Wednesday, July 18, 2007

Cerpen M.Saifun salakim

White Cat
Oleh : M.Saifun salakim

Panas sedang menumpahkan amarahnya. Merah padam. Jalanan lekang tersenyum, tertawa, bahkan berteriak seperti orang gila. Amin menenteng map berisi lamaran kerja. Cari pekerjaan tetapi belum berhasil dengan sukses. Keringat sudah memandikan badannya. Untung saja dia pakai pewangi badan sehingga bau badannya nggak berceceran kemana-mana. Kontras tercium begitu. Pengap.
Ujungnya dapat juga dia memasukan lamaran kerjanya di sebuah perusahaan atau instansi yang memang membutuhkan pekerja atau pegawai baru. Gembira rasanya dia mendapatkan hal itu. Walaupun dia baru lulus seleksi dari personalia. Yang masuk seleksi dua orang saja. Dia sama dengan seorang wanita yang juga melamar bersamanya. Kini tinggal menunggu putusan dari direktur utama. Siapa yang layak menerima pekerjaan itu, diakah atau wanita tersebut?
Dia berdua bersama wanita itu lalu disuruh menghadap pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menduduki kursi jabatan yang dilamarnya itu. Rupanya Amin ditolak. Apa nggak dia berang? Ingin rasanya dia marah, karena pemilihan itu dinilainya nggak logis. Ujungnya Amin mengalah . Setelah dia menyadari suatu hal bahwa untuk mendapatkan kerja sekarang ini tidak bisa bermodalkan dengkul belaka, tetapi harus dilandasi dengan koneksi, seksi, dan amplop berisi.
Bukan sekedar dengan lantunan puisi memukau rasa, tidak laku!
Bukan sekedar jas berdasi biar parlente dan terlihat rapi menarik serta elegan, tidak laku!
Busyettt……
Amin dengan wajah mendungnya bergelayut di awan biru keluar dari kantor itu. Langkahnya gontai satu per satu. Map di tangan kanannya semakin kusam dan kumal, seperti kumal wajahnya baru saja dikalahkan oleh peradaban yang memukulnya jadi babak belur. Bonyok dan benyai… Membuat semangatnya lunglai….
Sejenak dilepaskannya letih di pelataran kantor itu untuk menghirup udara segar yang lama menjauh darinya. Sekali teguk, dua kali teguk, barulah sedikit rasa plong memenuhi rongga pernapasannya.
Mau kemana aku? Pikirnya sejenak. Hampir sudah puluhan kantor aku masukkan lamaran kerja. Tak ada yang sangkut menerimaku. Baru saja ingin mendapatkan sinar rembulan di kantor ini, aku dikandaskan lagi. Aku ditolak lagi. Aku tak boleh patah semangat. Lamaran ini harus aku masukkan terus ke perusahaan atau instansi yang membutuhkan pegawai baru, sampai aku mendapatkan pekerjaan. Aku harus bisa … Akan aku coba sampai bisa…. Harus !
Angin bergelora menyejukkan jiwa. Tanah terpampang coklat oleh kotoran timbunan peradaban semakin maju. Sampah-sampah berserakan. Bau busuk selalu berseliweran. Polusi udara semakin menggila. Oh ya, kendaraan terlihat bernyanyi dengan riangnya. Kadangkala menyentakkan Amin dengan ringkikan klakson menulikan telinga. Mengagetkannya yang enak bersantai, melepaskan kepenatan mencari penghidupan yang selalu kandas.
“Lagaknya!” geramnya kasar.
Ia ingin beranjak pergi, tak perlu lama disini. Ia ternganga seperti menyaksikan pemandangan yang mengasyikan. Ia melihat sekilas sosok putih di tengah jalan.
“Ini berbahaya sekali ! Bisa mati dia !”.
Ia berlari cepat didorong oleh rasa kemanusiaan dan kesayangan untuk menolong sesama manusia ciptaan Allah. Dia tidak memikirkan keselamatan dirinya lagi, terpenting dia bisa menyelamatkan mahluk putih itu yang akan dilibas kendaraan hilir mudik. Disambarnya sosok putih itu yang hampir diberangus Corolla yang mengerang marah meninggalkan debu-debu berlepotan, menempel di wajahnya. Walaupun badannya terasa sakit ia masih tersenyum.
Di tempat aman dilepaskannya sosok putih yang tidak lain adalah seekor kucing putih berbulu putih mulus penuh klimis, tiada bercela noda sedikit pun. Lalu disuruhnya pergi. Namun si kucing tidak beranjak dari tempatnya. Malahan si kucing tersenyum dengan memberikan isyarat dengan gerakan misainya yang menari-nari lincah menawan. Seakan kalo dia bisa berbicara.
“ Terima kasih ya atas pertolongan yang diberikan. Aku selalu ingin bersamamu.”
Si kucing mendirikan kaki depannya untuk dijadikan sebagai tangan. Ingin bersalaman dengan Amin sebagai penolongnya. Memperhatikan hal tersebut, mau tak mau Amin pun mengulurkan tangannya menjabat tangan si kucing. Tangan Amin pun dijilatinya dengan penuh kasih sayang tanda persahabatan yang mendalam dan ucapan terima kasih. Amin mengangguk.
“ Pergilah ! Aku sudah mengerti. Kini kamu sudah bebas. Kamu sudah selamat.”
Si Amin jadi heran karena kucing itu nggak mau beranjak pergi juga. Sepertinya ia pilu untuk berpisah. Si kucing malah meringkuk sendu. Kepalanya nampak tertunduk sayu. Amin jadi kasihan. Kayak manusia saja, berat untuk berpisah.
“ Baiklah kalo begitu, kamu ikut aku saja,” tawar Amin. Senangnya si kucing mendengarkan kata-kata yang ditunggu-tunggunya itu. Kesenduannya berganti dengan keceriannya. Dia mengeong-ngeong tanda bahagia. Seakan dia mengerti apa yang diucapkan si Amin.
“ Kucing cerdik,” gumam si Amin merasa senang dan plong. Bisa membuat sesuatu bahagia walaupun hanya seekor binatang. Kucing.
~oOo~

“ Wahai tuan Amin, kemuliaan apa yang Anda peroleh hingga rumah Anda berkerlap-kerlip penuh cahaya?” tanya Burhan, salah satu dari penduduk desa yang penasaran ingin mengetahui keajaiban yang dimiliki si Amin. Diikuti oleh para penduduk desa yang ikut mengiyakan.
“ Betul !” seru mereka serentak. Melakukan koor ya. Sebab mereka juga ngiri melihat rumah Amin sungguh indah di pandangan mata mereka. Sejuk. Damai. Tenang. Membuat mereka ingin lama-lama disitu. Hingga sesak menyempallah.
Kalo sekiranya rumah Amin adalah masjid, tempat peribadatan mereka dalam menunaikan kewajibannya siang malam, lima waktu, tentu tiap waktu mereka mendekam disana. Menghirup kedamaian setiap angin berhembus. Menelan ketenangan setiap buliran air diturunkan oleh hujan musim semi.
Rumah Amin tetaplah rumah Amin. Hingga mereka harus tau diri. Bagaimana caranya mengatur bertamu di rumah Amin, walaupun rasa kehausan mereka akan ketenangan itu belum terpenuhi juga. Untuk itulah, mereka membulatkan tekad, mereka juga menginginkan rumah mereka seperti rumah Amin. Agar kehausan yang mereka pendam jadi meledak. Berhamburan. Mereka ramai dan riuh meminta resep pada Amin agar rumahnya bisa juga bercahaya, bisa berikan kesejukan. Kedamaian. Ketenangan. Bagi penghuninya.
“ Dialah penyebabnya,” tunjuk Amin pada kucing putihnya yang berbulu mulus yang berada di samping kanannya. Si kucing mengangguk dan senyumannya mengembang lengkungan sinar bianglala.
“ Ah, kamu jangan bergurau Min. Masach kucing ini bisa berikan kemuliaanmu memancar. Kami saja yang punya kucing putih seperti ini lebih dari satu tidak menunjukan reaksi apa-apa. Min, janganlah medit ! Beritahulah kami hal yang sebenarnya. Biar kami juga betah di rumah seperti kamu. Karena rumah kami kan bercahaya dengan memberikan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian. Kalo sudah begitu. Kita semua kan bangga. Karena kampung kita akan menjadi kampung cahaya.”
“ Betul Min.” koor penduduk, githu riuh rendahnya.
“ Aku tidak bergurau saudaraku semuanya. Dialah membuatku jadi begini. Karena dia mengajariku tentang kesejukan, kemuliaan, ketenangan, dan kedamaian itu. Selain dia, aku tidak punya apa-apa lagi. Demi Allah kukatakan ini adalah kebenaran. Dia adalah kucing putih hoki. Jadi kalo kusarankan, sebaiknya kalian carilah kucing putih berbulu mulus seperti kucing ini, dalam mencarinya penuh ketelitian dan kesabaran. Jangan grasa-grusu, dan cepat puasan. Karena banyak kucing putih yang serupa tapi tak sama. Untuk itu betul-betullah mendapatkannya. Kalo sudah dapat. Belajarlah hal yang baik darinya. Insya Allah dengan perkenan-Nya apa yang kalian inginkan akan terwujud,” kata Amin menjelaskan dengan ramah dan tamah.
“ Eddddaaaannnnn !”
“ Gila Min itu namanya !”
“ Tidak gila saudaraku. Coba saja kalo kamu ingin. Hanya itu yang bisa kuberikan.”
Kerumunan itu pun bubar dengan bawaan mereka masing-masing. Ada yang bersungut-sungut kesal. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ada juga yang mempertimbangkan saran Amin. Mungkin juga ada benarnya. Selebihnya hanya diam. No comment.
Setelah melihat keberhasilan teman-temannya yang mengikuti saran Amin, akhirnya yang no comment dan bersungut-sungut juga mengikuti saran Amin. Hingga mereka berhasil semuanya. Ujungnya semua rumah di kampung itu penuh cahaya yang masing-masing memberikan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian bagi penghuninya. Selain itu, dalam kegelapan mereka nggak perlu penerangan lagi, karena rumah mereka sudah jadi penerangan.
~oOo~

Lacur bagi Amin. Hubungannya dengan kekasihnya, Sutera jadi renggang. Sebab Sutera sangat antipati dengan hewan kucing. Apalagi Sutera menyaksikan sendiri Amin memelihara kucing. Rasa muak mengumpal, walaupun di sisi lain dia masih sayang dengan Amin. Pernah dia meminta Amin untuk tidak memelihara kucing, namun Amin menolaknya dengan halus. Makin membuat Sutera tambah kesal dan kecewa.
Sebenarnya Sutera benci dengan hewan kucing ada alasannya. Hewan kucing baginya adalah hewan penyebab kemandulan. Karena faktor itulah, dia sangat menjauhi hewan kucing. Sebab kalo dia jadi dengan Amin, kemandulan menghampirinya disebabkan hewan kucing itu, apalah rasanya kehidupan ini. Hambar khan ?
Sekali lagi Sutera membujuk Amin untuk membuang kucingnya atas nama cinta. Namun Amin tetap berpendirian teguh. Nggak mau menuruti kehendak itu.
“ Tera, maaf ya aku tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk membuang kucing putih ini, karena dia sudah jadi sahabat sejatiku bahkan dia guruku.”
“ Apa ? Tidak salahkah telingaku mendengarnya !”
“ Tidak salah, Tera. Memang itulah kebenarannya.”
“ Kamu ini semakin aneh saja. Masach kucing bisa jadi gurumu. Lucu sekali. Apakah tidak ada lagi manusia yang pantas menjadi gurumu sehingga kamu berguru dengan kucing. Aku tak habis pikir, Min.”
“ Terserahlah apa katamu, Tera. Terpenting dia adalah tetap sahabat sejati sekaligus guru yang paling baik bagiku. Jadi maaf aku menolak keinginanmu.”
“ Jadi itukah akhir keputusanmu?”
“ Ya…..!” sahut Amin dengan mantap.
“ Kalo begithu hubungan kita tidak boleh dilanjutkan lagi…. Sampai disini aja!” kata Tera yang sudah tidak bisa membendung hatinya lagi, karena Amin tidak bisa dibujuknya lagi.
“ Terserahlah apa maumu. Kalo memang itu yang terbaik bagimu,” jawab Amin dengan ekpresi santai dan segar. Menangislah Sutera dengarkan kata keputusan itu. Kekecewaannya pun meruak lalu dibawanya lari bermaraton menempuh bukit dan lurah yang melandai serta gunung menjulang, menyampaikannya ke finish dalam penumpahan kekesalannya. Dialah yang menentukannya.
Bukan berarti dengan putus hubungan, maka rengganglah hubungan sahabat, tidak begitu ! Hubungan sahabat tetap berjalan dengan baik.
Bertemu dengan Sutera, Amin tetap berbaikan. Amin masih senang pula menjemput Sutera di rumah sakit. Karena Sutera khan perawat man. Walaupun Sutera menolak diajak pulang bareng. Amin tidak kecewa. Dia tetap seperti biasa dan apa adanya. Pertengkaran dan perselisihan sebelumnya dianggapnya adalah kesalahpahaman saja. Bisa diperbaiki.
Ujungnya Sutera mengerti juga kesalahan yang dilakukannya, setelah dinasihati ayahnya dengan arif dan bijaksana bahwa Amin tidak bersalah, dialah yang terlalu egois. Dia akan berusaha menyukai hal yang dibencinya, yang disukai pasangannya. Dia pun ingin rujuk kembali dengan Amin yang terlalu baik baginya.
Sore yang penuh gemerlap keindahan itu di hamparan lautan teduh, Sutera dengan suka rela diajak Amin pulang bareng. Amin pun merasa senang. Mobil mereka menderu menuju daerah penuh beribu-ribu kumpulan keranjang bunga bertaburan harum kelopak mentari. Tempat mereka mengukir memori indah di masa lalu. Di situ juga mereka dipertemukan hingga bisa seintim begini. Mereka kesana untuk menelan lagi memori baru dari memori lama yang masih tersisa di sejuknya embun menempel.

Pontianak, Juli 2004
~~~&&&~~~
(Dipublikasikan di Pontianak Post, Minggu, 22 Mei 2005)

Dokter Baik Hati
Oleh : M.Saifun salakim

“Dokternya ada?” itulah kata-kata yang seringkali ditanyakan pasien pada tetangga dokter. Habis rumah dokternya tertutup selalu.
“Dokternya belum pulang,” jawaban yang dapat diberikan oleh tetangganya dokter.
“Terima kasih, Pak!” sahut pasien tersebut lalu ngeloyor pergi.
Tetangga dokter itu adalah cikgu, yang mengajar di SMA Pertalian Kasih. Mereka adalah Tanto, Sahid, dan Iman. Tanto spesifiknya mengajar Kimia dan Biologi. Sahid spesifiknya mengajar Bahasa Indonesia. Iman spesifiknya mengajar Bahasa Inggris. Mereka tuh berasal dari kota yang berbeda. Tanto pendatang dari Jawa. Sahid pendatang dari Kayong City. Iman pendatang dari Pemangkat (Sambas). Mereka bisa bersatu dalam satu naungan. Satu rumah lagi. Asyikkan! Akur dan damai selalu. Semuanyakan, berkat adanya semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Mereka adalah teman-teman dokter yang begitu dekat. Tetangga dekat. Yang sering ngumpul bareng sama dokter, berkelakar, bercanda, dan berbagi cerita-cerita. Pokoknya dekatlah.
Di hari berikut dan seterusnya. Begitulah komunikasi yang terjadi antara pasien yang ingin berobat pada dokter dengan tetangga dokter tersebut. Menunggu kehadiran dokter yang juga belum memunculkan wajahnya atau batang hidungnya.
Mengapa mereka tetap ingin berobat dengan dokter Haris? Dokter yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya. Padahalkan, banyak juru rawat atau dokter yang lain, mungkin lebih profesional lagi dari dokter Haris! Mereka punya alasan tersendiri. Sebagian alasan itu adalah dokter Haris orangnya baik hati dan ramah pada siapa saja. Dalam menangani penyakit dokter Haris terkenal sabar, telaten, dan teliti serta tidak sembrono. Sehingga tidak menimbulkan malapraktik, yang banyak dihebohkan sekarang ini. Pelayanan dokter seperti itu membuat pasien merasa puas.
Dalam berobat dokter Haris juga tidak menentukan seberapa besar biaya pengobatan itu, pembayarannya seikhlas pasien memberi. Asalkan sudah mencukupi harga obat yang diberikan pada pasiennya. Selain itu, dokter Haris juga meyakinkan pada pasiennya bahwa yang menyembuhkan penyakit, bukanlah dirinya tetapi Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini agama si pasiennya. Dirinya hanyalah sebagai perantara saja. Hakikatnya bahwa kesembuhan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu pasien harus yakin bahwa Tuhanlah penyembuh segala penyakitnya. Sugesti yang diberikan dokter Haris dibenarkan juga oleh logika mereka dan makin menambahkan ketebalan dan kemantapan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sembah. Setiap tarikan napas. Karena itulah mereka menyenangi dokter Haris.
~oOo~

Sebelumnya susah juga dokter Haris menarik simpati pasiennya untuk berobat. Awalnya dia datang ke desa itu, pasiennya terkenal cuek dan antipati serta alergi dengan yang namanya dokter. Mereka lebih suka berobat ke dukun. Dengan cara pengobatan sesuai dengan keahlian dukun. Walaupun untuk perabah pengobatannya lebih besar. Mereka tetap memenuhinya. Begitulah adat turun temurun mereka. Masih mereka pegang teguh dan kuat-kuat. Sehingga ruang praktik dokter selalu sepi-sepi ayam. Karena tidak ada pasien yang mengunjunginya. Abis kalo sakit, masyarakat desa selalu datang ke dukun bukan ke dokter. Yang masyarakat yakini bisa menyembuhkan segala penyakit. Dokter tidak bisa.
Siang nan cerah ini. Mentari menyalangkan matanya besar-besar. Dipelototkannya. Menyapukan pandangan ke seluruh jagat bumi di bawahnya. Dokter Haris lagi duduk santai di ruang kerjanya. Seketika dia tersentak mendengar keributan riuh di luar.
“Gerangan apa yang telah terjadi?”
Dia melihat banyak orang mendatanginya.
“Wah, ada apa ini? Koq, mereka berdemonstrasi ke sini. Apakah ini pengusiran besar-besaran terhadap saya? Tanda protes atas kejengkelan mereka atau tanda kemauan mereka menolak atau tidak menerima kehadiran saya di sini?” Dokter Haris coba tenangkan jiwanya. Suara ribut di luar semakin gaduh dan ramai.
“Dokter, keluaaarrrrr! Cepat kesiniiiiiiiiiiiiiii!”
Gelombang derap berladam gaduh semakin mendekat. Bismillahirrahmanirrahiim. Dimantapkanya juga kakinya melangkah menyongsong dan menyambut masyarakat yang ramai mendatangi. Karena tidak biasanya hal itu terjadi seperti ini. Baru kali ini. Apa nggak dokter Haris merasa tercekat.
“Ada apa kalian ramai-ramai datang ke sini?” tanya dokter Haris dengan hati-hati. Takut salah ucap. Bisa fatal urusannya.
“Kami minta dokter menyembuhkan penyakitnya,” ujar salah satu juru bicara masyarakat. Lalu dia menunjuk orang tua yang terbujur lemas, tidak punya tenaga atau bertenaga. Digotong oleh empat orang pengiringnya dengan menggunakan tandu. Dia sering mengeluarkan darah dari mulutnya. Darah itu membasahi jenggotnya yang meranggas seperti pepohonan kekurangan nutrisi makanan dan air. Wajahnya sungguh pucat, sepucat mayat. Sepertinya cukup banyak dia mengeluarkan darah, sebelum diantar masyarakat ke ruang praktik dokter Haris.
“Maaf ya saudara-saudara. Saya tidak mau melangkahi adat disini. Biasanya kalo sakit dibawa ke rumah dukun bukan ke sini dulu. Untuk itu, lebih baik orang sakit ini saudara-saudara bawa saja ke rumah dukun, minta obati sama dukun dulu,” jawab dokter Haris dengan tenang.
“Mau dibawa ke dukun yang mana lagi dokter, sedangkan yang sakitnya adalah dukunnya sendiri,” kata juru bicara tersebut.
“Ah, dukunnya sendiri,” kaget dokter Haris seketika.
Pantesan, gumamnya dalam hati.
“Oh, yang sakit ini dukunnya?”
“Betul dokter. Kalo sudah tau. Cepatlah dokter! Sembuhkan dia, keburu dianya parah nanti lalu mati. Kalo dia mati sebelum mendapat pengobatan dari dokter. Tidak tanggung-tanggung dokter juga akan kami buat mampus,” ancam juru bicara masyarakat.
“Tenang saudara-saudara. Sabarkan emosi anda,” peringatkan dokter Haris mendinginkan emosi masyarakat yang memanas itu.
“Kami sudah tidak bisa tenang lagi dokter. Apalagi melihat penderitaannya yang sungguh menyedihkan ini. Apalagi melihat darahnya terus keluar. Rasanya kami ingin sekali membunuh orang yang telah mencelakainya.”
“Oh begitu. Sebenarnya dukun kalian ini terkena apa?”
“Katanya, dokter! Dia terkena racun angin. Dikirim seseorang yang tidak suka dengan dia melalui perantaraan angin. Racun keji yang bisa mematikan. Kalo tidak mendapatkan pengobatannya yang tepat. Dia bisa mati. Tepat kenanya tengah malam tadi, dokter.”
“Oh begitu,” lirih suara dokter Haris.
“Oh begitu. Oh begitu terus! Kapan dokter mau mengobatinya? Kalo memang dokter tidak sanggup mengobatinya, bilang dari tadi. Jangan membuat kami lama menunggu. Biar urusannya cepat selesai. Menamatkan riwayat dokter duluan. Karena percuma saja anda seorang dokter, yang kami anggap setaraf dukun yang sakit ini, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa mengobati penyakit. Lebih baik kami tidak memiliki anda. Habisi dia sekarang juga!” gelegar juru bicara masyarakat memberikan komandonya. Seseorang dari keramaian masyarakat yang berjejer itu maju ke depan, mendekati dokter Haris. Siap menghabiskan riwayat kehidupan dokter Haris.
Walaupun dokter Haris merasa tersinggung dengan kata-kata pedas juru bicara masyarakat, namun dia masih bisa bersabar. Segala persoalan harus dihadapi dengan ketenangan dan kesabaran. Biar pikiran kita dapat berpikir jernih dan jelas untuk mencarikan solusi persoalan tersebut. Walau di sisi lain harga dirinya seorang dokter merasa dijatuhkan, namun dokter Haris masih bisa tersenyum. Dokter Haris mengangkat tangannya tanda mencegah perbuatan itu.
“Tunggu dulu saudara-saudara. Baiklah saya akan berusaha mengobatinya. Moga saja dengan perkenan Allah, dukun kalian bisa disembuhkan lagi seperti semula. Bawalah dia ke ruang praktik saya, agar saya bisa memeriksanya. Sebenarnya dia sakit apa? Kalo sudah tau sakitnya. Insya Allah, barulah saya berusaha mengobatinya,” ujar dokter Haris masuk duluan. Diikuti oleh empat orang yang menggotong si sakit. Selebihnya menunggu di ruang depan.
Si orang tua itu rupanya terkena paru-paru, bukan terkena racun angin, seperti disangkakan masyarakat desa dan dukun itu sendiri. Paru-parunya mengalami kebocoran. Untuk itu perlu ditambal agar sehat seperti semula. Penambalannya bukan dengan obat-obatan batuk, pilek, jantung atau obat dengan cara tempong tawar atau jampi-jampian, namun penambalannya tentu dengan obat-obatan paru-paru dan perawatan intensif. Dengan penambalan yang baik dan perawatan intensif dari dokter Haris, orang tua itu dapat pulih seperti biasanya. Maka sejak itu masyarakat mulai mempercayai keampuhan pengobatan dokter. Mereka mulai mau berobat ke dokter. Mereka mulai menyadari juga bahwa dokter bisa menyembuhkan penyakit.
Sedikit pengertian ya, bahwa sebenarnya yang menyembuhkan penyakit bukanlah dokter tetapi Allah.
Pandangan masyarakat yang keliru itu juga akan diluruskan dokter Haris. Dokter Haris adalah seorang hamba Allah saja. Perantara saja. Tetapi yang memberikan kesembuhan penyakit adalah Allah. Itu baru benar kerangka berpikirnya.
Dokter Haris yang baik hati tidak mau menjatuhkan privacy pak dukun itu. Dia mengambil jalan terbaiknya, yaitu dengan jalan menjalin kerjasama pengobatan dengan pak dukun itu. Jika masalah sakitnya bisa ditangani dukun, maka dukunlah yang akan menangani atau mengobatinya. Jika sakitnya yang berkenaan dengan dokter, maka dokterlah yang akan menanganinya. Sehingga pengobatan yang mereka jalankan tetap berjalan sesuai relnya. Tidak ada yang saling sabotase atau mencuri lahan pekerjaan orang..
~oOo~

Suatu saat dokter Haris kaget. Rumahnya dikunjungi seekor ular yang kepayahan. Dokter Haris mencoba mengusirnya berulang kali. Namun ular itu tidak beranjak dari tempat semula. Dokter Haris cape sendirian. Sejenak di aturnya pernapasan biar lancar lagi mengalir, abis keletihan. Naluri kedokterannya mulai bekerja. Mungkin saja ular ini butuh pertolongan.
“Kamu butuh pertolonngan?” tanya dokter Haris. Ular itu menganggukkan kepalanya. Dokter Haris tersenyum cerah dan berlega hati. Dia lalu memberikan pertolongan pada ular itu hingga ular itu sembuh dari penyakitnya. Ular itu menjadi girang gembira. Dengan lidahnya yang basah dijilatinya tangan dokter Haris sebagai ungkapan pernyataan terima kasih atas pertolongan itu.
Dokter Haris, pasienmu sungguh banyak. Tidak hanya manusia. Sebangsa binatang pun juga pasienmu, seperti spesies ular, kalajengking, tikus, semut rangrang, kaki seribu, dan masih banyak lagi. Semuanya kamu layani dengan baik. Alhamdulillah, atas perkenan Allah semua penyakit diobatimu dapat sembuh semua. Dari itu tidak mengherankan kedatangannya dari bepergian ke luar kota ditunggu-tunggu oleh banyak pasiennya.
~oOo~

“Dokter mau kemana? Mengapa cepat tinggalkan kami? Kami masih membutuhkan sentuhan lembut tangan dokter,” seru mereka yang berusaha menahan kepergian dokter Haris. Yang setelah datang dari bepergian cukup lama. Hanya untuk sebuah urusan kepindahan saja. Apa tidak masyarakat menjadi terkejut? Apa tidak masyarakat merasa kehilangan sosok figur dirinya? Sudah melekat di hati masyarakat semua. Sudah terpatri di denyutan darah masyarakat semua. Dokter yang sungguh baik hatinya. Datang sebentar hanya untuk berpamitan.
“Maafkan saya, saudara-saudara saya semuanya. Semua ini sudah kehendak-Nya. Saya harus pindah tugas,” ujar dokter Haris melunakkan hati masyarakat yang merasa bersedih.
“Dokter tidak boleh pergi dari sini. Dokter masih kami butuhkan di sini. Coba lihat dokter, masih banyak paisen yang ingin perawatan dari dokter,” protes juru bicara masyarakat.
“Saya tau itu. Tapi saya pun tidak bisa menolak keputusan dari atasan saya. Kalo saya menolak, pembangkangan namanya. Bisa-bisa saya akan dinonaktifkan dari tugas ini. Saya tidak ingin kehilangan jabatan ini. Cobalah saudara-saudara mengerti saya juga,” kata dokter Haris.
“Kami semua sudah mengerti dokter. Kalo begitu kami akan demo saja. Mendemo atasan anda supaya membatalkan pemindahan anda ke tempat lain. Kami berusaha dalam pendemoan ini tidak dilakukan dengan tindakan keras, namun dilakukan secara damai serta kami akan berusaha sekuat mungkin tidak meniadakan jabatan dokter, gara-gara demo yang kami lakukan. Kami hanya memberikan pengertian atasan anda supaya mereka bisa lagi mempertimbang-kan dan memenuhi keluhan dan aduan kami. Sebab dokter masih sangat-sangat kami butuhkan,” kata juru masyarakat lagi. Masyarakat pun mendukung usulan itu. Yel-yel menahan kepindahan dokter Haris berdendang riuh rendah. Gendang dan musiknya masih terdengar hingar bingar.
“Saudara-saudara saya, saya hargai antusias kalian semua. Namun pernahkah kalian berpikir, kalian ke sana mau pakai apa? Sedangkan jarak dari desa ini dengan kantor atasan saya sungguh jauh. Bukan saya bermaksud melemahkan semangat kalian semua. Coba memberi pengertian saja. Selain itu terpikirkan oleh kalian semua, suara kalian mungkinkah didengar oleh mereka? Ingat! Mereka juga punya prinsip. Apa yang sudah mereka putuskan atau tetapkan tidak mungkin ditarik kembali. Kalo itu mereka lakukan. Sama saja mereka membuat malu diri sendiri dan mengingkari kekonsistenan mereka. Ini saya utarakan agar kalian semua bisa memahaminya. Sebaiknya saran saya, urungkan saja keinginan kalian semua untuk datang ke sana. Tidak ada gunanya. Sia-sia saja. Lebih baik kini, kalian semua doakan saya supaya keberangkatan saya sampai ke tempat tugas baru dengan selamat. Belajarlah untuk berlapang dada dan menerima sesuatu dengan ikhlas. Mungkin ini aluran kehendak-Nya. Oh ya, saya doakan pula semoga saja kalian semua dengan cepat dapatkan dokter pengganti saya yang baru. Selamat tinggal saudara-saudara saya semuanya,” ujar dokter Haris. Lalu dia memasuki mobil yang sudah siap menunggunya sedari tadi. Siap membawa dirinya ke tempat tugas yang baru. Masyarakat pun terjaga. Tersadarlah logikanya untuk membenarkan apa yang barusan dikatakan dokter Haris. Sebetulnya kalo mau jujur, masyarakat menahan dokter Haris pergi hanya karena dorongan rasa kasih sayang.
“Dokter, jangan pergi! Kami masih sangat membutuhkan dokter!”
Gema suara masyarakat bergelombang tinggi nian. Berpacu dia dengan kepulan asap dan debu beterbangan, yang disisakan oleh mobil yang membawa dokter Haris.

Balai Berkuak, akhir september 2004

~~~~~&&&&&~~~~~

CATATAN :
 Perabah : peralatan atau perlengkapan digunakan dalam pengobatan
 Tempong tawar : tepung beras yang bercampur dengan air hingga kelihatan putih yang dipercikan pada orang dengan menggunakan daun andong
 Jampi-jampian : sejenis mantra yang dibacakan dukun untuk mengobati pasiennya
 Cerpen ini dibuat untuk mengingat kenangan manis bersama dr. Herman Basuki. WE MISS YOU AND DON’T FORGET OUR.(Your Friend : Triyono, Isjuandi, Sarifudin, Taslim/istri, Arif Rahman/istri, Cinong dan Dhani mungil, Itam Hamid/ Istri, dan yang lainnya).
 (Dipublikasikan di Pontianak Post, 13 Maret 2005).

Kidung Kampung Berdebu
Oleh : M.Saifun salakim

Kidung putih abu-abu sungguh merdu mengalun. Menegur sapa embun masih enak meringkuk dalam selimut tebalnya yang hangat.
“Hust, mengusik saja. Menganggu keenakan dan kesenangan saja.”
Menegur ramah sekawanan binatang langit yang berburu makanannya untuk kehidupan. Hidung pun ditutup pakai sapu tangan atau handuk kecil ketika truk angkutan penumpang atau truk angkutan kayu segi/log melintasinya, agar debu beracun yang disebarkannya tidak terhirup.
Jalanan masih mengepulkan uap dan debu beracun, seperti tanakan nasi yang mendidih. Tapi langkah dan kidung merdu itu tetap bergema. Menuju tempat penimbaan dan penggalian ilmu. Sungguh antusias. Sungguh semangat. Optimis !!!
Sekolah. Tempat cikal bakal mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dan berdaya guna tinggi. Tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dari guru, untuk diaplikasikan dalam kehidupan ini demi merangkul bidadari idaman dalam pelukan sanubari dan hati. Selalu melekat ! Tidak mungkin tandas lagi. Kebahagiaan hakiki. Kedamaian sejati. Kesejahteraan yang abadi. Pasti !!!!!!!
Jarak yang begitu jauh ditempuh untuk mendapatkan ilmu tersebut, bukanlah suatu penghalang. Walaupun setiap kali melintas, harus menantang kepulan asap dan debu beracun, bukanlah suatu penghambat. Walaupun ada yang sampai dua kilometer perjalanannya. Bahkan ada sampai tiga kilometer atau lima kilometer perjalanannya. Bukanlah hal itu dapat menyurutkan langkah mereka. Mereka tetap teguh berkidung ria. Tegar mengalun penuh dengan wajah-wajah segar menyongsong semuanya. Merengkuh rembulan di terik mentari panas bersatu. Menyatu. Sungguh pencari ilmu pengetahuan yang tangguh dan gigih. Salut deh untuk kalian semua !!!
~oOo~

Surat keputusan dibuka. Tangan bergetar. Lutut melemas. Saya ditempatkan di kampung berdebu. Sanggupkah diri saya? Yang saya dengar kabarnya bahwa kampung tersebut penuh asap dan debu beracun. Bisa menghadirkan penyakit. Saya, orangnya rentan penyakit lagi. bisa-bisa saya terkubur disana. Timbullah rasa sesal menghantui. Rasa jengkel memanas, meradang, lalu merejang.
“Sialan. Kurang ajar.”
Segala umpatan terlontarkan. Caci maki juga begitu. Bersuara dalam hati. Mengutuk orang-orang yang telah menempatkan saya ke tempat itu. Bahkan menyumpahinya agar cepat mampus sekalian. Kebimbangan pun menggelora sanubari, menerimakah atau tidak?
Sejenak saya tenangkan jiwa. Di keramaian teman-teman saya yang bersuka ria. Ditempatkan di tempat yang dekat. Bisa pulang kampung setiap saat. Tidak terlalu jauh, jika libur menyapa. Bisa berkumpul bersama-sama dengan keluarga. Mengungkapkan kebahagiaan bersama dengan tawa dan canda
“Sudahlah Ibnu ! Ambil sajalah. Yakinlah Allah sudah mengatur semuanya,” kata suara lembut memberikan strong power pada saya untuk mengambil keputusan, karena kebimbangan. Menyatakan ya atau tidak. Mengingatkan saya pada kemahabesaran-Nya. Tadi sempat saya lupakan.
Yaa Allah. Maafkanlah kekhilafan saya barusan, melupakan-Mu yang sungguh besar kekuasaan-Nya.
Mungkin dia benar. Ini sebuah perjalanan yang sudah diatur-Nya untuk saya, agar dari perjalanan ini saya dapat mengambil hikmahnya.
Yaa Allah, semuanya adalah kehendak-Mu.
Barulah saya sadari hal itu. Setelah rasa keimanan saya disadarkannya. Mungkin ini adalah iktibar buat saya.
Saya cari dan temukan suara halus lembut yang telah menggugah saya. Memantapkan keputusan saya untuk memilih. Rupanya dia berada di depan saya. Wajahnya kelihatan segar dan tersenyum. Di genggaman tangannya tertenteng map surat keputusan. Rupanya dia yang pernah duduk satu bangku di depan saya. Waktu sama-sama menunggu pembagian surat keputusan penempatan mengabdi. Dari awal acara sampai acara inti, yaitu pembagian surat keputusan ditempatkan untuk mengabdi dinanti-nantikan semua orang, dia tetap fresh. Yang namanya mendung tidak menghiasi rona langit wajahnya yang segar. Dia sepertinya sudah siap ditempatkan dimana saja. Sudah siap segala-galanya. Saat menerima surat keputusan penempatan itu dan membukanya, dia tidak gemetar bahkan dia tetap tenang seperti biasanya. Wah, benar-benar sudah siap, tabah, dan tenang dirinya.
“Ah, rupanya kamu, Qori ! Makasih banyak atas nasihatnya ya,” kata saya. Lalu duduk di dekatnya.
“Nggak perlu terima kasih segala, Ibnu. Sudah sepantasnyalah sesama muslim kita saling mengingatkan dan menguatkan antara satu dengan yang lain. Biar tetap terbina rasa ukhuwah islamiyah. Biar tetap terjaga rapi tali persaudaraan kita sesama muslim. Bukankah begitu Ibnu?” sahutmu.
“Betul Qori. Betul sekali katamu,” kata saya mengiyakan. Karena pendapatnya benar sih.
“Qori, kamu kena tugaskan dimana?” tanya saya ingin tau.
“Tugas di Bentang !” jawabmu tandas.
Kaget saya mendengar nama daerah itu. Tidak jauh berbeda dengan daerah yang saya datangi. Mungkin daerahnya lebih parah lagi dari saya Tapi dianya tetap tenang. Sungguh penghayatan kesabaran yang luar biasa.
“Qori, bukankah Bentang. Kalo ditilik dari segi namanya adalah nama rumah khas suku Dayak. Dari nama itu, menandakan mayoritas warga yang menghuni daerah itu adalah orang Dayak.”
“Betul sekali Ibnu. Begitulah kabar burung yang saya dengar.”
“Kalo kamu sudah tau kabarnya begitu. Mengapa kamu tidak membatalkannya? Apalagi kamu seorang wanita. Bisakah kamu hidup disana berdampingan dengan mereka? Kamu khan muslimah sedangkan mereka tidak?”
“Insya Allah, Ibnu. Selagi saya masih yakin bahwa Allah selalu mengikuti hamba-Nya. Saya yakin. Ainul yaqin. Saya akan bisa.”
“Mudah-mudahan Qori. Saya semakin salut dengan keyakinamu yang mantap kepada Allah. Tapi, apakah tidak terpikir oleh akalmu tentang kemungkinan yang akan terjadi bila kamu tugas disana? Seandainya mereka menolak kehadiranmu? Atau sebaliknya mereka menganiayamu?” balik saya memberikan pertimbangan dan penjelasan padanya.
“Saya tidak berpikir sampai kesitu Ibnu. Karena hal itu akan melemahkan kemantapan saya. Saya sudah bulatkan dan ikhlaskan untuk tetap menerima keputusan-Nya lewat perantaraan ini. Maaf ya Ibnu sedikit saya meralat katamu yang pakai “Seandainya”. Yang benarnya kita jangan selalu suka mengandai-andai. Tapi langsung saja melakukannya dengan kenyataan yang ada. Mantap khan!”
“Betul juga katamu, Qori.”
“Tapi Qori. Kamu tidak takut dengan hukum adat mereka? Kadang kala mengekang kebebasan kita yang hidup di bumi Indonesia, yang berlandaskan hukum negara. Karena Qori, mereka setiap menyelesaikan segala masalah selalu menggunakan hukum adat bukan hukum negara. Padahal mereka hidup di bumi Indonesia. Seharusnya mereka menggunakan hukum negara. Lagian Qori, mereka juga sangat fanatik dengan hukum itu. Hukum adat mereka.”
“Tidak takut Ibnu. Untuk apa musti takut dengan mereka. Karena mereka juga mahluk Allah. Mengapa saya musti takut dengan mahluk Allah? Sebenarnya Ibnu, yang musti saya takutkan hanya satu, yaitu Allah. Dialah Sang Maha Pencipta. Karena Dialah yang mengatur kehidupan saya.”
“Okelah Qori, kalo itu memang katamu. Kalo begitu memang keyakinanmu. Sudah mantap, tidak lonjong dan gepeng lagi. Saya hanya dapat mengiringi kamu dengan doa. Moga saja kamu sukses selalu. Selamat jalan!”
“Sama juga Ibnu. Saya hanya dapat memberikan doa padamu. Moga juga kamu sukses dalam pengabdianmu dan tugasmu serta selamat jalan juga,” sahutnya membalas ucapan saya. Terakhir kali untuk berpisah.
Di tempat baru. Terasa agungnya. Penyambutan saya oleh penduduk setempat. Terasa hangat dan akrab. Bersahabat. Serasa saya teman jauh yang baru bersua. Mementahkan imajinasi dan khayalan saya yang bukan-bukan tentang kampung tersebut. Selain itu, syahdunya kidung putih abu-abu bergema. Sungguh betul-betul ingin memperoleh ilmu dari saya, menantang hasrat. Untuk memberikan yang terbaik buat mereka sesuai kemampuan yang ada. Demi cita-cita mereka agar berhasil dengan baik. Merangkum bulan dalam pelukan dan menjadikannya sebuket keranjang yang menaburkan keharuman sepanjang masa.
Tak terasa semakin senang saya hayati kidung-kidung mereka. Kidung sufi. Kidung Haddad Alwi. Kidung irama gambus atau kidung perjalanan musafir padang pasir. Kidung bernuansa seni tinggi. Rasukkan perasaan bahagia terdalam. Walau untuk itu harus menentang asap dan debu beracun setiap hari. Tidak perduli !. Bersama-sama dengan mereka yang sudah terbiasa. Walau harus menutup hidung dan mulut dengan sapu tangan dan handuk kecil, menghindari penyakit yang bertebaran. Tidak perduli !. Walau harus musim panas, kepanasan dan kelelahan cucuran keringat yang banyak menggenang di sungai baju dan tubuh. Tidak perduli !. Walau harus musim hujan, kehujanan dan kebecekan menghiasi pakaian yang dipakai. Tidak perduli !. Asalkan kidung mereka bisa meresap dalam hati dan sanubari serta bisa mendarah daging. Asalkan mereka tetap berkidung ria dengan semangat senang dan gembiranya penuh pesona.
Lumayan. Dengan teliti dan telaten. Betul-betul saya hapal dengan kidung mereka. Waktu tidur, ketika bangun pagi, ketika kerja, ketika shalat setiap waktu sehari semalam (Shalat lima waktu), dan dalam tarikan napas ini. Setiap kali menghirup udara bersih untuk kelangsungan kehidupan di jagat raya ini. Kadang-kadang juga saya kidungkan sendiri. Kidung yang sungguh berjiwa seni tinggi. Dengan not-notnya teratur rapi. Rimanya tersusun manis. Iramanya tertata sedap. Mendayukan rasa rindu berbuku-buku pada siapapun. Walaupun kidung itu dikidungkan di kepulan asap dan debu beracun meresak. Tetapi tetap bergema lantang membelah angkasa. Menjagakan penghuninya untuk ikut meresapi dan menghayatinya juga.

MAJU… MAJU… MAJU… TERUS MAJU…
PANTANG MUNDUR
MENGAMBIL ILMU
DI TEMPAT SUCIMU

MAJU… MAJU… MAJU… TERUS MAJU…
DEMI ILMU…
KAMI TENTANG ASAP DEBU DAN HUJAN BATU
WALAU KAMI PUN JADI BANGKU-BANGKU
UNTUK KAMU
ILMU… ILMU… ILMU…

ILMU… ILMU… ILMU…
KAMULAH ROH KAMI DALAM SATU
UNTUK BERMUTU

Kidung ini bila saya kidungkan sendirian. Dengan penuh penghayatan rohani dalam nurani. Merindukan saya pada sosok Qori. Sekian waktu berlalu tidak bersua. Meninggalkan sayup-sayup berdesir halus lembut.

Balai Berkuak, Medio September 2004
~~~~&&&&&~~~~~
(Dipublikasikan di Equator, 2006)

Keluarga Peramal
Oleh : M.Saifun salakim

NALO… NALO… NALO…
Syair keemasan yang sudah hilang dari peredarannya. Sudah terkubur rapat-rapat. Sudah terkunci begitu kejangnya dan membeku di gembok sejuta kenangan tandas. Begitu juga teman kentalnya si SDSB. Tak jauh berbeda nasibnya. Sama-sama menjadi makanan rayap di gudang. Menjadi santapan tikus di kardus-kardus bekas tumpukan makanan indomie yang tersisa. Menjadi gelojohan lezat api yang membara di tempat pembuangan akhir. Hanya menyisakan debu yang menyatu dengan tanah. Sungguh malang nasibmu kawan!
Wah, hilangnya engkau, bukan berarti hilang segala-galanya. Malahan kini muncul kembaran engkau dengan tampilan baru. Lebih necis dan lebih keren. Berpenampilan seronok dan memicingkan mata serta melototkan keinginan untuk menggelutimu lebih dalam lagi.
Kembaranmu itu adalah kupon putih atau togel. Kadang-kadang diperdagangkan orang-orang secara sembunyi, takut diketahui aparat bisa kapiran urusannya. Kalau diketahui dan ditangkap, bisa-bisa menghuni rumah prodeo. Rumah pesakitan. Layaknya permainan perdagangan tersebut seperti tikus dan kucing. Kalau kucing lengah, maka tikus pun beraksi dengan sigapnya. Tapi kalau kucing sigap, tikus pun menyembunyikan diri tidak menampakkan batang hidungnya. Takut diberangus kucing habis-habisan. Matilah dirinya.
Tapi ada juga sebagian orang-orang yang berani menjual barang tersebut secara terang-terangan. Tidak takut ditangkap aparat. Karena dia sudah mempunyai beking yang kuat. Kalaupun ditangkap, tidak punya pengaruh apa-apa . Karena dia akan dilepaskan atau dibebaskan dari perangkap tersebut. Dilepaskan sahabat atau kaum kerabatnya yang ada bekerja di penangkapan tersebut.
Harap dimaklumi saja. Sudah tidak perlu dipelototi lagi. Biarkanlah nanti ada yang memantatinya. Membuat dia malu sendiri. Lalu mendekam erat di karatan timbangan berat peti kemas melarat, yaitu ajal menjerat lehernya kemudian mengkerat napasnya tinggalkan penyesalan.
Togel ini pun banyak disenangi dan digemari masyarakat, yang ingin cepat kaya dengan jalan pintas. Potong kompas. Hingga membuat tukang sinji laku keras. Tukang ramalan juga tak ketinggalan pula. Jadi incaran para pemasang. Mereka minta diramalkan agar mendapatkan nomor yang tepat. Sungguh pemikiran yang tidak sehat lagi!
~oOo~


“Dor, tak disangka si Bujin kaya mendadak,” kata Kora bersemangat.
“Eh, beruntung sekali nasibnya. Tapi Kor, dia kaya oleh apaan? Padahal dia kan orang termiskin sedunia,”sahut Pendor.
“Dia kena togel Dor. Lima ratus juta rupiah. Bayangkan?”
“Kena togel. Pasti dia dapat nomor yang jitu hingga bisa memperoleh uang sebesar itu.”
“Betul Dor. Begitu yang saya dengar. Konon nomor jitu yang Bujin dapat dari peramal Bango.”
“Hebat juga peramal Bango. Bisa meramal setepat itu.”
“Ya, Dor. Saya pun juga tertarik untuk mendatangi peramal Bango. Biar cepat kaya juga seperti Bujin. Siapa sih yang tidak mau kaya?”
“Betul Kor. Kalau begitu saya juga mau ikut. Sama-sama punya keinginan seperti kamu, mau ingin kaya juga. Habis saya sudah letih dan penat hidup melarat seperti sekarang ini.”
“Betul Dor. Kalau begitu, mari kita cepat-cepat kesana. Sebelum keburu orang lain meramaikannya,”ajak Kora.
“Marilah,”sahut Pendor mengikuti langkah kaki Kora.
Tidak hanya Kora dan Pendor saja yang ke rumah Bango. Penduduk lain sudah kesana saat mereka mendengar Bujin kaya mendadak karena kena togel, yang nomor jitunya diberi oleh peramal Bango, hingga tembus dengan tepat.
Siapa sih yang tidak ingin kaya? Semua orang ingin kaya. Malahan ada yang sudah cukup kebutuhannya masih ingin kaya. Itulah manusia selalu tidak mengenal kata puas. Pengejaran yang mereka lakukan ini juga mengisyarakatkan bahwa mereka lebih mementingkan mengejar harta duniawi daripada mengejar dan mendapatkan tujuan pokok mereka, yaitu beribadah kepada Allah. Berarti ini menunjukkan adanya pergeseran nilai pikiran dan akhlak dari mereka. Masya allah.
~oOo~

Rumah Bango terletak di Kampung Bunga. Dengan bentuk rumahnya sungguh sederhana, beratap daun nipah, berdindingkan daun nipah juga, dan berlantaikan kulit kayu medang yang keras. Rumah sederhana ini dihuni oleh tiga orang manusia. Bango, istrinya si Remah, dan anak sulungnya si Badung yang masih duduk di bangku enam Sekolah Dasar.
Bango dalam dunia keperamalan terkenal menggunakan kartu bridge yang berisi As sampai dengan King. Kartu remi orang menamainya. Keahlian si Bango hanya dikhususkannya untuk meramal nomor togel, nomor keberuntungan, dan hitungan mendapatkan jodoh. Yang semua diramalkannya jarang meleset. Kalaupun meleset, itu tidak terlalu jauh. Kalau dihitung hanya sepuluh persen dari seratus persen hal sebenarnya.
Remah, istrinya juga ahli meramal. Dia ahli menafsirkan guratan-guratan yang ada di telapak tangan manusia yang disebut Rajah Tangan. Yang dapat dijelaskannya dari rajah tangan ini mengenai lamanya percintaan yang dilakukan, jalan memperoleh rezeki, dan pertemuan dengan orang yang diincarnya.
Pernah dia meramalkan Desta. Katanya, Desta hanya melakukan percintaan sekali saja, pendek bukan? Desta akan mendapatkan rezeki yang melimpah ruah. Sebab Desta akan mendapatkan pendamping hidup seorang pengusaha muda yang sukses. Tentu saja kehidupan mewahnya dari calon pendamping hidupnya. Ramalannya pun jadi cespleng. Desta mendapatkan apa yang diinginkannya sesuai apa yang diramalkannya. Senangnya Desta. Sebagai ungkapan terima kasihnya, Desta memberikan imbalan yang cukup berlebihan untuk Remah. Itulah jerih payahnya. Karena kepiawaiannya dan sudah terbukti manjur maka Remah diserbu banyak gadis-gadis muda untuk minta diramalkan. Biar mendapatkan jodoh secepatnya dan kaya raya. Remah pun dikenal dengan sebutan Ratu Rajah Gemilang.
Mereka tidak tahu bahwa jodoh itu berada di tangan Tuhan. Yang terjadi pada Desta hanya kebetulan saja, bukan kebenaran.
Badung, anaknya yang baru menginjak kelas 6 SD juga banyak didatangi orang-orang. Karena dia juga ahli dalam meramal. Meramalkan tentang perjalanan cinta yang dilakukan seseorang, ketertarikan seseorang pada orang lain, dan kiat untuk melanggengkan tali ikatan cinta. Apa yang diramalkannya tembus benar. Tepat mengena pada sasarannya. Tidak pernah meleset. Hingga penduduk meyakini keluarga tersebut adalah keluarga orang kebenaran. Hingga tidak mengherankan setiap hari rumah Bango selalu padat, sesak, dan pengap oleh manusia yang minta diramalkan. Layaknya pasar saja, seperti pasar ayam, pasar baju, pasar penjualan emas dan intan belian serta lain sebagainya. Selalu riuh rendah dengan kumpulan manusia. Tidak berhenti sedetikpun, sunyi oleh kerumunan manusia. Yang bermacam-macamlah mengadukan perihal mereka untuk diramalkan sesuai dengan profesi dan bidang kerja mereka masing-masing yang minta tolong atau petunjuk bagaimana caranya melangkah ke depan dalam kehidupan selanjutnya.
Pergeseran akidah telah mengembang dan menjamur di lingkaran kehidupan mereka.
Di sana-sini yang terdengar hanya obrolan mengenai keluarga Bango. Tidak hanya di pasar, biskota, rumah makan bahkan di segala tempat aktivitas masyarakat. Jadilah Bango dan keluarganya mahaguru yang tenar. Dipuja-puja banyak orang dalam setiap waktu dan tarikan jengkalan napas.
Keluarga Bango jadi makmur. Sebab mereka sangat besar mendapatkan keuntungan dari uang ramalan. Keuntungan yang diperolehnya tergantung besar kecil masalah yang diramalkan. Kalo kecil upahnya kecil dan kalo besar upahnya juga besar. Lalu memantapkan keyakinan mereka untuk menggeluti bidang itu sampai tua. Dengan kerja sedikit dapat uang seamplop. Wah, sungguh luar biasa.
Angin keberuntungan atau kemakmuran dari orang-orang yang diramalkan keluarga Bango, tidak hanya berkisar dalam negeri tetapi juga luar negeri. Jadi kalo ditilik bahwa pasiennya tidak hanya domestic but foreign country. Sungguh hebat. Jadilah keluarganya, keluarga peramal ulung sedunia.
Imbas pengaruh yang disebarkannya juga menyusup di relung jiwa jamaah Baitussalam. Pada mereka yang telalu rapuh bertahan Terlalu memandang senang pada kenikmatan semu sebagai tujuan. Mereka ingin juga berhasil seperti orang-orang yang telah berhasil mendapatkan harta buanyak. Walau mereka harus melalaikan kewajiban wajibnya. Membuat ustad Ghafur harap-harap cemas. Menyesalkan pula pada jamaahnya yang telah terjerumus oleh intrik-intrik yang direkayasa setan. Halusinasi semu. Sebab pertimbangan batin sudah kabur dilibas pertimbangan nafsi.
Ceramah penanaman akidah sedang berlangsung. Disampaikan ustad Ghafur di depan jamaahnya. Beliau tidak lupa menyinggung mengenai ramalan di mata Islam. Ramalan tidak boleh dipercayai dan harus dihindari jauh-jauh. Karena mempercayai ramalan sama saja kita melakukan tindakan keliru, mempercayai hal selain Allah. Karena kita sudah menyakini ketentuan yang datangnya dari luar Allah. Kamu tahu khan, perbuatan itu sama juga menyekutukan Allah. Tergolong perbuatan sirkubillah.
Honsu datang agak telat. Dia menyusup di bagian belakang. Sambil mendengarkan ceramah, dia juga membisikkan sesuatu pada teman yang di dekatnya, Rakal. Rakal memberikan lagi informasi itu pada temannya. Terjadilah komunikasi berantai. Sedikit demi sedikit mereka yang mendapatkan informasi itu mengundurkan dirinya. Berkuranglah jumlah jamaah itu. Melihat gelagat itu, ustad Ghafur menyudahi ceramahnya. Beliau juga ingin mengetahui informasi penting apa yang sungguh besar menarik perhatian jamaahnya untuk meninggalkan majelis taklim.
Masya allah, rupanya Bango akan mengumumkan bahwa adanya hari keberuntungan. Siapa saja yang mendengarkan apa yang disampaikannya, nantinya akan memperoleh keberuntungan. Kapan hari itu akan terjadi? Itulah yang akan diketahui masyarakat, yang sudah yakin dengan ramalan Bango. Hal ini mereka yakini sebagai kebenaran yang betul terjadi. Mereka pun tahu bahwa hari keberuntungan itu akan turun hari jumat depan tepat pukul satu, saat matahari berdiri tepat menghunjam ubun-ubun kepala tanggal tujuh belas. Turunnya diperkirakan di daerah sekitar rumah Bango.
Di hari keberuntungan itu adalah hari kemakbulan. Segala permintaan yang disampaikan akan dikabulkan dan jadi kenyataan, tapi masing-masing orang hanya bisa menyampaikan satu permintaan saja. Masyarakat pun mulai merancang dan mempersiapkan permintaan apa yang akan mereka sampaikan pada hari keberuntungan itu.
Ustad Ghafur bertandang ke rumah Bango. Dia diterima tuan rumah dengan baik dan sedikit ada rasa aneh. Abis, masach seorang ustad mau datang ke rumah peramal, yang sungguh harus dijauhinya. Tiada biasanya juga ustad Ghafur datang ke rumahnya
Pasti dia ada keperluan, kaji Bango dalam hatinya.
Memang ustad Ghafur ada keperluan. Keperluannya adalah minta diramalkan.
“Apa ini tidak salah, Ustad?”tanya Bango dalam ketidakmengertiannya. Masak seorang ustad menyukai ramalan.
“Tidak salah Bango. Memang saya ingin minta diramalkan. Saya ingin mendengar ramalanmu yang jitu itu. Saya minta diramalkan bukan untuk diri saya, namun untuk orang lain. Boleh kan?”kata ustad Ghafur santai dan tenang.
“Oh begitu, ustad. Tapi ustad..?”ujar Bango tersendat-sendat. Saat dia melihat arlojinya menunjukkan pukul satu kurang dua puluh menit. Waktunya turun hari keberuntungan. Dia bersama masyarakat akan menggapainya.
Di halaman rumahnya. Masyarakat sudah berkumpul ramai. Sesak memadati tanah pekarangannya. Menantikan hari keberuntungan itu dengan harap-harap cemas. Kalo ditaksir jumlah masyarakat ratusan juta milyar, abis tidak bisa menghitungnya. Main terkaan saja. Dalam batok masyarakat sudah menyiapkan satu permintaan yang akan mereka sampaikan.
“Saya tahu keberatanmu, Bango. Kamu kan pukul satu akan bersama-sama masyarakat menyambut datangnya hari keberuntungan.”
“Betul ustad.”
“Tapi Bango, tidak baik juga kan kamu menolak permintaan orang yang betul-betul membutuhkan pertolonganmu. Kalau kamu mau, ramalan untuk orang ini, tidak terlalu lama. Insya allah, paling lama hanya menghabiskan waktu sepuluh menit. Ramalan itu akan selesai dengan izin Allah. Jadi anda masih punya waktu sepuluh menit untuk mempersiapkan perlengkapanmu menemani masyarakat yang sudah menantikan kehadiran hari keberuntungan yang kamu ramalkan itu,” lanjut ucap ustad Ghafur.
“Baiklah ustad. Kalau begitu maunya. Saya akan coba. Karena saya percaya kali sama pembicaraan ustad. Tidak mungkinlah ustad akan berbohong. Siapa sih orang yang ingin minta diramalkan itu, ustad?”kata Bango sudah siap-siap untuk meramal. Sebentar ustad Ghafur tersenyum.
“Bango, masih ada yang belum saya sampaikan. Bahwa dia minta diramalkan anda sekeluarga.”
“Begitu komplekskah masalahnya?”
“Bisa jadi begitu, Bango!”
“Tapi, ustad. Selama ini belum pernah kami melakukan ramalan bersama. Melakukan kolaborasi serentak begini. Sekeluarga lagi. Paling-paling kami meramal sesuai keahlian kami masing-masing.”
“Coba saja Bango. Ini kan penemuan baru.”
“Betul juga, ustad,” kata Bango menurut. Dia memanggil anak dan istrinya. Berkumpul jadi satu. Siap menunjukkan kebolehan mereka meramal di depan ustad Ghafur.
“Kami sudah siap, ustad. Siapakah orang yang minta diramalkan itu, ustad?”tanya Bango mewakili istri dan anaknya.
“Kalian sendiri!”
“Apa ustad? Ustad jangan bergurau. Mana mungkin kami meramalkan diri sendiri. Itu belum pernah terjadi.”
“Itulah kalian. Tahunya hanya dapat meramalkan orang lain. Masak meramalkan diri sendiri saja belum pernah dilakukan. Kalian keterlaluan. Hanya mau untungnya saja.”
“Cukup ustad.”
“Cukup apanya?”
“Ustad sudah melampaui batas. Sudah merendahkan martabat kami.”
“Tidak Bango. Saya tidak pernah merendahkan martabat kalian. Saya utarakan hal ini, karena itu adalah kewajaran dan realita. Kalau memang kalian peramal jitu, mengapa kalian tidak bisa meramalkan diri sendiri? Sedangkan meramalkan orang lain saja kalian bisa melakukannya. Itu keterlaluan. Seharusnya sebelum meramal orang lain, kita harus bisa meramal diri kita sendiri dulu. Barulah dinamakan wajar,”jelas ustad Ghafur.
“Baiklah ustad. Akan kami lakukan bahwa kami juga bisa meramal diri kami sendiri. Akan kami ramalkan keberuntungan kami,”ketus Bango mendengus. Dia pun membuka lembaran kartu bridge. Mulailah dia meramalkan dirinya sendiri. Diambilnya selembar daun. Daun sepuluh hitam yang didapatnya.
Hah, tidak mungkin, gumamnya dalam hati.
Diulanginya lagi ramalannya sampai tujuh kali beturut-turut. Namun tetap saja daun bridge yang keluar adalah sepuluh hitam. Lemaslah sekujur tubuh Bango. Dia tidak bisa berkata-kata.
“Ada apa Pak?”tanya istrinya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya. Hanya mata suaminya makin kuyu dan redup. Istrinya penasaran. Dia pun mengambil guratan tangan suaminya bagian kanan. Dia pun mulai juga meramalkan apa yang telah terjadi pada suaminya dengan keahlian rajah tangannya.
Hah, hasilnya X. Tidak mungkin. Diulanginya juga sampai tujuh kali, hasilnya tetap X. Istrinya pun mulai mengguguk. Pak, tidak mungkin jadi begini, rangkul istrinya pada suaminya.
Anaknya juga penasaran. Dia mengeluarkan keahliannya. Mengapa orang tuanya menangis setelah melakukan ramalan? Dia mulai menghitung. Dapatlah dia hitungan jumlahnya. Menunjukkan angka sepuluh terbalik yaitu angka satu.
“Hah, ayah dan ibu. Tamatlah riwayat kita,”gerung Badung jatuh di pangkuan ayah dan ibunya, yang sudah duluan lesu darah. Mereka tidak bisa mengatakan hasil ramalan tentang mereka pada ustad Ghafur karena hasilnya terlalu jelek.
Daun sepuluh hitam bermakna angka keberuntungan mereka sudah tertutup atau habis. Tanda X bermakna perjalanan hidup yang mereka jalani sudah selesai. Kematian mereka sudah dekat di depan mata. Sedang hitungan dari nilai-nilai yang ada memberikan makna bahwa mereka tinggal menunggu hari keapesan itu pada pukul satu tepat.
“Bango, ini uang ramalan atas jerih payah yang telah anda lakukan sekeluarga. Terima kasih ya atas ramalannya!”kata ustad Ghafur meletakkan tujuh ikat uang yang bernilai satu juta rupiah. Beliau pun pamit diri.
Bango dan keluarganya masih terguguk dan menangis. Seketika mereka memburu ustad Ghafur yang barusan keluar rumahnya. Tidak diperdulikannya kerumunan masyarakat ramai yang menantikan dirinya untuk memimpin ritual memperoleh hari keberuntungan.
Masyarakat pun jadi terkejut dan bingung, terpancarkan deras ke sungai Pawan menyaksikan Bango dan keluarganya telah rapuh dan renta hari ini.

Balai Berkuak, Akhir Oktober 2004
~~~~~&&&&&~~~~~
(Dipublikasikan di Equator, 2006)

Sepotong Cerita Tiga Sastrawan
Oleh : M.Saifun salakim

Tak pernah terbayangkan oleh komputer pikiran saya. Tak pernah terpikirkan oleh logika saya. Tak pernah terencana oleh hati saya.
Hari kamis ini, saya disirami kembang-kembang wangi pada sekujur tubuh saya oleh Sang Pencipta. Seperti siraman hujan terhadap bumi yang mengalami musim kemarau panjang atau tuarang jauh. Itu yang saya namakan hidayah illahi.
Hari kamis ini saya dan teman saya bertemu dengan tiga sastrawan besar kota Pontianak, yang namanya telah mengharumkan nama kota Pontianak di mata kota-kota lainnya, Jakarta, bahkan Internasional. Semua orang terlalu ingin untuk mengenal beliau, namun orang-orang belum dapat bertemu dengan beliau. Mereka hanya tahu nama saja, sedangkan bentuk dan wajah beliau, orang-orang tersebut tak tahu sama sekali. Sungguh ironis bukan? Sastrawan besar kota sendiri tak tahu, malahan orang-orang tersebut lebih mengenal sastrawan besar yang bukan dari lingkungannya sendiri. Memang tak ada yang melarang kita mengetahui sastrawan besar dari kota lain, tetapi kita juga harus mengetahui sastrawan besar yang ada di kota sendiri supaya tak dikatakan “tahu lubuk dari pada tanjung”.
Dalam satu hari ini, saya dan teman saya bertemu ketiga sastrawan besar Kota Pontianak. Yang rumah mereka berjauhan antara satu dengan yang lain. Tetapi selalu dekat di hati.
Kami bertemu dengan Odhy’s. Ia adalah seorang sastrawan kawakan yang hasil karyanya sudah tersebar di media massa lokal maupun nasional. Odhy’s juga dikenal sebagai seorang kritikus, dan esais. Beliau sering memakai peci seperti kuali terbalik. Menyungkupi rambutnya yang ikal gimbal semerbak. Beliau juga senang memelihara jenggot. Sungguh artistik jika dilihat dari kaca mata seni.
Beliau menyambut kami dengan ramah-tamah, kami di persilakan duduk di beranda rumah. Rumah sederhana dengan ornamen sederhana. Pot-pot bunga berjejer indah di beranda rumah. Teratur. Di pekarangan halaman. Dihiasi beraneka pohon-pohon turap yang berdaun lebar-lebar, bunga mekar, dan pohon melinjo. Kiri kanan rumah tanaman singkong dan tebu tumbuh subur. Sungguh asri berkaca sealakadarnya. Dengan kesederhanaan dan keramahtamahan tuan rumah melambungkan pikiran ke alam nirwana. Sehingga saya dapat menyatakan sebuah kata yang cukup menarik, untuk dijadikan pedoman dalam hidup ini :
“Kesederhanaan merupakan obat untuk memberantas kesombongan dan ketamakan akan harta duniawi yang merupakan harta titipan Allah semata”.
Tuan rumah menyuguhkan segelas teh panas. Kami hirup dengan rasa segar. Cukup untuk menghilangkan kehausan yang melanda tenggorokan. Odhy’s banyak bercerita tentang seluk beluk dunia sastra. Membuat kami terlena dibuatnya. Saking berkesannya ia bercerita tak terasa waktu terus saja berputar pada porosnya. Kelelahan tak menginggapi kami saat mendengarkan petuahnya. Karena ingin menjumpai sastrawan berikutnya, maka kami pamit diri. Beliau melepaskan kami dengan perasaan hangat. Dari perbincangan dengannya ada beberapa ucapannya yang bisa diambil hikmahnya yaitu :
“Kalau ingin jadi seorang penulis atau penyair terkenal, harus banyak membaca, banyak berkarya, dan banyak bertukar pikiran mengenai hasil karya yang ditulis dengan sastrawan yang sudah kawakan. Perkembangan dunia sastra terletak di tangan penyair atau penulis itu sendiri. Penyair atau penulis memiliki hak paten untuk mengembangkan peradaban manusia yang gilang gemilang.”
Sebelum adzan magrib bergema, kami telah berada di rumah sastrawan besar lainnya. Bapak Yudiswara, seorang cerpenis, penyair, juga esais. Tuan rumah menyambut kami dengan ramah. Rumah beliau berada dekat masjid Nurul Jannah… Perbincangan hangat pun terjadi antara kami dengan beliau, tentu saja membicarakan dunia sastra yang ada di kota Pontianak, berikut dengan penyairnya. Saya dan teman saya memperkenalkan diri sebagai penyair muda kota Pontianak. Kebetulan sekali teman saya seorang penyair wanita bernama Shella. Dan kebetulan pula, bung Yudhis ingin mencari penyair wanita Pontianak yang dapat eksis sampai tua. Selama ini penyair wanita Pontianak selalu berhenti berkarya jika mereka memasuki jenjang berumah tangga. Sering kali bung Yudhis ditanyai oleh sastrawan kota lain, apakah kota Pontianak memiliki penyair wanita….? Bung Yudhis selalu menjawab, ada. Percakapan itu lebih menekankan pada pemberian motivasi pada Shella untuk terus berkarya nan berkarya, hingga eksis sampai tua, seperti N.H. Dini. Saya cuma mengiyakan saja.
Waktu tak dapat diajak kompromi. Akhirnya kami pun undur diri. Beliau melepaskan kami dengan kehangatannya. Dari tatap muka dengan beliau adan beberapa coretan yang sungguh bagus untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini.
“Terus saja berkarya sampai tua. Jadikanlah dunia yang kamu geluti seperti makanan lezat sampai akhir hayatmu. Selain itu dengan adanya isu angkatan tua dan angkatan muda, itu sangat tak bagus. Pengklasifikasian itu dikarenakan adanya ketakutan pada sastrawan tua, yang merasa tersaingi oleh munculnya sastrawan-sastrawan muda yang banyak memiliki ide-ide cemerlang. Pengklasifikasian itu pula membuat sastrawan muda jadi minder karena mereka merasa tak yakin dengan apa yang mereka ciptakan. Seharusnya pengklasifikasian itu tak ada. Semua orang adalah egaliter. Kalo dihubungkan dengan dunia sastra bahwa antara angkatan tua dan angkatan muda adalah sama. Yang membedakannya bukanlah status atau pengklasifikasian itu melainkan hasil karya yang gemilang… dan jenius… Diharapkan sastrawan tua tak boleh mematikan kreativitas sastrawan muda…. Sebaliknya sastrawan tua harus mendukung penuh dan berusaha mengorbitkan sastrawan muda agar terkenal seperti mereka juga…”
Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya menawarkan pada Shella untuk bersilaturahmi ke rumah Yusack Ananda dengan nama aslinya Urai Zubir Muchtar. Shella setuju dengan usulan saya. Maka saya melecutkan kendaraan ke rumah Yusack Ananda. Kami tiba ke rumah Yusack Ananda ketika malam mulai beranjak larut…. Saya memarkirkan kendaraan di depan rumahnya. Saya ketuk pintu rumah seraya mengucapkan,
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam….” Balas orang di dalam.
Pintu rumah Yusack Ananda segera terbuka. Seraut wajah mungil muncul dari balik pintu.
“Mencari siapa ya?”
“Kami mencari Urai Zubir.”
“Silakan masuk!”
“Terima kasih.”
Lalu saya dan Shella masuk dan duduk di ruang tamu. Wajah mungil beranjak ke belakang, memanggil Urai Zubir.
Sosok wajah tua yang telah dimakan hari tampak keluar menyongsong kami yang duduk di ruang tamu.
Ketika berada di antara kami, ia bertanya.
“Ada apa adek-adek…?”
“Silaturahmi, Pak!” saya menjawab.
Lalu kami berjabatan tangan….
“Adek-adek ini darimana?”
Pertanyaan yang mengawal percakapan hangat kami. Lalu kami menjelaskan siapa kami…. Yaitu mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia…. Kami juga merupakan penyair muda Kalimantan Barat. Mendengarkan penjelasan kami…. Bapak Yusack Ananda merasa takjub sekaligus juga bangga….
Seiring melajunya malam, percakapan kami pun melaju…. Tanpa sungkan-sungkan Bapak Yusack Ananda menceritakan pengalaman hidupnya di dalam dunia sastra.
Seorang sastrawan besar… Tragis…. Angkatan 66 yang telah ditelantarkan oleh pemerintah. Tak ada penghargaan dari pemerintah terhadap dirinya.
Cerpenis besar…. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan juga bahasa Jepang…
Di hari tua begini cukup memprihatinkan….
Percakapan yang melaju seiring waktu yang berlalu telah menghantarkan kami pada beberapa kesimpulan yang terus membekas….
“Berkaryalah terus sampai tua…. Jangan pantang menyerah! Ingatlah tentang masa tuamu selagi kamu masih muda…. Agar kamu dapat mempersiapkan bekal untuk masa tuamu….”
Suatu kesimpulan yang begitu tragis jika berkaca pada kehidupan sastrawan terbesar yang dimiliki oleh Kalimantan Barat…. Juga Indonesia….
Malam yang melaju seirama vega yang saya kendarai juga melaju….. Mengantarkan Shella ke istananya…. Kenangan indah tak pernah saya lupakan seumur hidup saya…. Dapat bertemu tiga sastrawan besar Kalimantan Barat…
Dalam benak saya malam ini seiring angin malam yang melaju dibelah vega berjalan tertatih-tatih….. Saya berkhayal : Semoga saya dapat jadi besar seperti mereka. ©dins

Pontianak, Mei 2002
~~~&&&~~~

Thanks : Odhys, Yudhis, Yusack
(akoe deki yang telah memberikan masukan!!!)
(Dipublikasikan di WWW. Cybersastra. Net.)

Bingkisan Kenangan
Oleh : M.Saifun salakim

Rohim punya keinginan, punya kemauan ingin jadi cikgu. Ia pun berusaha untuk mewujudkan keinginannya. Walaupun jalan sampai kesana bukanlah semulus dari perkiraan dan khayalan. Ia tetap berjuang dengan gigih agar niatnya kesampaian. Ujungnya bisa juga ia menginjakkan kakinya kuliah untuk menghantarnya menjadi cikgu. Namun seringkali ia dengar selentingan angin berpuisi lirih bahwa yang masuk fakultas pencetak cikgu adalah orang buangan. Dilontarkan oleh orang-orang dari harum semerbak bunga yang tumbuh di fakultas lain.
“Jadi cikgu tak akan kaya!” Salah satu tembang syahdu yang melemahkannya.
Rohim tersenyum saja. Dalam kalbunya dibulatkannya tekad akan ditunjukkannya bahwa fakultas pencetak cikgu bukanlah orang buangan. Alhamdulillah dengan tekadnya yang bulat dan gigih serta kemauannya yang mantap, Rohim dapat menyelesaikan studinya dengan predikat terbaik.
”Tak bodoh ama sih. Pintar kan?”
Dengan ilmunya yang ada, ia pun mengaplikasikannya pada lingkungan masyarakat yang membutuhkannya demi memajukan dunia pendidikan. Kegunaan ilmunya semata-mata hanya untuk orang banyak dan bangsa serta negaranya, biar bersinar cemerlang sepanjang zaman yang terus berganti. Tak akan redup. Selalu terang… terang…. Seperti iklan lampu phillip.
Sebagai cikgu, Pak Rohim disenangi anak didiknya. Dia adalah orang yang supel, ramah tamah, baik hati, humoris, dan suka bikin joke. Dalam mengajar pun dia berusaha menerapkan pola tiga es, yaitu serius, santai, dan selesai. Ada masanya dalam belajar penuh dengan keseriusan agar betul-betul belajar. Ada juga masanya di saat belajar ada santainya supaya anak didik tak terlalu tegang menerima pelajaran dan mudah menyerapnya. Dengan tujuan apa yang diberikan dapat diselesaikan. Metode mengajar seperti itu diperolehnya dari cikgu yang pernah membimbingnya dulu. Kini metode itu ditransfernya ulang pada anak didiknya.

~oOo~

Di tempat ia mengajar, ada satu kelas yang memang menyenangkannya. Anak-anaknya punya antusias untuk belajar. Punya kemauan keras untuk berhasil dan sukses. Walaupun ada segelintir siswa yang masih lemah semangat. Tapi tetap dimotivasinya dan didorongnya supaya bisa berhasil dalam belajar. Lebih tinggi lagi berhasil dalam kehidupan. Karena kebahagiaan terbesar yang dimilikinya atau yang akan dirasakannya adalah kalau dirinya melihat anak didiknya berhasil dan menjadi orang sukses semua dalam kehidupan.
Harum yang memiliki wajah yang caem, periang, dan memiliki sikap sopan santun, memang menonjol dalam pelajaran. Hingga Pak Rohim memperhatikannya lebih dari yang lain. Bukan berarti Pak Rohim membedakannya dengan siswa/siswi lainnya. Bukan juga berarti Pak Rohim menganakemaskannya. Semuanya sama . Cuma karena ia sering tampil bisa dan aktif bertanya jawab serta memberikan komentar dan mau disuruh. Paling menonjollah. Kadangkala itu dikatakan anak-anak bahwa Pak Rohim pilih kasih, padahal tak begitu. Pak Rohim sudah sesuai menempatkan dirinya dengan porsinya. Sesuai kadar kemampuan masing-masing. Memang ia lebih Pak Rohim cermati, karena Pak Rohim lihat dia punya kemauan belajar yang tinggi dan gigih untuk mencapai cita-citanya. Hingga sebuah kata harus dinyanyikan atau disenandungkan dalam jiwa.
Dia memang anak yang cerdas. Perlu aku bimbing betul-betul dalam belajar. Akan aku arahkan belajarnya dengan baik agar dia mencapai prestasi yang maksimal.
Kadangkala Pak Rohim juga merasa aneh melihat perkembangan si Harum. Bukan perkembangan belajarnya yang menurun? Bukan sikap baiknya jadi merosot? Bukan keceriaannya tambah menghilang? Bukan. Bukan itu yang Pak Rohim maksudkan. Masalahnya adalah Harum sering keringatan berlebihan membanjiri mukanya. Keringatan yang bukan sewajarnya. Keringatan yang mengalirnya abnormal. Boleh dibilang keringat penyakit. Prediksi sementara yang dilakukan oleh Pak Rohim. Di saat dingin menusuk keringatnya berhujanan menangisi putaran jam, berdentang terus tak pernah capeknya. Apalagi kalau panas atau kegerahan malahan keringatnya sudah seperti air lautan yang pasang menuju muaranya. Sadarkah dia dengan keringat berlebihan itu atau tahukah dia dengan keringat penyakit yang dideritanya?
Aku tak bisa menduga lebih jauh, kenang Pak Rohim. Mungkin saja dia sudah tahu dengan keringat penyakitnya. Untuk itulah, dia mencoba sebisa mungkin untuk menutupinya atau tak menghiraukannya dengan keceriaan dan keperiangan yang ditampilkannya. Biar semua orang tak pernah menyangka ada hal sedih yang menginggapinya. Walaupun dia harus menahan deritanya. Dia tak ingin melibatkan orang lain merasakan deritanya. Biarlah dia sendiri saja yang menelannya. Semua itu terlihat dari arus air kesederhanaan dan kesopanannya.
Sekali-kali ingin Pak Rohim menanyakan secara langsung ke Harum mengenai keringat penyakit itu. Memberikan saran supaya jangan dibiarkan terus menerus akan bertambah parah. Kalau sudah parah akan runyam urusannya. Hal itu tak pernah terwujudkan, terlupakan terus.

~oOo~

Suatu saat ia mengajar. Ia dapati Harum tak ada di kursinya. Biasanya Harum sudah siap sebelum ia masuk. Harum sudah siap menerima pelajaran. Ceria selalu. Mengisyaratkan pelajaran itu sebuah makanan lezat untuk disantapnya. Enak .
“Kemana ya si Harum? Apakah dia sakit? Mungkin saja….” Kuatkan Pak Rohim pada pradugaannya. Karena kalau tak sakit. Dia paling rajin masuk, tak pernah bolos. Apalagi mau membelit seperti yang dilakukan teman-temannya. Yang sekiranya sudah jenuh menerima pelajaran atau tak suka dengan pelajaran yang diterimanya. Itukan dilakukan demi menyenangkan hati muda bergejolak untuk melakukan kemauannya sendiri, sebebas dirinyalah. Malahan Harum kadangkala menasihati teman-temannya jangan melakukan hal tersebut, yang hanya merugikan diri sendiri. Malahan dia menganjurkan supaya mengisi masa muda ini dengan memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan memanfaatkan waktu seefisien mungkin dengan kegiatan yang positif. Kegunaannya adalah sebagai bekal untuk persiapan di masa senja.
Ya… Benar! Dugaan Pak Rohim mengenai Harum tak meleset. Ia benar-benar sakit. Setelah ia diberitahu oleh Pak Johan, sahabatnya sesama cikgu di situ.
Sebenarnya sahabatku itu punya nama lengkap Johan Purwanto. Ia sahabatku yang baik. Kami pernah saling tukar pikir mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk memajukan dunia pendidikan ini, dan menemukan cara supaya anak didik bisa menyerap pelajaran dengan baik. Pokoknya, ia sahabatku yang sering aku ajak bercengkarama. Orangnya terbuka dan fleksibel. Oh ya, aku juga sering memanggilnya Mr. Jo. Abis dalam berbahasa Inggris, ia clever. Selain itu, panggilan seperti itu, suka-suka aku menyebutnya. Aku anggap sebagai pengakraban saja. Biar tambah dekat dan lengket dalam menjalin persahabatan. Biar selalu terkenang sepanjang hayat, yang masih suka mengendus bau keharuman. Dengan kewangiannya selalu menebarkan kesejukan di lingkaran permadani bumi. Ia juga tak marah aku panggil begituan. Sudah cocok kali….
“Him, si Harum itu sakit sudah tujuh hari.”
“Hah……,” kagetku. Sebentar aku sudah menguasai keadaan.
“Mr. Jo, kamu tahu dia terkena penyakit apa?”
“Tak tahu Him.”
“Kalau tak tahu sudahlah. Gimana kalau sekarang kita besuk dia ke rumahnya! Sakit apa dia sebenarnya!” ajakku pada Johan.
“Terlambat Him. Dia tak ada di rumahnya lagi. Dia sudah dibawa orang tuanya ke rumah sakit Kabupaten,” jelaskan Johan.
“Oh ,” sahutku tanda mengerti.
“Jadi gimana nih Mr. Jo cara kita jenguknya?”
“Gini aja Him, kalau kita jenguknya sekalian aja. Bukankah kita ada pertemuan di kabupaten. Gimana kita sisihkan sedikit waktu untuk lihat keadannya.” Johan berikan sarannya.
“Betul juga idemu, Mr. Jo. Ide yang bagus sekali,” jawabku mengiyakan.

~oOo~

Harum sangat gelisah. Sekali-kali dia merintih. Dia mendekap dadanya. Dia dibawa kesini untuk check in. Apakah penyakitnya parah? Apakah dia hanya rawat jalan atau rawat inap? Bertepatan dengan itu juga dokternya sedang ada pertemuan. Mereka disuruh menunggu sebentar saja. Harum sudah tak sabaran. Dia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
“Yah, sudahlah! Lama sekali menunggunya. Aku tak apa-apa . Kita pulang saja,” rengek Harum memohon pada ayahnya.
“Tenang! Tenang Nak! Sebentar lagi dokternya akan datang. Kamu sabar sedikit ya! Kamu harus dicheck in dulu untuk memastikan sakitmu parah atau tidak? Sabarlah dikit Nak!” tenangkan ayahnya. Dokter yang ditunggu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Kegelisahan Harum semakin menjadi-jadi.
“Yah, sudah aku bilang bahwa aku tak sakit. Pulang yuk, Yah!” pinta Harum berkali-kali dengan polesan wajah yang memelas.
“Kamu sakit Nak. Kalau pun kamu katakan kamu tak sakit untuk menutupinya. Ayah tahu, kamu sakit Nak. Bersabarlah sedikit. Dokternya tak lama lagi akan datang,” jawab ayahnya berusaha menenangkan kegelisahan Harum.
“Sampai kapan kita menunggunya, Yah? Padahal aku sudah ketinggalan jauh pelajaran di sekolah, Yah!” Harum sangat sedih. Mengenang begitu jauh dia ketinggalan pelajaran di sekolah. Sudah terhitung tujuh hari sakitnya ditambah lagi satu hari check in ini genaplah delapan hari dia ketinggalan. Cukup banyak juga.
Harum, luar biasa kamu! Dalam keadaan sakit begini kamu masih ingat pelajaran di sekolah. Memang betul kamu adalah orang yang ingin benar-benar dan serius untuk belajar dan menimba ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Jarang sekali dimiliki orang kebanyakan
“Sebentar lagi, Nak. Ayah pikir, kalau kamu memang sakit para guru bisa memakluminya. Kepala Sekolah bisa mengerti. Terpenting, kamu harus sehat dulu. Kalau kamu sudah sehat, ketinggalan pelajaranmu di sekolah bisa kamu kejar,” jelas ayahnya dengan bijaksana dan lemah lembut hingga bisa dipahami Harum, anaknya itu. Sebelum Harum ingin angkat bicara lagi menimpali kata-kata ayahnya. Dokter yang ditunggu akhirnya datang juga.
“Maaf ya Pak, agak lama menunggunya. Abis pertemuannya lama sekali,” ujar dokter itu.
“Tak apa-apa, Dok!” jawab ayahnya Harum.
“Kalau begitu, kita langsung saja ke ruang untuk check in anak Bapak,” kata dokter itu kemudian memasuki ruangan praktiknya.
“Baik, Dok!” jawab ayahnya Harum menyusul bersama anaknya, dan keluarganya yang menghantarnya menuju ruang dokter.
Check in dan diagnosa dilakukan dokter terhadap penyakitnya Harum. Dia terkena penyakit Diabetes Melithus. Tergolong parah. Karena sudah terjadinya pemecahan dan pembengkakan yang mengandung nanah. Pembengkakan dan penanahan sudah menjalar ganas ke bagian payudaranya. Untuk mengangkat nanah tersebut harus dilakukan operasi. Berarti adanya pembelahan di bagian payudaranya. Secara otomatis kamu dinyatakan dirawat inap. Membuat kamu jadi mendung terpancar. Bukan mendung karena penyakit dideritamu, tapi semakin dan terlalu lama kamu akan meninggalkan bangku belajarmu.
Harum, dalam sakit seperti ini masih juga kamu teringat dengan pelajaranmu. Ah, tak terbayangkan sungguh cintanya kamu dengan belajar. SALLLLUUUUTTTTTTT…………!
Operasi penyedotan nanah di payudaramu berjalan dengan lancar dan sukses. Berarti kamu sudah melakukan pengorbanan yang terbesar. Harus merelakan kehilangan payudara menonjol yang selalu diidamkan setiap wanita. Payudaramu akan rata dan datar. Itu bukanlah suatu masalah bagimu. Malahan kamu tegar menerimanya. Sungguh sabar, tenang, dan tabahnya kamu menjalani kehidupan ini, Walaupun begitu pahitnya bagi kebanyakan orang.
Timbulnya keterenyuhan orang tuamu saat melihat penderitaanmu. Di saat adanya pergantian perban baru pada bekas operasi. Kamu menjerit kesakitan dan meraung. Namun bibir mungilmu tetap tersenyum. Mengontraskan antara kerutan kesakitan dan senyuman ketabahan. Kamu tetaplah harum mewangi. Kini perawatanmu sudah mencapai tahap pemulihan. Masa kritis dan sakit menyiksa sudah kamu lewati. Masa kesakitan sudah kamu atasi dengan baik. Alhamdulillah. Kamu sudah mulai bergerak bebas. Walaupun baru hanya seputar ranjang empuk. Ciri khasmu yang periang dan ceria tertampilkan lagi lebih segarnya. Orang tuamu sudah mulai merasa tenang.

~oOo~

Derap langkah kaki halus memasuki arah menuju ruanganmu. Langkah kaki Pak Rohim dan Pak Johan, datang untuk membesukmu. Pak Johan bertanya pada perawat tunggu depan.
“Bu, betulkah ini ruang VIP?”
“Betul Pak. Bapak mencari siapa? Bapak ingin membesuk siapa?” tanya si perawat.
“Harum…… Bu!”
“Harum siapa nama lengkapnya, Pak?”
“Harum apa ya Rohim?” tanya Johan pada Rohim. Ia sedikit kelupaan juga dengan nama lengkap anak didiknya itu.
“Harum Puspasari, Mr. Jo…” jawab Pak Rohim.
“Harum Puspasari, Bu !” ujar Pak Johan.
“Sebentar ya, Pak.” Si perawat mulai mengecek semua nama yang menghuni di ruang VIP satu per satu. Dengan abjad H. Sebentar dia sudah menemukannya.
“Di ruang nomor lima, Pak. Dari sini langkah saja terus ke depan, nanti di pintu ada nomornya,” kata si perawat memberitahukan.
“Terima kasih, Bu. Permisi dulu…”
“Mari! Silakan!” sahut perawat.
Pak Rohim dan Pak Johan menuju ruang nomor lima. Mereka pun mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Salam mereka dijawab oleh orang di dalam dan pintu pun terbuka lebar. Rupanya ayahmu yang membukakan pintu. Melihat siapa yang datang, wajahmu riang seketika.
“Eih, Bapak….” Serumu bangkit berdiri. Menyalami tangan gurumu yang datang. Tanda kehormatanmu padanya. Kamu juga mempersilakan mereka duduk.
“Gimana kesehatanmu sekarang, Rum?” tanya beliau.
“Alhamdulilah Pak, sudah agak baikan,” jawabmu.
“Sudah agak lumayan juga, Pak. Masa kritisnya sudah berlalu,” tambahkan oleh ayahmu.
“Oh begitu, syukurlah !” kata Pak Rohim.
Kami pun saling berkenalan dengan orang tuamu dan sanak keluarga yang menjagamu saat ini. Kami juga terlibat percakapan hangat dengan orang tuamu mengenaimu dan penyakitmu. Orang tuamu sungguh ramah dan pengobrol. Orang yang cepat mengakrabkan suasana. Ujungnya kami pun tahu tentang penyakit sebenarnya yang kamu derita. Beban berat yang kamu pikul dari cobaan ini, cobaan kehidupan. Kamunya terlihat tenang, sabar, dan tabah saja untuk menjalaninya. Dengan tak melupakan ciri khasmu yang selalu periang dan selalu ceria nan menyegar. Selalu menampilkan senyumanmu yang mekar mewangi demi meraih masa depan yang cerah. Kadangkala kami juga ngobrol masalah lain dengan ayahmu yang memang enak diajak ngobrol dan ramah hingga tak terasa, kami harus undur diri, pamit pulang dengan menyisakan doa ”Moga saja kamu cepat sembuh. Bisa belajar lagi seperti semula.”

~oOo~

“Rum, kamu ada main ya dengan Pak Rohim?”
“Gak. Gak ada kok . Main apaan yang kalian maksud?’ balik bertanya Harum dengan kebingungan.
“Kedekatan dan keintiman dalam menjalin hubungan yang lebih dalam . Ngertikan kamu!” celoteh Melati.
“Ngerti . Tapi swear. Aku tak ada apa-apa dengan Pak Rohim. Sebenarnya ada apa sih?” sahut Harum masih bingung dengan gurauan teman-temannya.
“Aneh ya… kalau kamu tak ada hubungan apa-apa dengan Pak Rohim. Masak Pak Rohim mau kasik kamu hadiah sebelum dia pergi,” angguk-angguk Jantin.
“Hadiah? Pak Rohim sudah pergi?”
“Ya… Rum. Kamu sih ketinggalan berita. Sudahlah daripada kamu bingung terus. Ini ambillah hadiah dari Pak Rohim,” sodor Jantin memberikan hadiah tersebut. Dengan gemetar kamu menerimanya.
“Jantin, Pak Rohim pergi kemana sih?”
“Ke tempat tugasnya yang baru.”
“Dimana?”
“Di hulu kemere….” Lari Jantin sambil ngakak.
“Sialan kamu, Tin,” omelmu. Karena Jantin tak memberikan jawaban yang pas.

~oOo~

Ada maksud apa ya Pak Rohim Kasik aku hadiah? Aneh sekali. Pak Rohim juga tak bilang bahwa dia akan pergi. Serba aneh saja Pak Rohim ini.
Aku lihat dulu apa isinya. Kamu duduk di pojok ruangan yang tak kelihatan teman-temanmu. Takut diusili teman-temanmu lagi kalau ketahuan. Kamu mulai membuka hadiah itu dengan cepat-cepat. Karena keingintahuanmu sudah memuncak di ubun-ubun kepala. Isinya hanyalah sebuah karya ukiran seni kayu yang dipernis. Sungguh unik dan artistik yang bertuliskan:

GOOD LUCK IN YOUR STUDY ! GOOD SUCCES IN YOUR LIFE !
HARUM….. HARUM MEWANGI
BLOSSOM UP YOUR FLOWER FOREVER THAT WAS GIVE SWEET DAN NICE DAY TO EARTH
IN THE LIGHT MOON TO LAST TIME


Balai Berkuak, 20 Maret 2004
~~~~~&&&&&~~~~~

CATATAN :
Cerpen ini dibuat untuk kenang-kenangan pada Jhoni Karyanto, Pak Ucup Supriatna, Pak Mansyur, Kartika Purwa Rahayu (atas inspirasinya), Kru dan Cikgu SMAN 1 Sukadana, dan Kru dan Cikgu SMAN 1 Teluk Melano serta siswa/siswinya . Semuanya deh……. !

Target Merah
Oleh : M.Saifun salakim

Pasukan Teliksandi adalah pasukan khusus yang bertugas untuk mencari informasi mengenai hal penting. Juga bisa tentang hilangnya sebuah tongkat pada diri anak manusia di hamparan luasnya jenggot Pantai Pulau Datuk.
Pantai Pulau Datuk terletak di kecamatan Sukadana. Tepatnya berbatasan dengan daerah Tanah Merah dan Pangkalan Buton. Pantai Pulau Datuk merupakan salah satu daerah objek wisata terkenal di daerah Kabupaten Ketapang. Oleh karena itu, hutan yang ada di kawasan daerah Pulau Datuk masih tanggungan Pemerintah Kabupaten Ketapang. Daerah hutan di sekitar Pulau Datuk menjadi hutan lindung, yang dijaga keberadaannya dan keasliannya. Biar tetap orisinil. Pulau Datuk sebagai objek wisata ramai dikunjungi orang-orang pada waktu pas lebaran puasa atau idul fitri dan lebaran haji atau idul adha. Bahkan yang membuatnya semakin semarak, dengan adanya hiburan rakyat selama tiga hari pertama… Wah, sungguh meriah ! Pantai Pulau Datuk tersenyum setiap saat.
Oh ya, kehilangan tongkat yang jadi pedoman dalam kehidupan ini membuat kebutaan yang melanda bercokol erat disana. Mendekam dalam-dalam. Seakan betah berdiam disana. Kegelapan juga bersemayam dalam langit jiwa. Sebab orang-orang sudah terlena dibuai keindahan-keindahan semu. Selama ini mereka kejar. Mendewakan harta benda, menyamarkan materialistis dengan topeng kedermawanan dan kepemurahan. Meninggikan modernis yang salah, tanpa sadarnya telah terjadi dekadensi akidah dan keimanan. Katanya sih, jangan kolotlah. Inilah seni. Seni apaan? Seni keindahan. Wah, …. Sudahlah! Tidak kurang dari itu ambisi dan rasa ketidakpuasan membuat orang jadi lupa diri dan semakin jauh keluar dari rel keagamaannya. Karena yang mereka kejar bukan kebaikan diri tapi kehancuran akidah dan itu tanpa mereka sadari atau sebaliknya mereka menyadarinya. Tapi diabaikannya saja. Itulah kebutaan yang melanda. Boleh dibilang buta dilindungi oleh tirai kelam dan terang mendekam di balik itu. Mata mereka melihat tapi jiwa mereka adalah blindness. Oleh karena itu, diperlukan penerangan seperti sebuah pelita menerangi ruangan penuh kesunyian dan kesenyapan agar terang benderang.
Pasukan Teliksandi tidak pernah mengenal kata menyerah. Walau medan yang diarungi serba sulit bahkan berlika-liku dan penuh dengan intaian maut. Setiap saat akan menggerogoti jiwa kalau tidak berhati-hati melangkah dan melaksanakan tugas tersebut. Kekuatan jiwa dan ketabahan hati sangat diperlukan. Semua itu adalah ujung tombak dalam bergerak dan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Tugas tetap tugas. Harus diselesaikan dengan baik.
Lagu maju tak gentar mengiringi derap pasukan Teliksandi yang berjalan menyusuri keluasan jenggotnya Pantai Pulau Datuk dan keputihan pasir melambai-lambai setiap saat. Terjangan ombak juga diperhitungkan. Karena kalau terpeleset saja, akan menujukan nyawa ke daerah sukabumi, tidur untuk selama-lamanya. Namun mereka adalah pasukan yang sudah terlatih. Intuisi dan prediksi mereka sangat tajam. Jarang kali meleset atau malahan melenceng. Itu jarang terjadi.
Dengan penuh semangat yang menggebu-gebu dan jiwa gelora badai berpadu, mereka terus meniti rel itu. Mengarungi air pasang, menataki langit mendung, meloncati batu yang satu dan yang lain dengan terjalan menukik. Mereka terus tegar bergerak dan melangkah menuju arah yang telah ditentukan. Tak perduli hujan panas membelai tubuh dan tak perduli topan badai menghadang jalan. Terpenting informasi yang mereka cari harus didapatkan. Karena informasi tersebut berkenaan dengan kemaslahan umat. Mereka memang pasukan yang paling setia. Tidak pernah mengingkari janji. Tidak pernah melalaikan tugas. Walau tugas yang diberikan dengan pengorbanan nyawa sekalipun, mereka tetap melaksanakannya.
Hujan menangis berkuah-kuah membanjiri bumi. Menyirami tubuh pasukan Teliksandi yang terus bergerak. Makin memasuki hutan di tepian Pantai Pulau Datuk, yang katanya penuh dengan keangkeran. Hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka. Long march tetap menampilkan pelangi yang indah. Tujuan tetap harus diperoleh. Itulah tekad yang terpatri dalam sanubari pasukan itu.
Gelombang begitu marahnya. Entah apa penyebabnya? Terlihat gulungannya yang begitu padat dan kental, terus berkesinambungan menghantam siapa saja yang ada di hadapannya. Angin melontarkan timah-timah panasnya berujud siurannya bergendang riuh. Seakan alam tak bersahabat dengan mereka. Atau inikah suatu pertanda? Pertanda jelek atau baikkah? Moga saja ini pertanda baik.
Nampaknya perjalanan pasukan Teliksandi begitu lambannya. Habis angin, lautan, dan hujan menyerang mereka, seperti tembakan salvo dikeluarkan musuh. Terus beruntun mendera dan tak pernah berhenti menghajar. Dengan begitulah mereka berjalan lamban. Penuh kehati-hatian dan terus mencoba melawan kemarahan alam yang tidak bersahabat.
Itu kalau dikiaskan dengan kehidupan ini. Bahwa kehidupan ini penuh terpaan yang menghalangi setiap langkah. Kita jangan gentar menghadapinya. Bisa juga terjalan hidup ini berupa cobaan hidup yang harus kita jalani penuh dengan hujan, gelombang, dan angin. Hujan bisa diartikan kesedihan yang menumpahkan air mata. Gelombang bisa diartikan arah langkah kita yang semakin tinggi akan semakin tinggi cobaan hidup yang dirasakan. Semuanya itu merupakan hal untuk dapat melatih ketahanan dan ketegaran jiwa kita. Angin bisa diartikan dengan cobaan yang datang tidak pernah kita ketahui besar dan kecilnya. Terpenting kita harus bisa berbuat sabar dan tegar menjalani kehidupan. Walau didera cobaan hidup yang datang silih berganti. Kita kembalikan segala persoalan kepada Allah SWT dan terus bersyukur atas anugerah-Nya. Bahwa Allah tidak akan menguji umatnya kalau dibatas kemampuan umatnya. Hikmahnya pasti ada dibalik kejadian ini. Tetap teguhkanlah iman dan bersyukurlah!!! Mungkin manis akan diperoleh.
Di saat kelelapan mencengkeram. Barulah kemurkaan alam reda dan sirna tidak berbekas. Hari mulai tersenyum lagi. Mentari tertawa riang dengan penuh kebahagiaan. Seakan kecewa tidak pernah menyentuh mereka. Jenggotnya Pantai Pulau Datuk sudah jauh mereka tinggalkan. Sebab mereka sudah berada di tepian batuan yang menuju ke hutan. Disanalah dikabarkan bahwa informasi tongkat berbentuk intan mutiara putih akan mereka dapatkan untuk dibawa pulang. Diberikan pada atasan mereka untuk dijaga baik-baik. Agar suatu saat bila bencana akan menimpa kehancuran manusia menjelma.
Disebabkan oleh suatu gerakan masa maha dahsyat berupa perubahan sikap dan tingkah laku manusia, akan saling berbunuhan dan saling menghancurkan. Masa itu hukum rimba berlaku lagi. Siapa yang kuat itulah menang! Manusia di masa itu sudah tidak memiliki hati nurani. Sudah buta sebuta-butanya. Yang terekam di komputer otak dan kalbu hanyalah kemewahan dan kejayaan. Siapa yang mewah dan jaya, dialah Sang Penguasa. Orang lain tunduk di bawah kakinya. Untuk itulah orang-orang akan berlomba-lomba menduduki kursi Sang Penguasa. Saling sikut menyikut akan terfilmkan. Saling bunuh dan menghilangkan nyawa akan terpampang nyata. Itulah tujuan pokok yang akan diraih. Terpenting kursi Sang Penguasa tetap mereka duduki. Masa itu lebih dikenal masa gila-gilaan. Jadi, menurut prakiraan dan tafsiran paranormal, ulama, kiai, orang warak, dan aulia bahwa masa itu akan bisa diatasi kalau disaat ini tongkat berbentuk intan mutiara putih yang mengandung keajaiban bisa ditemukan. Maka dengan bantuan tongkat itu kehancuran manusia akan dapat diselamatkan. Ketenangan dan kedamaian tetap terjaga dan tersimpan rapi dalam lemari kehidupan ini. Wah, sebuah penyelamatan yang bagus benar. Tepat sekali dan terbilang jenius.
Sesudah rehat sebentar. Kepulihan sudah bersemi kembali. Kesegaran sudah terpancarkan lagi penuh pesona. Pasukan Teliksandi melanjutkan perjalanannya. Jalan setapak di depan mata mereka terobos dengan kebanggaan. Baru dua puluh meter menyusuri jalan setapak, terdengar jeritan lantang.
Akkkkhhhhhhhhh…
Pasukan Teliksandi bagian paling belakang tersungkur mencium tanah. Semua mata berbalik ke arah belakang. Ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada kawan mereka.
“Ahmad….,” desis mereka serentak.
Mereka bergidik melihat matinya Ahmad dengan mata melotot. Salah satu dari pasukan Teliksandi coba memeriksanya untuk mengetahui sebab kematian. Nihil. Tanda kematiannya tidak ditemukan.
Mereka jadi bingung dan bertanya-tanya.
Siapa pembunuhnya? Kalau sekiranya ia mati dibunuh oleh seseorang dari jarak jauh, pasti ada penyebabnya. Bisa berupa luka, mulut biru, dan cacat tubuh. Tapi ini hanya mata melotot. Aneh…. Angker memang…. Apakah kematian Ahmad ada hubungannya dengan keangkeran pulau ini? Jawabannya tidak pernah didapatkan.
Sebagian dari personil pasukan Teliksandi itu ada mulai ciut nyalinya. Keder hatinya. Patah semangat.
“Ses, hutan ini memang tidak bisa diajak kompromi. Lebih baik kita batalkan misi ini. Baru masuk dua puluh meter saja sudah ada yang mati. Matinya tanpa sebab lagi,” komentar Parjan.
“Betul kata Parjan, Ses. Hutan ini selamanya tetap misterius. Daripada jatuh korban lagi dengan kematian yang tidak jelas lebih baik kita pulang saja. Misi mencari informasi tongkat berbentuk intan mutiara putih itu dibatalkan. Atau bisa jadi informasi yang kita cari hanya omongan belaka. Tidak benar!!!” tambahkan Kanji.
“Sudah….! Diam!!!!” teriak Ramses marah.
Pekikannya membahana. Anak buahnya yang memberi usul diam seketika. Menunduk takut. Ramses terkenal cepat marahan. Tapi dia orangnya solider. Bisa menghargai orang lain. Namun dalam situasi genting seperti ini, apa dia tidak marah mendengarkan kata anak buahnya yang sudah lemah semangat.
Baru melihat tontonan yang belum seberapa dahsyatnya. Mereka sudah lemoy, letoy… dan lesu darah. Padahal merekakan sudah digembleng ketahanan fisik dan ketahanan hati yang mantap. Namun gemblengan itu pudar hari ini. Dengan melihat kejadian di luar perhitungan mereka dan terkesan aneh penuh dengan kemisteriusan. Membuat otak jadi butek untuk mengungkapkan pangkal musababnya. Aneh di atas keanehan lagi, yang pernah mereka jumpai selama mengemban tugas. Ini dirasakan begitu beratnya. Hingga mereka meleleh nyali atau keberaniannya untuk menemukan pencarian tersebut. Menemukan tongkat berbentuk intan mutiara putih di ujung daerah yang bernama Mandi Bintang.
Mandi Bintang adalah daerah yang berupa sebuah padang ditumbuhi rumputan liar, seperti ilalang, pakis haji, simpor, rumput teki, cengkodok, dan tidak ada tumbuh pohon besar yang berupa kayu keras. Cuma ada tumbuh sebatang pokok kabu-kabu sudah lanjut di makan usia. Pokok itu tidak pernah menghasilkan kabu-kabu lagi untuk dibuat pengisi bantal biar jadi empuk. Tidur jadi enak. Daunnya pokok kabu-kabu tidak rindang dan rimbun seperti kebanyakan pohon yang biasanya. Dia malahan meranggas dengan berdaun jarang-jarang. Di tepi dekat mentari memunculkan wajahnya ada sebuah telaga berair jernih. Layaknya sebuah pemandian. Memang sebuah pemandian kok. Pemandian para bidadari yang turun dari galaksi di atas sana. Terutama bidadari yang berdiam diri di galaksi bintang dari bintang oreon, bintang venus, bintang kejora maupun bintang kartika. Kalau malam hari, ramailah daerah itu. Terdengar senda gurau yang begitu merdu dari para bidadari tersebut. Senang dan gembira. Kalau hampir subuh menjelang barulah mereka kembali ke peraduannya, yaitu bintang-bintang disana. Karena itu daerah tersebut dinamakan Mandi Bintang. Sampai sekarang daerah tersebut belum pernah dijamah orang. Karena mempunyai kemisteriusan yang tidak pernah diuraikan dengan logika bening. Atau dengan pikiran yang masuk akal. Ada orang yang pernah coba ingin kesana tapi dia ditemukan mati mengenaskan dengan segala keanehan, di bawah Mungguk menuju daerah Mandi Bintang. Atau bisa jadi orangnya raib tak bertanda. Konon kabarnya disanalah bersemayamnya tongkat berbentuk intan mutiara putih yang akan didapatkan Ramses dan pasukannya. Tongkat itu sebagai penyelamat umat dari kehancuran masa di kemudian hari.
Ramses berusaha meredakan kemarahannya yang sudah tersalurkan dengan teriakan senyaring deburan ombak mengelus kemolekan pantai. Hingga sesaat keheningan yang hanya bicara. Anak buahnya yang lain tidak berani lagi bicara. Semuanya tefekur dengan gelora batin masing-masing. Was-was menahan rasa takut dan mencoba memunculkan sebuah keberanian. Selama ini terus mereka senandungkan. Berusaha pula mereka membangkitkan lagu pantang menyerah agar menghidupkan jiwa melemah.
“Kalau memang kalian tidak berani lagi, silakan pulang. Aku akan terus menjalankan tugas. Yang ikut denganku, kita teruskan misi ini sampai memperoleh hasil,” kata Ramses bersuara setelah dicekam kesunyian.
Diberikan tawaran seperti itu ada tujuh orang langsung kabur meninggalkan daerah tersebut. Mereka tidak ingin mati. Tersisa tinggal empat orang bersama Ramses sebagai komandan pasukan. Berempat itu segera menguburkan jenazah Ahmad. Seterusnya mereka meneruskan misi tersebut.
~oOo~

Di tengah perjalanan mereka mendengar bekakakan suara wanita. Terdengar empat penjuru angin. Sebentar suara itu membahana dan lebih keras terdengar. Suaranya sudah terpusat membulat semakin santer mengaung. Mereka berempat mengambil inisiatif. Masing-masing akan mengejar suara itu dengan sesuai arah mata angin. Bila sudah menemukan orangnya. Temannya harus memberikan panggilan pada teman-temannya. Kesepakatan diambil. Mereka menyebar ke arah masing-masing. Ramses menuju arah selatan, terus berkejar dengan kekuatannya penuh mengikuti suara itu. Hingga ia kelelahan dan suara itu menghilang.
Dia celingak-celinguk mencari suara itu.
Kemana ya? Kok, bisa hilang tiba-tiba? Kemana lagi aku mencarinya? Ah, dia terkejut. Melihat sebuah rumah tidak berdinding. Ini mungkin sebuah jebakan. Aku harus berhati-hati.
Ramses mencabut pistolnya kaliber 25. Dikokangnya sekali. Siap diletuskan kalau ada sasaran yang mencurigakan.
Barulah dia melangkah penuh kehati-hatian. Dia tidak ingin dirinya terjebak oleh sebuah jebakan. Bisa membuat kefatalan dalam hidupnya. Mata siaga dan jiwa antisipasi sebelum terjadi sesuatu sudah dikeraskan Ramses. Dia mulai mendekati rumah tersebut. Lalu dikitarinya rumah itu. Tidak ada menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Dia pun memasukan senjatanya lagi. Karena dirasakannya sudah aman. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan dan membahayakan dirinya. Dia berehat sebentar di depan rumah itu. Kakinya dilunjurkan dan badannya bersandar ke tiang penyangga rumah. Angin sepoi-sepoi bercinta asmara, hampir membuatnya mengantuk dan hampir tertidur. Kalau tidak, suara teriakan anak buahnya dari arah lain mengagetkannya.
Dia berpikir bahwa anak buahnya sudah menemukan pemilik suara itu.
Dengan terigas dia menyusul kesana. Rasa letih dilupakannya seketika. Bukan kekaguman yang diperolehnya tapi keterkejutan. Anak buahnya mati dengan kepala putus dari badannya. Rupanya teriakan itu adalah teriakan kematian. Ramses mulai bergidik sebentar. Tapi kengerian itu hilang seketika. Waktu dalam hatinya menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa. Dia mencari badan anak buahnya yang hilang entah kemana. Badannya itu ditemukannya dekat pohon perdu dengan posisi sedang kencing. Terasa lucu namun terkesan aneh. Pembunuhan ini penuh dengan kemisteriusan.
Aku harus dapat mengungkapkannya sekalian mendapatkan informasi tentang tongkat berbentuk intan mutiara putih itu.
Belum habis Ramses berpikir jernih. Suara siulan senang dengan suara wanita serupa, betul, dan mirip suara wanita didengarnya pertama menuju arah barat.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan anak buahku yang menuju ke arah sana. Aku harus kesana, kajinya sebrilian itu.
Perkiraannya tidak meleset. Bahwa anak buahnya juga ditemukan mati. Matinya dengan bibir tersenyum. Tergantung di sebuah pohon Ketapang. Pohon itu hanya memiliki ranting sebatang dan punya daun selembar.
Aneh lagi…! Kok, orang mati bisa tersenyum. Ini mati sedih atau mati bahagia? Semakin aneh saja.
Ramses menurunkan jasad anak buahnya yang tergantung di pohon Ketapang. Diperiksanya seluruh tubuh itu, tidak tanda yang jelas menunjukkan kematiannya. Memang hal impossible. Sudahlah. Dikuburkannya jasad anak buahnya di tempat itu. Sejenak dia hanyut dalam suasana kesedihan. Mengenang anak buahnya. Semua yang mengikutinya mati tiada tersisa. Tinggal satu orang lagi yang berada di timur.
Aku harus cepat kesana. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.
Dia bergegas menuju ke arah timur. Walau rasa capek sudah memberat. Dia tidak perduli. Dia lebih mementingkan keselamatan anak buahnya yang hanya tinggal satu orang.
Di timur dari kejauhan dilihatnya anak buahnya bergumul melawan binatang berkepala manusia.
Masya Allah, mahluk siluman rupanya, desis kalbu Ramses bergetar.
Mardon, anak buahnya terus berusaha untuk terlepas dari cengkeraman mahluk tersebut. Seluruh tubuhnya penuh luka berjaluran. Tapi semangat kehidupannya terus membuat dia berjuang sekuat kemauan dan sekeras jiwa karangnya. Karena dia sudah digembleng teguh. Perjuangan harus sampai tetes darah penghabisan.
Aku harus menolongnya. Kalau aku biarkan, bisa jadi dia juga akan meninggal.
Ramses duduk bersila di rerumputan basah. Keheningan jiwa dipusatkannya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dia menenangkan kalbunya minta bantuan pada-Nya. Karena kekuatan Tuhanlah di atas segalanya. Konsentrasi dibulatkannya dan dipadukannya dengan doa untuk mengusir mahluk yang saat ini bergumul dengan Mardon.
Bismillahirrahmannirrahim…, serunya sembari tangannya teracung ke arah mahluk tersebut.
Angin putih yang keluar dari tangan Ramses membuat mahluk tersebut menjerit garang. Cengkeramannya pada Mardon mulai mengendor, tapi matanya menatap garang.
Kurang ajar! Akan kubunuh dia, geramnya beralih menuju Ramses yang duduk bersila di rerumputan basah.
Dia akan membunuh Ramses. Namun tanpa diperhitungkannya dari tangan dan tubuh Ramses mengepulkan angin putih berputar ligat membentuk suatu bulatan. Lalu menghantam tubuh mahluk tersebut. Kali ini jeritannya melengking tinggi tiada kepalang tanggung nyaringnya. Sepertinya dia mengalami penderitaan yang begitu hebat. Penderitaan kematian yang menjemputnya. Jeritan kematian yang mengakhiri kehidupannya. Kemudian hanya kabut hitam terlihat menghilang.
Alhamdulillah, kata Ramses membuka matanya.
Mardon memulihkan semangatnya yang terkuras.
“Terima kasih Ses, untung kamu datang secepatnya. Kalau tidak, aku sudah mati tinggal tulang,” kata Mardon disela keletihannya.
“Sudahlah, Don. Semua ini berkat keajaiban Tuhan Yang Maha Esa. Don, kita rehat saja disini. Nanti perjalanannya kita lanjutkan esok pagi. Berhubungan harinya sudah senja. Kita dirikan tenda disini.” Ramses berbicara lalu membuka perbekalan yang dibawanya.
Dia mencari kayu untuk mendirikan tenda. Mardon membantunya. Dengan kecekatanan mereka, tenda bisa berdiri cepat. Mereka melepaskan letihnya.
~oOo~

Sesekali suara binatang malam bersenandung. Kereyang dan jangkrik pamer suara. Kunang-kunang tidak mau ketinggalan. Walau mereka tidak bisa menyumbangkan suara merdu untuk mengisi kesunyian biar indah. Mereka menyumbangkan lampu disko dari tubuh mereka. Berikan keindahan malam ini. Apalagi di alam terbuka seperti ini. Bermalam akan memberikan ketenangan dan kedamaian dengan cara menghayati keheningan malam dan kebeningan kemahabesaran-Nya. Malam ini malam purnama lagi. Menaburkan wajah putihnya menghiasi keindahan bumi kelam. Menyapa tubuh letih Ramses dan Mardon jadi bersinaran. Semakin semarak saja malam ini.
“Sungguh indah malam ini ya, Don?”
“Ya, Ses.”
“Megahnya keindahan ini kalau kita hayati dengan perasaan jiwa. Enak, untuk melupakan kepenatan dan keletihan yang dirasa.”
“Betul kali, Ses.”
“Oh ya Ses, kini kita tinggal berdua lagi. Semuanya sudah tiada. Supaya kita bisa mengantisipasi hal yang terjadi di antara kita, lebih baik kita berjalan jangan berpencar lagi. Kita berjalan beriringan saja. Kalau berduakan, kekuatan kita bisa lebih besar daripada sendirian.”
“Benar juga katamu, Don. Aku setuju usulmu. Don, arah yang kita tuju adalah menaiki tanjakan Mungguk rendah itu,” tunjuk Ramses pada Mungguk itu.
Mungguk itu terpampang dengan ketenangan. Mardon melihat arah yang ditunjukkan oleh Ramses. Mardon mengangguk-angguk kepalanya tanda mengiyakan apa yang dikatakan Ramses. Karena mata sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya mereka berangkat ke alas tidur, mengejamkan mata. Tidur mereka pulas.
Baru tersadar saat mentari ufuk timur dengan sinar garangnya membelai tubuh mereka. Serasa menghanguskan kulit saja. Panasnya minta ampun. Duluan bangun adalah Ramses. Dia lalu membangunkan Mardon.
“Don, bangun sudah siang. Kita lanjutkan lagi perjalanannya.”
Mardon bangun dengan terigas. Tenda digulung dimasukkan dalam ransel. Ransel ditangking Ramses di bahu. Perjalanan mereka lanjutkan lagi dengan berduaan saja. Jalanan setapak tetap mereka lalui. Sambil berjalan mereka melihat sinar terang di atas Mungguk.
“Don, lihat itu. Lihat sinar terang itu. Itu pasti cahaya tongkat tersebut,” seru Ramses penuh kegirangan.
“Betul, Ses. Syukurlah akhirnya kita menemukan juga. Tidak sia-sia pengorbanan kita. Walau hasilnya ini ditebus dengan kematian saudara kita ya, Ses?”
“Betul katamu, Don. Mari kita cepat kesana!”
Semangatnya mereka melangkah kesana. Sebentar, sudah sampai mereka di bawah Mungguk itu. Mereka tertegun. Apa yang mereka lihat dari kejauhan saat malam hari. Penglihatan sepintas bahwa Mungguk ini tidak susah didaki. Itu praduga dan prakiraan mereka. Ternyata dugaan mereka dienyahkan oleh kenyataan yang ada dipampang mata terbuka. Bahwa Mungguk itu sulit didaki. Karena penuh tanjakan. Setiap tanjakan hanya berupa batu bersusun yang saling menempel antara satu dengan yang lain. Tidak ada tanah sedikit pun. Seakan batu bersusun itu dilekatkan oleh lem yang keras. Lem batu. Sungguh ajaib. Setiap batu membentuk undakan menuju ke atas Mungguk, daerah Mandi Bintang. Mendaki batu bersusun itu harus berhati-hati. Kalau tergelincir nyawa taruhannya. Karena kita akan bergulingan menghantam batu di bawah, sudah siap menerkam dan melumat tubuh kita tinggal serpihan.
Ramses mengeluarkan peralatan untuk mendaki. Mardon juga sama. Mereka mulailah mendaki hati-hati. Antara satu dengan yang lain saling mengawasi. Agar kalau terjadi kecelakaan mereka bisa saling menolong. Semangat jaya terus mengudara, tenaga kuat sudah mengental, berpadu jadi satu dalam gerakan pendakian Mungguk ini.
Akhirnya mereka sudah mencapai tepian atas Mungguk. Sekali sentakan mereka sudah akan menginjak atas Mungguk yang berupa pedataran luas. Mereka kaget. Karena dibalik sinar itu berdiri seorang wanita tua. Masih berwajah cantik dengan pakaian kuning keemasan. Masing-masing serentak mencabut pistolnya yang mendekap di samping kiri pinggang. Mereka telah menginjak atas mungguk. Wanita tua sepertinya sedang merapal mantera. Lalu tangannya teracung ke arah Mardon.
“Awas Don, tiarap!” seru Ramses tahu gelagat.
“Ah…,” Mardon terkejut.
Tapi terlambat gerakan yang dilakukannya. Terdengarlah jeritan Mardon menyayat kalbu memecahkan dinding langit, membuyarkan bisikan angin, melembutkan tatapan garang sang mentari. Jeritan mengakhiri kehidupannya.
“Mardon. Tidak!!!” pekik Ramses garang.
Tangannya tergapai untuk menangkap tangan Mardon yang terlempar ke bawah Mungguk. Tangan Ramses hanya menangkap angin kosong. Tubuh Mardon terus meluncur deras.
Kile-Kile Jantung, desis Ramses bergumam.
Ilmu ini adalah ilmu sangat langka. Hanya dimiliki oleh orang tua dari pedalaman. Ilmu ini membunuh orang dari jarak jauh tanpa bersuara. Hanya membaca rapalan lalu menunjuk orang yang diinginkan maka orang yang ditunjuk itu akan meninggal seketika. Karena jantungnya putus atau pecah. Jadi, ilmu ini menyerang organ bagian dalam.
“Bangsat! Jahanam! Aku bunuh kamu! Matilah kamu!” seru Ramses memuntahkan peluru timah dari pistolnya.
Mengarah pada wanita tua itu. Tapi dengan sebat wanita tua itu sudah menghilang. Hanya suara tertawanya saja yang terdengar. Sering berpindah-pindah tempat. Ramses terus mengamuk. Pistolnya terus bersenandung menuju wanita tua itu, seperti suara petasan bernyanyi. Hingga dia kecapaian, karena tembakan yang dilepaskannya. Tidak ada satu pun yang mengenai tubuh wanita itu. Kini wanita tua itu sudah di hadapannya.
Tamatlah riwayatku, Ramses lirih berbicara.
Dilihatnya wanita tua itu sudah siap untuk membunuhnya. Tapi jadi batal. Setelah wanita tua itu melihat jelas wajah Ramses dalam jarak dekat begini.
“Ah, dia! Tidak mungkin…! Tidak mungkin….!” Pekiknya keras. Lalu dia menangis mengguguk.
“Aku telah bersalah padanya.”
Inilah kesempatan buatku menghabisinya.
Ramses mengumpulkan sedikit kekuatan tenaganya. Digunakan Ramses kelengahan sesaat wanita tua itu. Pistolnya pun berbicara pada si wanita tua.
“Jangan Ramses, anakku! Hentikanlah!” serunya mencegah.
Namun kecepatan peluru tidak bisa dicegah lagi. Dia terus melaju. Terdengarlah suara petasan Dor.
“Akh… Teganya dirimu anakku!.”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut si wanita tua bersama terlihat gapaian tangannya melejang.

Balai Berkuak, 25 April 2004
~~~&&&~~~
CATATAN :
Cerpen ini dibuat untuk mengenang keindahan Pantai Pulau Datuk dan sekitarnya serta memori saya yang masih tertinggal di pasir putihnya disana…………!

0 comments: