by: Pradono
Bukan mengada-ada bila dinyatakan bahwa sudah saatnya kita menyadari bahwa seniman juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat memahami eksistensi seniman dengan terbiasa dan berani mengatakan dan menerima pernyataan: “Bohong seniman tak perlu duit! Pernyataan ini menanggapi ungkapan yang lentur di lidah dan begitu saja meluncur, “Ah, seniman tak dibayarpun tidak apa-apa, mereka kan hanya mencari kepuasan batin!” Akhirnya, karya seni menjadi tidak berharga dan bernilai karena seniman dianggap sasaran empuk ‘proyek thank you’.
Konkretnya, apa pelukis tidak perlu duit untuk membeli kanvas, kuas, cat, figura, dan sebagainya. Apa koreografer dan penari tidak perlu berbusana saat menari. Apa sastrawan tidak perlu alat tulis dan kertas untuk berkarya. Apa musisi tak perlu alat musik. Apa kelompok teater tak perlu biaya untuk pementasannya. Dan seterusnya. Apa seniman hanya sim salabim. Hup! Jadi! Dan tak usah dibayar dan dihargai karya-karyanya? Apalagi tak perlu digubris soal hak ciptanya? Betapa dahsyatnya!
What? “Apa kata dunia!” kata si Naga Bonar. Lalu diapun berseru, “Wahai dunia, seniman juga perlu duit untuk beli beras, ongkos naik oplet, membeli buku untuk menambah wawasan, perlu tabungan untuk membiayai keluarganya, perlu membayar pajak sebagai ketaatannya kepada negara, perlu menyumbang rumah ibadah sebagai ketakwaannya kepada Tuhannya, dan seterusnya, dan sebagainya.“
Ringkasnya, seniman bukanlah sesosok manusia yang hidup tanpa makan, tanpa keinginan dan mimpi hidup layak sebagaimana manusia yang lain. Jadi, seniman sama dengan manusia yang lain. Seniman adalah sesosok figur di tengah suatu masyarakat, yang karena motivasi eksistensinya pro-perdamaian, pro-peradaban, dan pro-rakyat mampu bersikap kritis sekalipun dalam krisis dan berani mengatakan: Tidak!
Seniman (dalam makna sesungguhnya) berdiri di barisan golongan masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Kelebihan seniman, begitu orang lain menganggapnya, hanya diberikan kesanggupan untuk mampu ‘berbeda’ dalam mengekspresikan jiwa dan eksistensinya.
Konteks ini hanya sekadar meluruskan persepsi segolongan masyarakat bahwa mereka selama ini sesungguhnya telah terjebak dan tersempitkan wawasannya oleh imej yang memandang seniman dari wujud lahiriah (personal)-nya semata. Pandangan ini sesungguhnya salah, keliru dan akhirnya sekian lama menjadi virus yang menyesatkan. Virus ini telah mematikan daya kritis masyarakat sendiri sebagai gambaran pembentukan karakter bangsa alias character building yang gagal sehingga memandang sesuatu secara tidak bijak dan sekadar berapriori dengan kacamata retak yang buram.
Segala wujud lahiriah personal itu sesungguhnya hanyalah ekspresi individual seniman tertentu, tetapi telanjur menjadi tafsir bebas untuk mengidentifikasikan sosok seniman secara generalisasi. Akibatnya, tampakan fisik itupun tak jarang menjadi alamat negatif yang dilekatkan pada seniman. Rambut gondrong merupakan idiom dan simbol yang paling populer, lengkap dengan segala definisinya yang cenderung negatif. Padahal, kalau mau jujur dan meluaskan pandangan, ada barisan panjang seniman yang berpenampilan parlente, necis, rapi, sopan, dan sebagainya bahkan tidak sedikit yang eksis dengan kepala plontos.
Jadi, bukan mengada-ada bila sekarang saatnya semua menyadari bahwa seniman secara personal juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.
Tak ada salahnya mulai mengubur dalam-dalam virus yang telah mematikan daya kritis kita dan menyingkirkan kacamata retak yang buram. Dengan demikian, akhirnya dapat bergandengan dengan seniman membangun peradaban. (*)
Penulis adalah Ketua Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak dan Sekretaris Dewan Kesenian Kalimantan Barat.
Wednesday, July 18, 2007
Bohong Seniman Tak Perlu Duit
Posted by SANGGAR KIPRAH at 10:32 AM
Labels: ESAI PRADONO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment