Tuesday, July 24, 2007

Bercinta dengan Laut
Oleh: M. Saifun salakim

Subuh baru saja usai di ranting waktu. Deritan senyumannya mendorong tanganku melipat sajadah yang bergambar masjid coklat. Yang kugunakan dalam salat subuh barusan. Sajadah itu kuletakkan di meja belajar dengan penuh kerapian. Seterusnya kutinggalkan kebisuan kamar. Tak ingin sedetik pun tertinggal untuk menikmati lautan.
Derap langkahku yang kasar terbaca oleh ibu. Sama. Sudah selesai juga melaksanakan salat subuh. Agar tidak kepergoknya kutambah kecepatan langkah ini.
Aku tak ingin ibu bertanya macam-macam. Mengapa subuh ini aku keluar? Apa yang kucari di subuh ini? Mengapa aku tidak membantunya bekerja di dapur? Menyiapkan peralatan untuk membuat kue yang akan dititipkan di kantin Ibu Makrifah. Menambah penghasilan setiap harinya. Tak ingin.... capek aku menjawabnya. Nantinya....
Aku juga heran pada diriku sendiri. Mengapa subuh ini aku bersemangat untuk pergi ke lautan. Ingin melihatnya. Ingin memandangnya. Seakan jiwaku dituntun oleh kekuatan tak terlihat. Kekuatan apa ya? Kekuatan siluman atau kekuatan malaikat? Sepertinya aku ceria saja menuju ke sana. Seakan tidak ada beban penderitaan yang kubawa. Seakan-akan aku juga akan mendapati kekasihku yang lama kunantikan dalam seribu kerinduan. Kerinduan untuk menyatukan perasaan yang sudah lama membeku biar mencair lagi.
Subuh ini. Sungguh. Aku tak pernah bisa memahami maknanya. Aku diikat rasa indah mendalam. Dengan menyaksikan riak air lautan yang tenang tak beriak mendayung bahteranya dengan damai ke pantai. Memerciknya pelan-pelan. Seperti jatuhnya butiran embun di dedaunan hijau pagi hari. Ia membongkar muatannya berupa kedamaian dan kesegaran meruakkan jiwa ke langit kayangan. Aku semakin terhanyut dibuai perasaan damai. Apalagi senandung angin bernyanyi dengan merdunya. Mengajakku untuk bernyanyi. Aku mengikutinya tanpa protes apapun. Tanpa aku ketahui bahwa waktu terus saja dimakan peredarannya. Sehingga ia mulai pamit diri. Ia ingin istirahat sebentar di peraduannya. Melemaskan sendi-sendi tubuh yang pegal linu biar pulih kembali seperti apa adanya.
Aku merasa kecewa. Sungguh kecewa. Karena terlalu singkat subuh indah ini berlalu dari kenanganku. Coba saja tiap daur yang ada selalu menampilkan subuh indah begini dengan suasana panorama lautan juga seperti ini. Sudah dipastikan aku tak akan kemana-mana. Aku akan terus berdiam diri di sini. Berkeluarga. Beranak pinak.
Padahal sebenarnya sebelum aku berjumpa panorama lautan yang begitu indah di subuh ini. Aku paling membencinya. Aku paling alergi dengannya. Aku mual dan muak setiap kali teman-temanku menceritakan keindahannya. Karena pemikiranku waktu itu bahwa lautan tak pernah memberi kenikmatan apa-apa padaku. Lebih enaknya aku menikmati daratan dan menaklukan keperkasaannya yang selalu menantang adrenalinku, terbangkitkan. Menggelutinya. Sampai ia menyatakan menyerah setelah kutaklukan. Karena aku lebih perkasa darinya.
Kalau teman-temanku ingin mengajakku rekreasi laut atau rekreasi untuk menikmati keindahan pantai, aku selalu menolaknya secara tegas. Aku sungguh membencinya. Sampai mati pun aku tak akan mau sudi menikmatinya. Mengapa aku terlalu membencinya? Mungkin jawaban yang dapat kuberikan adalah lautan bagiku begitu angkuh dengan keluasannya. Lautan terlalu rakus dengan kedalamannya. Lautan terlalu beringas dengan kekuasaannya. Secara otoriter memaksa manusia untuk mengidolakannya. Pokoknya lautan begitu terlalu.... Teman-temanku hanya mengurut dadanya dan memberikan aku sebuah gelar, manusia abnormal. Antipati pada keindahan lautan yang lebih yahut daripada daratan.
Aku akan marah kalau mereka berani membandingkan keindahan lautan dengan keindahan daratan. Apalagi menjelek-jelekkan daratan yang selalu kupuja-puja seperti pangeran yang selalu memuja-muja putri nirwana.
Teman-temanku memintaku berpikiran bijaksana. Jangan terlalu fanatik buta. Dengan hanya mengidolakan keindahan daratan. Teman-temanku memberikan argumennya bahwa keindahan di dunia ini terdiri dari dua keindahan, yaitu keindahan lautan dan keindahan daratan. Dua keindahan itu selalu berjalan beriringan tapi tak pernah bertemu. Kapan ya dua keindahan itu akan bertemu?
Karena tak bisa meruntuhkan keteguhan imanku yang selalu setia memegang prinsipku yang hanya mengidolakan keindahan daratan. Akhirnya mereka mencapku manusia mati suri. Badanku yang sebelahnya mati. Badanku yang sebelahnya lagi hidup. Seharusnya, dua badan itu selalu hidup dan terus hidup. Baru dikatakan normal atau wajar. Aku tak pernah mau ambil peduli dengan gelar baruku itu. Karena hanya aku yang mengetahui badanku sendiri. Aku tetap manusia normal. Pedulikah dengan gelar macam itu.
~~oOo~~

Aku selalu memperhatikannya. Dua minggu ini. Pemuda setia yang setiap subuh selalu duduk antik di batu dengan tenangnya. Sejuknya batu yang didudukinya menghangati suasana hatinya bertambah damai. Dia selalu memperhatikan keadaanku. Tak jemu-jemunya. Tak bosan-bosannya. Saat seperti inilah membuat hatiku berdebar-debar. Ada gemuruh rindu di dada kalau sekali saja tak melihat pemuda itu. Ada getar asing bercokol di perasaan kalau setiap saat memandangnya. Membawakan imajinasiku ingin selalu bersamanya. Menyatu dengannya, bila perlu. Mungkinkah yang kualami ini yang dinamakan orang dengan jatuh cinta pada pandangan mata... entahlah, aku tak bisa menerka sejauh itu. Apakah aku betul-betul jatuh cinta atau tidak? Yang terpenting suasana perasaan seperti ini harus tetap selalu kunikmati.
Semakin sering aku menikmati suasana perasaan itu. Semakin aku dihantam perasaan ganjil yang setiap kala menghantuiku. Membayang-bayangi hidupku. Apakah pemuda itu benar bayangan hidupku untuk masa depan?
Ah... aku selalu membayangkan wajahnya yang begitu senangnya melihat penampilanku. Setianya setiap subuh berlalu. Mengeraskan perasaan ganjil semakin kuat memberontak dari dalam tubuhku. Menyuruhku untuk menjumpainya. Tapi aku masih berusaha untuk meredamnya. Agar aku tak menjumpainya. Akan naif sekali kalau aku menjumpainya. Murahan. Seberapa lama aku akan mampu membendung perasaan ganjil ini? Setiap detik. Setiap menit. Setiap jam terus merajam-rajam tubuhku habis-habisan. Agar aku menjumpainya dan menghilangkan kenaifan itu.
Hingga akhirnya aku tak mampu membendung lagi serbuan perasaan ganjil itu yang begitu gencarnya dan bertubi-tubinya menghantam kekokohan hatiku. Dinding pertahanan hatiku jebol dihancurkannya. Serpihan-serpihannya berserakan berkeping-keping terlampar sepanjang aliran darahku. Menimbulkan sebuah keberanian padaku untuk menyambanginya. Menyapanya dan ingin bersenda gurau setiap kala menghabiskan masa yang terus bergulir menurut perputaran nasibnya.
Aku berjalan anggun menuju ke arahnya. Menebarkan pesona yang kumiliki. Mendekati dia yang masih setia duduk tenang dan manis di sebuah batu datar di subuh ini. Riakku yang berirama menembangkan nyanyian suling anak gembala. Mendayu-dayu menusuk kalbu. Ikut terbawa alunan suka padamu. Pakaianku yang sederhana hijau berlumut kukibarkan sepanjang mungkin. Agar dia dapat melihatku secepatnya. Mataku yang biru seperti mata orang barat, kupamerkan padanya. Agar dia bisa melihat dengan jelas dari mataku bahwa saat ini aku sangat senang. Sehelai selendang melingkari leher jenjangku. Luas membentang sepanjang aliran pantai. Aku akan mengenalkan namaku yang pertama sebelum dia menanyakannya.
Namaku Ami yang diikuti panggilan kekerabatan Tsuna. Kalau digabungkan namaku menjadi Tsunami. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua orang tuaku tak kuketahui siapa mereka. Karena saat aku muncul, aku sudah tak pernah melihat mereka. Kami hanya diasuh samudera hijau sehingga tumbuh dewasa seperti ini. Aku memiliki dua kakak lagi.
Kakakku yang pertama atau tertua namanya Longnami. Orangnya penyabar dan berpembawaan tenang. Dialah yang sering menjadi kepala keluarga dari kami bertiga. Dia jarang memunculkan dirinya ke permukaan bumi. Sebab dia lebih suka menyucikan dirinya. Dia lebih menyenangi dunia spritualis. Karena dia ingin jadi katarsis. Kalis dan suci tak beralis. Bersih dari noda dan dosa. Dia ingin dengan dunianya itu, dia dapat mencapai kebahagiaan hidup sejati. Kebahagiaan hidup sejati yang selalu damai dan penuh kesejahteraan. Tak ada percekcokan. Semua berjalan sesuai dengan kodratnya. Karena semuanya memiliki kesucian hati masing-masing.
Kakakku yang kedua, Ngahnami namanya. Dia lain dengan kakakku yang pertama. Kakakku yang kedua ini lebih suka berdakwah dan mengajak orang-orang untuk menuju jalan kebenaran dan kebaikan melalui fatwa yang diberikannya. Dia pintar berdakwah. Sehingga pengikutnya banyak. Lumut, karang, terumbu, ikan, kepiting, dan hewan laut yang sejenisnya adalah pengikut setianya. Pengikutnya yang selalu tak bosan-bosan mendengarkannya. Walaupun ada yang tak mengindahkannya. Mereka tetap asyik saja mendengarkan fatwa kakakku. Katanya suara kakakku yang memberi fatwa sungguh sejuk mengalir dalam jiwa. Mendamaikan perasaan yang ada. Sehingga pengikutnya begitu akrabnya menjalin persahabatan dan kesatuan antarsesama mereka. Damai. Tenang. Tak lupa mereka beramai-ramai mengucapkan syukur pada Yang Maha Kuasa.
Cuma aku saja yang bergerak bebas. Bebas bergerak kemana-mana. Sesuka hatiku. Karena aku tidak mau terikat seperti kedua kakakku oleh aturan keinginan mereka. Karena sejujurnya, aku memang suka bebas. Selain bebas, aku orangnya pemanas. Jujur saja itu kukatakan pada kalian. Agar kalian bisa mempertimbangkannya. Jangan sampai membuat aku sampai manas. Jangan sampai membuat aku terusik. Karena kalau aku sudah terusik dan manas. Semua orang akan kulabrak. Kutendang. Kuterajang. Kutinju. Bahkan kubonyokan biar jadi tape sekalian. Walaupun orang itu besar atau kecil, aku tak peduli. Aku akan puas kalau dia sudah kumatikan. Lemas napasnya.
Sejak memandang pemuda yang begitu sabar, telaten, dan bersahaja itu, aku jadi banyak merenung. Seakan-akan magnet matanya menyuruh aku melakukan perenungan. Padahal alam perenungan adalah hal yang paling kubenci. Mengapa aku harus melakukannya? Kenapa aku malahan sungguh tertarik untuk melakukan perenungan itu? Apakah urat takutku sudah putus? Entahlah aku tak bisa menjawabnya. Yang kutahu pandangan pemuda itulah yang telah memotivasiku untuk melakukan perenungan. Aku mulai memahami bahwa dalam kehidupan juga diperlukan kesabaran untuk memuluskan jalan dalam menjalaninya. Ketelatenan harus juga ada. Kebersahajaan juga harus dimiliki. Tak lupa, aku juga memikirkannya. Sungguh sabar, telaten, dan bersahajanya pemuda itu duduk manis di atas batu memperhatikanku. Sebenarnya mengapa pemuda itu sendirian? Apakah yang dicarinya di sini? Apakah yang diinginkannya dariku? Mengapa pemuda itu selalu ceria setiap memandangku? Mungkinkah pemuda itu betul-betul mencari dan ingin memiliku? Ah… hingga…
Pemuda kesepian, aku siap menjadi teman sepimu dan mungkin lebih jauh lagi aku siap menjadi kekasih hatimu.
~~oOo~~

Aku tersentak dari keceriaanku. Karena ada seorang bidadari mendatangiku. Mengapa kukatakan bidadari? Karena kecantikannya setara dengan bidadari walau gambaran bidadari hanya kudapatkan dari membaca buku. Aku seketika ingin berlari atau menjauh darinya. Bila perlu aku menghilang seketika dengan jurus sulap sim salabim. Tapi ternyata itu tak sanggup aku lakukan. Kakiku tak mau beranjak dari dudukku yang rapi. Mungkinkah dia menebarkan lem pada seluruh tubuhku sehingga aku tak bisa bergerak. Aku hanya bisa menatapnya saja. Bidadari itu terus mendekat. Aku semakin gemetar. Gemetar yang menggigilkan seluruh tubuhku. Bukan karena demam tetapi lebih banyak disebabkan keterkejutanku dapat bertemu seorang bidadari dalam wujud yang nyata, bukan dalam dunia angan-angan. Bidadari itu sudah tepat di depan mataku. Dia mulai menyapaku.
“Jangan takut. Aku bukan hantu.” Suaranya merdu mengalun. Menepis keraguan dalam hatiku kalau dia bukan jelmaan hantu. Memupus kegemetaranku.
“Kalau kamu bukan hantu, lantas kamu siapa?” tanyaku masih tergeragap.
Sebentar kesadaranku mulai pulih. Tapi aku bicara masih saja terbata-bata. Maklum baru kali ini aku menjumpai gadis seperti bidadari. Pendaran keringat tubuhku turun ke pasir. Meniris pelan-pelan seperti tetesan hujan melumat air. Keringatku hilang tak berbekas.
Bidadari itu tersenyum. Senyumannya indah membuat aku terpesona. Sebab aku melihat lengkungan pelangi yang muncul dari dalam bola matanya. Indah.
“Aku, Tsunami,” katanya mengenalkan namanya. Tanpa kaku. Lancar saja ia bicara. Penuh keramahan.
Semulanya aku tak ingin mengenalkan namaku. Tapi hatiku menyuruhku agar segera mengenalkan namaku juga. Akhirnya bibirku tak bisa diajak kompromi lagi. Secara refleks dia mengenalkan namaku.
“Tirta.”
Selanjutnya keakraban terjalin. Keramahtamahan menyatukan kami. Aku merasa damai di sampingnya. Kedamaian yang alamiah.
Setiap subuh aku sering menemuinya. Menghabiskan sari hidup dengannya. Mereguk kedamaian lewat kesenangan yang dipampangkannya. Di atas bening-bening bulir tubuhnya yang mulus, tak ada cela sedikit pun. Di genggaman erat cintanya yang hangat dan mesra. Selalu diberikannya padaku. Seakan tak pernah habis-habisnya. Menghadirkan surga dalam hatiku saat ini. Penuh gumpalan kenikmatan yang tak akan pudar untuk selama-lamanya. Tanpa aku memahaminya bahwa aku telah mendalam melakukan percintaan dengannya. Berulang-ulang kali setiap subuh yang kulalui. Tak pernah bosan-bosannya. Dengan pasir dan pantai jadi saksinya dan pengawal pribadi kami. Menjaga kami setiap saat dari gangguan-gangguan yang dilancarkan oleh orang-orang yang iri dengan kebahagiaan kami.
~oOo~

“Tirta, kenapa kamu selalu menghindar dariku? Padahalkan kamu telah berjanji akan menjagaku selamanya. Sekarang mana janjimu itu,” depak Virna.
Virna adalah orang yang pernah menciptakan pelangi dalam hatiku. Orang yang sering menghiasi jantungku dengan senjanya yang alamiah dan indah. Orang yang pernah menjadikan sanubariku sebuah taman bunga beraneka warna. Yang bunga-bunga tersebut tak pernah layu dan terus memekar sepanjang masa yang selalu menebarkan keharuman. Orang yang pernah membuat aku merasakan betul-betul menjadi manusia. Orang yang mampu membuatku bahagia. Hal itu terjadi saat aku belum mengenal Tsunami. Kini hal itu tak ada lagi. Hilang tak berbekas. Sirna entah kemana. Yang ada hanyalah Tsunami. Wajar saja Virna menagih janjinya. Karena gelagatku telah menunjukkan perubahan yang signifikan, tak mau berdekatan dengan Virna. Membuat Virna harus bersikap tegas dalam meminta ketegasanku.
“Virna, janji itu sudah tak ada lagi dalam hatiku. Janji itu telah kubuang jauh-jauh. Sekarang janji itu sudah kikis bersih dalam hatiku bahkan dalam memori otakku. Untuk itulah, aku tak bisa memberikan janji itu. Karena barang itu sudah tak ada lagi dalam diriku. Sekarang pun aku ingin berterus padamu bahwa aku tak bisa melanjutkan hubungan kita. Jadi maafkan aku, Vir,” tandasku.
Virna kaget. Dia tak menyangka bahwa aku bisa berbicara semacam itu.
Dimanakah kasih sayangku selama ini padanya? Betulkah cintaku sudah pupus seperti apa yang telah aku ucapkan. Betulkah aku menyirna dalam jiwanya. Pengaruh apa yang telah mampu menghilangkan rasa cintaku padanya. Aku menatap matanya mencari kebenaran itu. Karena aku tahu dari ibuku bahwa indera mata jarang berbohong. Walaupun berbohong, hal itu dilakukan mata karena terpaksa.
“Apa maksud ucapanmu barusan. Bagaimana dengan cinta kita, Tirta?”
“Vir, aku tak bisa lagi mendampingimu. Aku tak bisa lagi sebagai teman seperjalananmu untuk merengkuh bahagia. Sebab jujur kukatakan padamu. Aku berubah saat ini karena aku sudah menemukan orang yang betul klop denganku. Ialah yang telah merubah aku seperti ini. Tapi aku senang. Karena dalam penampilan dan gayaku sekarang, aku merasa manusia yang betul-betul menikmati kehidupan. Aku betul-betul manusia yang mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tiada terkirakan. Vir, maafkanku. Hubungan cinta kita berakhir cukup sampai di sini.”
“Semudah itukah kamu melupakanku. Orang yang banyak menorehkan kenangan manis padamu. Orang yang banyak membantumu hingga dapat menikmati manisnya kehidupan, dulunya.”
“Ya. Sebab aku sudah tak punya cinta lagi dengamu. Mengapa musti aku paksakan lagi. Dulu memang cinta itu terus tumbuh dalam hatiku. Tapi sekarang cinta itu bukannya tumbuh malahan semakin mekar dalam diriku. Tapi cinta itu bukan untukmu, melainkan untuk orang yang kucintai saat ini. Yang muncul saat subuh menjelang. Aku doakan kamu mendapatkan orang yang lebih baik dariku,” kata Tirta melangkah menjauh dari Virna. Langkahnya dimulai dari santai kemudian mulai melaju. Virna berusaha mencegat langkah itu.
“Tirta……..”
“Maaf Vir, aku harus pergi…” Makin laju ia meninggalkan Virna.
“Tirta, kamu kejam. Munafik. Bangsat. Aku tak menyangka kamu bisa berbuat sekejam ini padaku,” Virna mengguguk. Hujan badai dari matanya mulai menjelas membentuk butiran bening yang tumpah ruah. Membanjiri halaman tempat ia terguguk dan terduduk lemas.
Ia tak menyangka begini akhir dari percintaannya dengan Tirta. Tirta yang dulunya dikenal santun. Selalu dikhayalkannya. Menjadi penjaga hatinya. Pemberi cahaya penerangan dalam kegelapannya. Tapi ternyata… semuanya amblas dimakan waktu. Keropos.
~oOo~

“Bapak-bapak lepaskanlah aku. Izinkanlah aku menemuinya. Perkenankanlah aku untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang kulakukan padanya. Agar ia tak berpikiran yang bukan-bukan terhadapku dan akan berimbas kepada kalian. Perkenankanlah aku menemuinya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku yang telah menghamilinya.”
“Tidak bisa. Kamu harus dihukum pasung. Karena kamu telah melanggar pantangan desa.”
“Jangan bapak-bapak. Aku jangan dipasung. Bu, tolonglah anakmu ini. Berikanlah pengertian pada mereka bahwa perbuatan yang mereka lakukan padaku adalah salah. Bu, bantulah aku dengan sekuat tenaga dan daya upayamu,” pinta Tirta pada ibunya. Ibunya yang selalu bijaksana dalam menangani segala persoalan. Mungkinkah saat ini ibunya masih bertindak bijaksana. Setelah mengetahui anaknya telah melakukan perbuatan besar yang telah mendatangkan bencana atau malapetaka bagi seluruh masyarakat kampung juga termasuk dirinya.
Tirta kelihatannya meronta-ronta. Ia berusaha melepaskan cekalan warga yang akan memasungnya. Ibunya tak bergeming sedikit pun. Seakan ibunya sangat marah padanya. Sesekali kening ibunya berkerenyat-kerenyit. Sepertinya ia melawan marahnya. Akhirnya pertimbangannya kabur berganti kemarahannya mencapai puncaknya. Hawa amarah lebih dominan menguasai diri ibunya.
“Anak keparat! Sialan! Mengapa kamu selalu tak mengindahkan nasihat ibu. Bahwa ibu sudah melarang jangan melihat lautan di saat subuh hari. Itu adalah pantangan desa. Sampai sekarang tidak ada yang melanggarnya. Kamu saja yang keras kepala. Karena kalau dilanggar maka akan datang malapetaka dari laut akan menimpa seluruh penduduk kampung. Gara-gara perbuatanmu seluruh masyarakat kampung mendapatkan imbasnya. Perbuatanmu dinilai sudah kelewat batas dan terlalu besar. Untuk itu, ibu tak bisa memaafkan kesalahanmu. Dan mulai detik ini juga ibu berkata bahwa kamu bukan anakku lagi. Kamu adalah anak pembawa sial. Pembuat malapetaka. Pasunglah ia. Buatlah ia menderita untuk penebus kesalahannya. Bawalah ia menjauh dariku. Aku tak sudi lagi melihat wajahnya,” perintah ibuku.
“Ibu….. Ibu …...” gapai tanganku memanggil ibuku dari gelandangan penduduk kampung menuju pemasungan.
~oOo~

“Tolong…. Tolong…… Ada Tsunami,” pekik penduduk Kampung Laut berusaha menyelamatkan diri ke Kampung Darat. Dari anak kecil sampai yang tua meneriakkan kata-kata itu. Mereka terus berlari mencari tempat selamat dari amukan Tsunami. Tsunami tak peduli dengan semua itu. Tujuannya hanyalah ingin menemukan Tirta. Tirta yang telah mengkhianati cintanya. Tirta yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menghamilinya. Tsunami terus berteriak marah.
“Mana Tirta? Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
Penduduk Kampung Laut mana ada yang bisa memahami apa yang diucapkannya. Terdengar oleh mereka, hanyalah dengusan suara hidungnya yang bergemuruh garang. Penduduk Kampung Laut terus menjerit histeris. Kegaduhan menjadi-jadi dan ramai. Jeritan dan tangisan kecil maupun besar bercampur aduk ketika tubuh mereka ditinju dan diterjang oleh Tsunami. Terlempar jauh. Bahkan ada yang mati seketika. Karena tenaga yang digunakan Tsunami melebihi dari yang standar. Tenaga yang dikeluarkan Tsunami, yaitu 19,4 skala richter. Suatu nilai kekuatan tenaga tubuh yang begitu besar.
Pekikan penduduk Kampung Laut tak henti-hentinya. Kebisingan menderu-deru berbunyi nyaring senyaring drum kosong yang dipukul dengan besi. Jalanan membanjir dan terus menghajar siapa saja yang berani menghalangi langkahnya. Menyapa awan-awan sedang bersantai di angkasa biru. Dengan cat warna-warninya yang begitu cerah.
Tsunami tak peduli. Beribu-ribu bahkan berjutaan penduduk kampung terkapar karena ulahnya. Ia terus saja berjalan gagahnya menuju Kampung Darat. Ia harus cepat menemukan Tirta. Biar cepat ia membuat perhitungan dengan Tirta.
Walau melakukan perjalanan yang cukup jauh juga. Berkil0-kilo meter bahkan beratus-ratus kilometer, ia dapat menemukan Tirta yang dipasung penduduk Kampung Darat.
Sebelum Tsunami datang, penduduk Kampung Darat yang memasung Tirta telah kabur duluan. Mereka takut dilibas tak berdaya oleh Tsunami.
“Tsunami, aku senang kamu yang datang,” kata Tirta gembira. Ia menemukan lagi keceriaannya yang hampir punah tadi. Ia telah berjumpa dengan kekasihnya. Ia berharap kekasihnya Tsunami bisa melepaskannya dari pasungan. Tsunami belum bergeming sedikit pun. Tirta mulai menegur kekasihnya.
“Tsunami, lepaskan kekasihmu ini dari pasungan ini. Lepaskanlah kekasihmu dari derita ini. Aku merindukanmu. Aku akan bertanggung jawab atas kehamilan itu. Aku akan mengawinimu. Tapi lepaskan aku dulu!”
Tsunami masih belum beranjak. Ia masih berpikir.
“Tsunami kekasihku, cepatlah! Aku sudah tak tahan lagi menangung derita pasungan ini. Lepaskanlah secepatnya aku dari derita ini.”
“Baiklah, Tirta. Aku akan melepaskan deritamu untuk selama-lamanya. Karena kamu tak pantas lagi menjadi kekasihku. Aku sudah kepalang tanggung terluka olehmu. Lukanya sangat pedih. Biarlah benih hasil cinta dan kasih sayang kita, aku yang menjaganya. Tirta keparat, bersiaplah kamu kulepaskan dari derita ini untuk selama-lamanya.”
Tersentak aku mendengar suaranya yang garang. Belum pernah kulihat Tsunami semarah ini. Apakah tadi aku telah berbicara yang salah padanya? Memintanya dengan tak sabaran agar melepaskanku dari pasungan? Benarkah hanya alasan itu. Ah, tak perlu jauh aku berpikir. Tapi apa maksudnya, akan melepaskan aku selama-lamanya dari derita pasungan ini.
Belum lagi aku memahami ucapannya. Tsunami telah menghajarku. Menamparku. Meninjuku. Menendangku. Memukulku. Hingga aku hanya mengaduh kesakitan saja.

Pontianak, 1 Juli 2006
~oOo~

0 comments: