Wednesday, July 18, 2007

Setetes Dawat Buat Odhy’s
Oleh : M.Saifun salakim

Saat kubaca lembaran pertama surat kabar Pontianak Post tertanggal 8 Mei 2005 tidak tertulis namamu. Lalu yang terbaca dan terpandangku hanya cerpen Agus Wahyuni, Nurhalimah Usman, dan Sajak Fantasi Helai Daun 1,2, dan 3 karya Pradono Yanku.
Pradono Yanku termasuk salah satu senior pembimbingku dalam menapaki kegemilangan dunia sastra. Seringkali aku berkonsultasi dan minta pendapat padanya. Setiap kala dalam hitungan waktu bernyanyi. Saat kuinjakkan langkahku di tanah dia berada, kota hantunya. Sekarang tempat tinggalnya lebih dikenal dengan sebutan Bumi Khatulistiwa atau Pontianak City.
Bang Dono, sapaan hangat, kupanggil namanya setiap putaran detik berlalu. Ketika kami habiskan hari memakan butiran-butiran kesegaran sastra dbalik menempelnya embun malam yang bergantungan dilapaz cinta rumput bersujud simpuh pada Allah. Sehingga badan tetap menyegar, meninggalkan rasa kantuk yang mendera. Yang ada hanyalah kenikmatan saja. Itu kulakukan agar segala hasil karya yang kuciptakan bisa bernilai tinggi di mata orang-orang pecinta sastra. Mungkin saja dapat bersarang telak di otak masyarakat Bumi Khatulistiwa saat ini, yang masih rendah menghargai karya sastra penyairnya.
Karena menyukai hal-hal yang berbau kesusasteraan, maka pecahan-pecahan cerpen dan sajak di surat kabar itu kusimpan dalam lemari, tempat kumenyimpan buku-buku pelajaran dan bacaanku. Rencananya serpihan surat kabar itu akan kukliping sebagai penambah wawasan dan khasanah perbendaharaan kesusasteraanku.
Entah mengapa di hari Jumat ini. Hari yang penuh kemuliaan dan barokah ini. Kutergiur untuk menelan berita-berita yang lain dari surat kabar itu, yang disimpan temanku Tito di bawah meja ruang tamu. Kuraih surat kabar itu dengan kebanggaan. AKu pun mulai menelaah isinya satu per satu. Terbacalah olehku sekilas berita tentangmu di pojok kolom surat kabar itu yang ditulis sahabatku, Dedy Ari Asfar. Semasa sama-sama satu kampus. Sama-sama berjuang dahulu sekuat tenaga untuk meraih cita-cita dan harapan. Yang memang telah diplaning dalam benak untuk direalitakan dalam kehidupan ini.
Alhamdulillah. Sahabatku itu terkena nasib mujur atau dapat dikatakan untung dua belas kali. Ia bisa berkenalan akrab dengan doktor ahli bahasa dan sastra. Doktor ahli bahasa dan sastra yang sudah dikenal banyak masyarakat bumi Khatulistiwa, Dr. Chairil Effendy. Lewat tangan dingin beliau itulah, sahabatku bisa meneruskan studi S2nya ke Malaysia.
Sejak saat itu kontak hubungan menghilang antara kami. Sebab kami sudah sama-sama mencari hakikat kehidupan masing-masing. Walaupun kadangkala kumasih merindukan memori itu. Ingin berbagi cerita masa lalu yang mungkin masih ngeres untuk diceritakan ulang. Atau sebaliknya cerita masa sekarang yang enak untuk diperdengarkan.
Ya. Benar sekali. Sungguh kebetulan. Sungguh kontras. Kagetku jadi beralasan. Ketika pijaran mata ini membaca tulisan sahabatku mengenaimu bahwa kamu sudah pergi ke negeri surgawi, menghadap Rabbmu. Rasanya aku belum percaya? Betulkah berita ini? atau hanya kebohongan saja? Berita pamer sensasikah? Tidak tahulah……………
Ketidakpercayaanku juga beralasan mengenai berita tentangmu. Sebab belum lama kita berpisah kala itu.
Bunga di taman kebersamaan kita masih meneriakkan keharuman dalam jiwa. Hembusan angin masih harum memenuhi rongga udara. Menembus jantung dan paru-paru kehidupan yang terdapat dalam kenikmatan terdalam. Segarnya. Apalagi kamu masih selalu mengumbarkan senyuman bak kilauan intan permata dengan disertai mulutmu berucap memberikan wejangan sastra padaku. Kumenyerapnya dengan baik bahkan wejanganmu masih kuingat sampai sekarang.
Wejanganmu, yaitu kalau ingin jadi sastrawan andalan, hendaknya kamu mengerjakan tiga hal pokok ini. Pertama, rajinlah membaca hasil karya sastra orang lain. Dalam artian untuk menambah wawasan dan mempelajari cara-cara orang membuat karya sastra. Kedua, rajinlah berkarya. Jangan sampai berhenti atau putus di tengah jalan. Terus dan terus dengan tiada hentinya. Ketiga, berkonsultasilah pada orang yang sudah pakar dalam bidang sastra, agar hasil karya yang kamu ciptakan mendapatkan masukan atau kritikan membangun. Yang sungguh berharga sebagai langkah perbaikanmu dalam berkarya untuk mengantarkan hasil karyamu ke gerbang yang berkualitas tinggi atau yang terbaik.
Selain itu, jiwa teduhmu selalui menaungi kepanasan hatiku. Tutur bahasamu yang lembut dan penuh keramahtamahan selalu kujadikan panutan. Kalau Allah memperkenankan ingin rasanya aku memiliki kelebihan seperti dirimu. Hingga wajarlah bila kamu kuanggap adalah guru pembimbing sastraku yang paling baik, selain sahabatmu yang lain.
Sebelum berpisah ketika itu. Kamu tengah merampungkan pengumpulan hasil karya sastra para penyair Kalimantan Barat untuk dibukukan bersama dengan penyair Kalimantan yang lainnya, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Antologi Penyair Kalimantan. Termasuklah salah satu penyair yang masuk kategorimu penyair Kalimantan Barat adalah aku. Yang proyek pembukuan itu dikerjakan oleh penyair Korrie Layun Rampan, penyair Kalimantan Timur. Katamu juga.
“Kalau bukunya sudah jadi maka para penyair yang hasil karyanya termuat dalam antologi itu akan diundang membacakan hasil karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kita yang dari Kalimantan Barat akan sama-sama mencari dananya. Kita akan sama-sama pergi ke Jakarta dengan membawa panji penyair Kalimantan barat.”
Tidak lupa kamu juga memberikan aku sebuah buku essaimu yang sudah diterbitkan yang berjudul ”Nasib Mendu; dan Sejumlah Renungan Sufistik Anak Melayu” yang penuh berisi ajaran kesufistikanmu untuk pengasah nalar dan iman agar menjadi mantap dan lebih baik. Buku itu juga adalah buku pemberi motivasiku untuk mengikuti jejak kesufistikan seperti dirimu. Lebih kental mengenal Allah.
Oh ya, Bang Odhy’s, panggilanku padamu.
“Terima kasih banyak atas oleh-oleh ini,” ujarku.
Kamu hanya tersenyum. Senyum kebahagiaan. Sebentar kamu berujar.
“Saifun, kalau puisi sufistikku sudah diterbitkan oleh penerbit dari Bandung. Akan kusisihkan untuk ente satu buah.”
Sungguh perhatian dia denganku.
“Alhamdulillah,” jawabku sederhana.
Mengenai puisi kesufistikannya itu sudah siap terbit. Mungkin dalam waktu satu bulan dan kurang dari dua bulan puisi itu sudah dirampungkan. Penulisnya yaitu Bang Odhy’s akan diberikan sepuluh buah buku sekaligus honorarium awal yang dibayar dengan sistem royalti dari penerbit. Sepuluh dari satu buah buku itulah, rencanaya akan diberikannya padaku.
Percakapan hangat antara kita waktu itu terus berlanjut sampai menjelang Magrib. Azan pun mengusik kehangatan itu. Menyuruh kita untuk melaksanakan kewajiban ibadah pada Allah. Kita pun sama-sama shalat berjamaah ke masjid Nursalim, yang tidak jauh dari rumahmu. Sampai menghabiskan shalat Isya sekalian. Kita masih sama-sama tunduk bersimpuh di masjid itu menghaturkan bakti pada Allah. Selesai shalat kita pulang ke rumahmu. Masih sempat kita mengobrol sebentar.
“Bang, kalau ada perkembangan sastra disini beritahu saya ya?” kataku.
“Insya Allah, Saifun. Saya akan memberitahukannya padamu. Masih nomor telepon yang lamakan?”
“Ya, Bang. Tidak berubah. Masih tetap yang lama.”
“Baiklah, kalau begitu Saifun. Oke deh.”
Kamu mengangguk-angguk tanda mengerti. Sebentar kemudian aku pamit pulang. Kamu melepaskanku dengan kehangatan jiwa seorang bapak dan guru yang dihormati anak muridnya. Itulah penggalan memori yang kurasa masih menghangat.
Tapi, aduh! Warta yang kubaca ini masih membuatku bimbang. Antara menerima atau tidak. Benarkah itu terjadi? Tapi, tidak mungkinlah sahabatku yang menulis warta ini berbohong. Karena sahabatku, kukenal konsisten dengan kejujurannya.
Subhanallah. Innalillahi wa innalillahi rojiun, kuucapkan kalimat itu dengan getaran sendu, sesendu jiwaku yang merasa kehilanganmu.
Tapi, aku sadar.
Ajal datang tidak pernah dapat diraba dan dia datang setiap saat sesuai dengan kehendak Allah. Mungkin Allah sudah punya ketentuan padamu bahwa umurmu cukup sampai disitu saja.
Kutata hatiku supaya bisa kokoh dan kuat bersabar. Walau serpihan sedih masih bersisa di aliran darahku. Aku harus bisa menerimanya. Walaupun kusungguh merasa kehilangan. Sebab belum tuntas rasanya kumenimba ilmu sastra denganmu sebanyak-banyaknya agar kubisa merasai kenikmatan air lautan cahaya. Biar aku sampai mabuk atau teler. Hingga rasa air lautan cahaya itu bisa kukecapi. Yang rasanya manis, tawar, pedas, asin, hambar, dan asam. Bila perlu juga, aku akan mendapatkan mutiara di dalam lautan itu yang selalu kudambakan dalam kehidupan ini.
Bang Odhy’s, di tempatku bertugas, yang jauh ini. Sungguh miris untuk menjengukmu. Membawakan kuntum kesturi dari keharuman taman hati untuk disemaikan di peristirahatanmu yang indah. Hal itu tidak bisa kulakukan waktu ini. Habis, jalan yang menghubungkan tempatku bertugas dengan kotamu, rusak berat dan berlubang sungguh dalam. Lubang itu membentuk danau buatan yang dalamnya mencapai empat sampai enam meter. Sulit untuk dilalui kendaraan bis. Apalagi akhir-akhir ini, musim penghujan sudah jadi sebuah langganan. Makanan setiap hari ke hari. Makin memperparah keadaan jalan penghubung itu.
Walaupun begitu, kumasih dapat tersenyum. Kumasih dapat bersyukur. Kenangan manis kita itu, sebelum kepulanganmu menuju rumah Allah tetap akan kuabadikan sepanjang zaman. Kamu tetap kukenang sampai kapanpun.
Sebagai ungkapan ketundukharuanku atas kepulanganmu ke negeri damai. Kuhanya dapat mengirimkan basah-basah doa di celah ranting-ranting pohon ketapang kering di sudut hatiku. Agar kamu bahagia di sana, bertemu dengan Allah. Selain itu, kuhanya dapat menitipkan selansir bait-bait olah pikirku untukmu. Agar kamu lebih tersenyum segar di sana.
Maaf ya, kuhanya dapat menyempalkan bait-bait terakhirnya. Karena kupikir bait-bait itu sudah mewakili apa yang kumaksud.
Bang Odhy,s, inilah oleh-oleh untukmu itu:
……….
Lalu bersamaan keharuman ini dari jauh
Yang masih membekas di taman kewangian memori
Kupetik setangkai doa angin yang penuh buah keikhlasan
Kutancapkan di kelambu-kelambu indah peraduanmu
Yang gembiranya bercengkerama bersama Tuhan
Dengan menyisakan efoni yang masih segar
; engkau adalah sahabat dan guruku yang paling baik

Balber, Medio mei 2005


Dipublikasikan di Pontianak Post, 17 Juli 2005

0 comments: