang wangi kerinduan. Saya menikmati kelezatan malam tanpa hadirnya dewi rembulan yang telah kita makan bersama-sama. Saya hanya bertemankan bintang kegelisahan di ambal langit mengerutkan dirinya. Saya tersentak melihat sebuah bintang yang bersinar terang gemilang bak pamor senyuman kesegaran dewi rembulan. Orang-orang menamakannya orion. Saya terus saja memperhatikannya. Lekat-lekat dan saksama.
Pukul satu berdentang-dentang. Menandakan kepekatan malam mencapai zenit percumbuan kasihnya. Waktu inilah para orang-orang pengabdi setia Allah melakukan kekhusukan salat lailnya.
Waktu semua orang terlena terbuai keindahan mimpinya. Mereka bermunajat. Mereka mengintrospeksi diri dari kesalahan dan kesilafan serta dosa yang pernah dilakukan dengan cucuran air mata susu kemanisan demi mendapatkan ridho dan berkah Allah berupa sebuah kemuliaan hidup.
Saya masih masyuk menatap si orion tak berkedip. Sehingga menimbulkan keinginan dalam hati saya untuk memilikinya. Rencananya, orion akan saya hadiah untukmu. Apalagi orion dapat mengumandangkan suara azan mendayu-dayu kalbu, bergema pada setiap jam salat. Pasti kamu senang menerimanya.
Saat orang asyik dalam salat lailnya, saya mengambil orion. Dia saya masukan dalam saku baju tebal agar tidak ketahuan orang bahwa sayalah yang mengambil orion di langit.
Sehabis salat. Orang-orang ribut. Karena tidak melihat orion lagi bersinar di jaluran langit dengan taburan semaraknya bintang gumintang. Mereka bertanya-tanya dalam hati.
Kemanakah gerangannya orion menghilang? Jangan-jangan dicuri mahluk raksasa di langit. Tidak mungkin. Bukankah selama ini belum terjadi hal semacam itu. Jangan-jangan… Ini pasti kerjaan orang usil atau orang gila cinta. Dengan mengambil orion untuk dipersembahkannya pada si pacarnya. Siapa orangnya? Biar bagaimanapun caranya untuk mendapatkannya, orion harus dikembalikan pada tampuk mahkotanya. Orion harus ditemukan lagi.
Mereka yang merasa kehilangan orion melaporkan perkara itu pada pihak kepolisian agar pihak kepolisian membantu mereka dalam menemukan orang yang telah mengambil orion. Tapi laporan mereka tidak digubris sama sekali dan dianggap mengada-ngada serta merekayasa suatu kejadian. Malahan mereka dianggap orang gila. Lebih menyedihkan lagi, mereka dianjurkan pihak kepolisian untuk melaporkan masalah tersebut pada spesialis penyakit jiwa. Psikiater. Memang edan !
Jalanan gugusan pelangi membentang lurus menuju daerah di mana kamu berada. Saya berkemas-kemas menyiapkan akomodasi perjalanan ini. Orion saya simpan rapi dalam tas kulit, yang tergantung indah di bahu, tidak pernah dilepaskan. Saya naik ekpres Cinta dan menyinggahkan saya pada pelabuhan Suka Bangun. Menggunakan oplet saya menuju tempat tinggalmu yang berada di Pesaguan Kiri.
“Assalamualaikum,” ketuk saya pada daun pintu.
“Waalaikum salam wr.wb,” sahutmu.
Seraut wajah manismu menyembul dari balik pintu.
“Hei Saif, masuklah dan silakan duduk,” serumu kegirangan.
Saya masuk dan duduk di bangku tamu melepaskan kepenatan sehabis perjalanan jauh.
“Bagaimana kabarmu, Saif?”
“Baik-baik saja Nit seperti yang kamu lihatlah. Kabarmu bagaimana Nit?”
“Baik-baik juga, Saif.”
“Kamu dalam rangka tugas ya ke sini?”
“Tidak Nit. Cuma ada keperluan khusus saja.”
“Keperluan khusus apaan?”
“Menjumpaimu. Melepaskan rasa rindu ini yang sudah bergelora seperti besarnya ombak Narai Kapuas,” tunjuk saya pada kalbu.
“Kamu masih seperti dulu saja. Suka sekali bercanda,” cubitmu pada lengan saya sehingga saya mengaduh kesakitan.
“Kalau menyubit kira-kira dong. Jangan sampai mengelupas seperti ini,” kata saya mengelus cubitanmu supaya rasa sakitnya berkurang.
“Ya.. deh. Oh ya Saif, kelihatannya kamu capek. Istirahatlah. Istirahat saja di kamar sebelah,” ucapmu kemudian.
“Ya… Nit ! Terima kasih atas pengertianmu,” jawab saya.
Saya masuk ke kamar sebelah yang tidak berjauhan dengan kamarnya.
Sayup-sayup suara orang bertadarus masih terdengar. Malam ini rupanya malam menyambut lebaran. Besok akan berdentang gong kemenangan bagi umat Islam. Hari yang penuh dengan suka cita. Hari yang memang ditunggu-tunggu umat Islam untuk kembali pada fitrah.
Keesokan harinya saya memberikan orion sebagai hadiah padanya. Dia menerimanya dengan rasa bahagia mendalam. Sebuah kecupan kemesraan mendarat di pipi saya.
“Terima kasih Saif atas oleh-oleh yang diberikan.”
“Sure…… All this is just special to you.”
“Lagaknya bicara bahasa Inggris segala. Padahal bahasa Inggrisnya cedokan.”
Saya hanya tertawa mendengar gurauanmu.
Si orion terdengar melantunkan lafaz tasbih, tahmid, dan takbir. Menyuruh kami segera pergi ke masjid untuk merayakan hari kemenangan umat Islam, lebaran.
Dengan berpakaian rapi dan semprotan bau harum parfum kesturi selalu menyebar kemana-mana, kami melangkah bersama-sama penuh keyakinan mantap.
Di depan pintu rumah. Kami melihat serakan pelangi di lintasan cakrawala biru. Tercerai berai. Tidak menyatu dalam satu aluran lurus panjang. Selalu memberikan keindahan.
Kami saling termangu. Lalu saling tatap dan melemparkan cahaya rembulan yang sudah kami miliki. Cahaya terang dewi rembulan berbagi rata sama sisi.
Kami saling mengikrarkan janji mega putih bahwa sepulang dari merayakan hari kemenangan umat Islam. Kami akan menyatukan serpihan pelangi menjadi utuh seperti sedia kala, agar dapat memberikan keindahan dan kebahagiaan pada umat manusia.
Maket mahligai abadi dengan berhiaskan kencana yang cerah.

Rantau Panjang, September 2003
~oOo~

Saturday, September 15, 2007

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Meminta Sebuah Pertolongan
Oleh : M. Saifun salakim

Siang yang gerah. Celana berjalan mengangkang. Seperti telah terjadi sesuatu pada alat kelaminnya. Dia terus saja berjalan. Semua sunyi. Hari-hari biasanya jalanan sangat ramai. Kali ini jalanan tak ada tanda-tanda kehidupan. Dia bingung. Padahal dia ingin minta tolong pada siapapun yang dijumpainya hari ini agar dapat membantunya menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Semua bisu. Sunyi-senyap.
Ketika celana ingin memanjat perut manusia. Barulah dia menemukan denyut-denyut kehidupan.
Pusat cekung menegurnya.
”Kamu diperkosa ya?”
”Gak. Aku dianiaya. Kelaminku dibaluri orang dengan bakteri.”
”Mengapa sampai begitu?”
”Karena aku menolak keinginannya. Dia memintaku jadi bandar togel. Dia memintaku jadi bandar narkoba. Dia memintaku mengumpulkan virus-virus mematikan mahluk hidup yang ada di dunia ini. Dia memintaku mengubah bintang menjadi rembulan. Dia memintaku mengubah langit menjadi awan. Dia memintaku mengubah lautan menjadi daratan. Dia memintaku agar menciptakan nyawa. Biar dia bisa hidup abadi.”
”Sungguh kejam perbuatan orang itu. Kalau bertemu akan kubunuh dia.” Pusat cekung ikut bersimpati.
”Sudahlah tak perlu kita mendendam padanya.”
”Tak bisa begitu teman.”
”Daripada mengurusi dia. Lebih baik kamu membantu mengobati penyakitku.”
”Bagaimana caranya menyembuhkan penyakitmu?”
”Gampang. Kamukan punya lesung. Tolong lesungmu itu kamu tutupkan pada kelaminku. Kemudian lesung itu kamu hancurkan dengan timah panas berkekuatan tujuh kandela.”
”Lesungku? Tidak bisa.”
”Tolonglah teman.”
”Kamu nih bodoh atau tolol sih. Kalau aku berikan lesungku sama saja aku bunuh diri. Maaf teman, aku tidak bisa membantumu kali ini. Selamat tinggal teman.” Pusat cekung lalu masuk ke dalam perut seorang manusia.
”Teman..... Sungguh teganya dirimu padaku.”
Celana menangis.
Mengapa kehidupan yang dialaminya begitu sengsaranya?

Pontianak, 15092007
~&&&~

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Dua Ribu Dua Ratus Dua Puluh Satu

Sepenggal lantunan telah mampu membuka
halaman demi halaman buku jiwa yang bergaris merah.
Not-not keinsafan membaca apa yang tertulis di sana.
Tak ada tanda pembehentian.
Hanya rangkaian kata dalam doa

Padahal buku itu penuh lajuran sulit
Tak bisa dikompres dalam detak-detak
Kehidupan yang pernah dilaluinya

Bidadari kecil bermain di sudut ranjang
Pelupuk mata mengajaknya bercinta
Membuai impian yang jauh terbuang

Sepenggal lantunan semakin serik
Tak mampu lagi membuka halaman terakhir buku itu
Halaman dua ribu dua ratus dua puluh satu

Dia hanya memahami suatu hal
Dua ribu mempunyai nol tiga
Dua ratus mempunyai nol dua
Dua puluh mempunyai nol satu
Nol satu adalah bulat

Pontianak, 15092007

Friday, September 14, 2007

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Bilang Bukan Dibilang
Oleh : M. Saifun salakim

Dibilang plakat, dia bukanlah plakat. Kalau plakat. Dia dapat berarti tulisan yang menggugah dan mendorong diri yang ditempelkan di dinding.
Dibilang teguran, dia juga bukan teguran. Karena kalau teguran biasanya disampaikan kalau ada sesuatu yang diganjalkan.
Kalau dikatakan nasihat, mungkin juga. Tapi masih samar-samar. Bolehkan aku menegaskan bahwa ini adalah pelajaran untukku. Menyadarkanku untuk mengoreksi diri. Betapa rapuhnya pondasiku kapalku untuk berlayar disaat terlena. Menggerakkan hidupku untuk bersujud. Bahkan untuk menangisi sisa-sisa kesilafan yang sudah tercecer-cecer di samudera luas, lautan tenang, dan gelombang bergendang merdu. Memainkan irama musik syahdu.
Satu hasratku. Aku harus mencari dan memaknaiku. Dimana aku? Siapa aku? Kemana aku harus mencarinya?
Apakah dalam gelak tawa yang telah kulalui? Apakah dalam bualan-bualan yang memabukanku? Entahlah. Saat ini aku belum bisa menerka dan menebak. Dimana ia berada?
Masih kuingat gendang suaramu. Mengalun lembut.
“Dirimu harus menjadi dirimu. Menjadikan dirimu harus menyelami keluasan hati.”
Dimana keluasan hati itu bersemayam? Apakah dalam gemaan azan saat orang menunaikan salat sepanjang waktu sebagai tanda menjalankan kewajiban? Apakah dalam itikaf kesunyian di padang rembulan? Rembulan yang mana lagi. Apakah rembulan yang pernah kulihat selama ini secara visual atau ada rembulan lain. Sebaliknya. Atau dia ada dalam sejuk dan segarnya guyuran wudu menghiasi kepala dalam membawakan kebahagiaan dan kedamaian. Tak pernah bisa kulihat wujudnya.
Dibilang cinta, dia bukanlah cinta. Cintaku hanya milikmu. Tidak akan pernah kubagi dengan orang lain.
~&&&~

Thursday, September 13, 2007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Lebih Enak Bercinta Saja

Bukan petaka sayang
Cuma lem melekat ketulusan
Ada nenek yang minta dihamili anak negeri
Sudah gila dunia ini

Bukan bencana sayang
Cuma spidol tak berfungsi lagi
Cuma kertas koran tak bertanggal lagi
Cuma map hitam tak terbuka lagi
Ada gunting dara merajam hati
Memberikan janji pada semut-semut
Memangnya negeri ini adalah negeri semut
Hingga gula tinggi menjulang

Sayang,
Lebih baik kita bercinta saja
Tak usah pedulikan ini negeri
Negeri sapi yang sering mati suri
Karena rumput hijau sudah gundul di kebun sendiri
Tetapi menghijau di kebun negeri asing

Pontianak, 13092007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Petuah Ramadan

Anak-anakku,
Dengarkan petuahku yang bertali di hari ini
Camkanlah dalam hati setiap berjanji
Amalkanlah dalam gerak setiap bersiwak

Pelajaran pagi adalah ufuk yang memberi
Pelajaran siang adalah kehidupan yang garang
Pelajaran sore adalah senja hati yang berboreh
Pelajaran malam adalah amalan yang disulam
Pelajaran tengah malam adalah hati yang merekah
Pelajaran larut malam adalah jiwa yang melaut
Pelajaran teja merah adalah resahku yang bersahaja

Tunggulah aku di sana
Aku akan jadi anak bayi lagi
Dalam momongan Allah

Pontianak, 13092007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Ramadan Tiba

Pecinta menjadi gila semakin gila
Ketika ramadan tiba
Peluh dan keringat menjadi mati suri
Tiada terkirakan
Mengalir di jantung hati
Dalam lafalan zikir semakin membumi

Ini hari adalah sebuah penantian
Sekian detak jam memutari diri tak berhenti
Ada sebongkah kasih merindu
Melingkari jari-jari jiwa di celah hujan siang hari
Menyegarkan jiwa-jiwa beku
Dalam tarian tarawih soko-soko guru

Pecinta menjadi gila semakin gila
Ketika ramadan menjelangkan ajal menyapa
Kutuliskan sair di buku tak bertanda
Tiada kata hanya doa semata
Dalam nisan bernapaskan dendang desa
Ada kemurnian dan alamiah merekam nada
Nada cintaku yang habis digiling keranda

Pontianak, 13092007

Wednesday, September 12, 2007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Ramadan 3

Diikhlaskannya diri dari pagi sampai petang
Demi menggapai cintamu yang suci
Dihilangkannya angkuh dan amarah
Demi mendapatkan kesabaranmu yang kukuh
Disalatkannya jasad dan ruh
Demi mendapatkan hidayahmu yang pesat

Ramadan
Jangan kamu tinggalkan musafir hina dina ini
Di setiap tarikan napasnya
Tuntunlah dia ke jalan maha sempurna

Ramadan
Bentuklah musafir hina dina ini
Meramadankanmu dalam setiap bulan
Dengan tak mengenal iklim dan cuaca buruk
Menghampirinya pagi dan petang

Pontianak, 13092007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Ramadan 2

Cerminmu halus lembut tak bernoda
Mengaca kerinduan-kerinduan bergemuruh
Seperti gelombang tsunami terlewatkan
Beberapa detik yang lalu
Menggetarkan kecintaan yang merekah
Seperti gempa bengkulu yang melanda
Hari ini
Dengan kekuatan 7,9 skala richter
Menyungkupi seluruh insan
Yang mengaku dia pencinta tuhan
Untuk menarik hatimu agar berpaling pada kami
Berucap syukur seluas samudera jaya

Pontianak, 13092007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Ramadan 1

Serasa hati di tengah telaga tujuh warna
Serasa perasaan bercinta dengan tujuh bidadari surgaloka
Serasa seluruh tubuh bersalat di langit ketujuh
Serasa nyawa tak kenal hari minggu
Merengkuh harimu nan suci
Oh, Ramadan!

Pontianak, 130929007

Monday, September 10, 2007

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Harta Karun
Oleh : M.Saifun salakim

Aku lirih berucap.
“Mengapa kau datang meminta perlindungan padaku. Kamukan tahu bahwa aku adalah orang yang jelek, penyakitan, dan kata orang-orang aku adalah mahluk yang sombong. Kamu akan menyesal meminta perlindungan padaku.”
“Kamu jangan merendah. Di situlah letak kelebihanmu. Kamu dapat dipercaya, jujur, dan selalu mengagungkan cinta di atas segala. Aku percaya kamu bisa melindungiku.” Tandasnya ia menjawab omonganku.
Ia membuka sebuah peta jiwa. Dalam peta itu tertera letak-letak daerah yang menyimpan sebuah harta karun. Aku menyipit memandang letak peta tersebut.
Ia akan memintaku agar melindungi dirinya ketika serangan asing datang padanya selama perjalanan dalam mengambil harta karun itu. Ia ingin sekali memiliki harta karun itu.
“Kamu bisakan membantuku?”
Sejenak aku terdiam. Letak daerah di peta itu sulit dijangkau. Karena daerah itu adalah daerah kemisteriusan. Daerah itu selalu asing bagi pendatang. Daerah tertutup. Karena daerah itu pintu awal menuju kematian.
“Bagaimana teman, bisakan?” tegaskannya sekali lagi.
“Teman, aku mohon jangan kecewakan aku.”
Selintas burung merpati melintasi kami. Ia bersenandung.
“Harta karun itu selamanya tidak akan pernah kalian temukan dan dapatkan. Karena harta karun itu ada pada sifatku. Kalau mau harta karun itu kejarlah aku dan ambil sifatku dulu.”
Merpati itu terbang menjauh dari kami.
“Merpati, tunggu kami,” kata kami serempak
[Pontianak, 10092007 (16.55)]

Sunday, September 9, 2007

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Merdeka
Oleh : M. Saifun salakim

Mengapa musti aku ada di sini? Padahal aku tidak menginginkannya. Di ramainya pengunjung musik dangdut malam ini. Di liukan gemulai sang penyanyi. Kepulan asap jiwa-jiwa terbang dari para penonton yang bersorak-sorak kegirangan. Seketika perang badai melanda. Badai yang bertiup dari arah timur dan barat. Menghancurkan hati-hati yang tersimpan rapi dalam lemari malam. Berserakan. Seorang penyanyi dangdut yang masuk undian ketujuh belas meneriakan yel-yel.
“Merdeka! Merdeka! ”

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Ular
Oleh : M. Saifun salakim

Anak kecil berkerumun. Meneriakan ular yang masuk ke dalam kutang seorang ibu. Ia bertelur. Melahirkan silikon. Silikon itu melarikan diri masuk kolong rumah Bu Ayu. Menjelma jadi ular yang panjang dan besar. Mendesis-desiskan lidahnya. Memangsa seekor raong.
Keributan itu mengundang orang tua untuk melihatnya. Jadilah penampakan ular itu menjadi tontonan. Orang banyak berteriak.
“Bunuh! Bunuh!”
Aceng dengan serampangnya telah menikam ular itu. Lalu ditariknya keluar dari kolong rumah. Malang nasib ular itu. Di luar ia dibantai habis-habisan. Napasnya kabur menuju awan. Tapi buntutnya masih menunjukkan kehidupannya.
“Hidup! Hidup!”

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Gila
Oleh : M. Saifun salakim
Gila! Tiada biasanya anjing menyalak rembulan malam. Bergemuruh. Mendebarkan perasaan takut merajam hatiku. Apakah akan ada tamu tak diundang yang datang? Ya. Penciuman anjingkan lebih tajam dari penciuman manusia. Ataukah yang datang adalah malaikat kematian? Semakin gila. Gila saja pengembaraan imajiku ini. Gila anjing menyalak. Tetapi sebentar. Set... Desiran angin beranjak dengan kesenangannya. Menghampiriku. Membawakan kesunyian adalah ibadah. Aku pun jadi tersenyum.

Embrio 2007 M. Saifun salakim

Judul : Blog
Oleh : M.Saifun salakim
Aku membuat blog. Senandung senang menggelitik pendengaranku. Nyamuk marah kepada tikus televisi yang memakinya tak karuan. Blog yang kubuat bergetar. Dia marah.
“Bangsat!”
Ia memakiku. Sebenarnya apa salahku padanya. Aku hanya menciptakan sesuatu yang baru.
Peduli setan. Setan saja malah gentayangan di bahu kiriku. Penat sudah.
“Matilah kamu!” Aku balik memakinya.

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Sajak Kasih Sunyi

Kasih
lirih merekah dalam cinta sunyi
Menumpahkan hasrat sebakul nasi kelaparan
Menggeluti kuah-kuah mimpi yang belum kesampaian
Tambahkan saja sedikit ketulusan
Agar manis senyumnya bukan sekadar lauk pauk
Pengganjal perut di saat kelaparan
Tetapi pemberi semangat ketika cahaya pelita meredup
Dilindungi tabir-tabir kesamaran jiwa kecoklatan

Malam Sunyi (Balber), 28072007

Puisi 2007 M. Saifun salakim

M. Saifun salakim
Senandung Kemerdekaan

Sepasang obor bercinta di hati pejalan kaki
Setia menikmati keceriaannya
Menyambut kemerdekaan yang masih tidur
Di gunung menjulang

Senandung kemesraan menghantarkannya
Menggeluti arti-arti hidupnya yang masih kelabu

R. Kom (Balber), 17082007