by: Pradono
Entah siapa yang memulai. Lima kepala telah mengambil posisi. Satu persatu mulai menyatakan diri. Seorang darinya mengangkangi logika-logika. Seorang lainnya melepaskan embel-embel konvensi. Setiap diri beranjak memproklamirkan identitas. Semuanya mengukuhkan diri sebagai kepala berwatak pendobrak di tengah-tengah keramaian normatika.
Semua percaya pada visi masing-masing. Setiap mereka percaya bahwa pendobrakan hari ini akan sanggup menjebol benteng kemapanan kemarin. Mereka yakin bahwa masa depan akan tergenggam di telapak tangan keteguhan. Setiap diri yakin seyakin-yakinnya bahwa dengan menjebol dinding kiri konvensi berarti meruntuhkan dinding kanannya sekaligus. Sejak itu, merdekalah segalanya dari segala kemerdekaan yang terbelenggu kemapanan kulit kacang.
Atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk ini tak mampu lagi membendung tiap maksud dan segala sesuatu yang berseliweran. Segala realita singgah di pelupuk mata. Terhenti sekejap. Saling menatap. Sunyi. Senyap. Pengap. Tiba-tiba segalanya terungkap. Kepala demi kepalapun membentangwujudkan jatidiri.
“Aku tak ingin jadi epigon sebab aku lebih mulia daripada bebek-bebek.”
Sekepul asap dari sebatang kretek melesat dengan penuh keyakinan. Mengalahkan tebalnya empat kali empat meter dinding bujur sangkar yang melingkupi.
Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Sebisu angin malam di luar jendela. Cahaya bulan-setengah tampak malu-malu menempel di bingkai-bingkai kaca empat perseginya.
“Dalam otak matematisku, tersembul digit-digit kepastian. Satu langkah sama dengan sekian kali sekian. Perlawanan mesti dimulai dan harus berjalan dengan konsisten menuju puncaknya.”
Kamar dingin. Sedingin dinding-dindingnya yang dimesrai embun malam yang merayap menyapa dinihari. Lingkar cahaya bulan semakin menepi mengikut hasrat rotasi mengecup bibir cakrawala. Asap makin menyesak paru-paru, legam dilumuti kental nikotin.
“Inspirasiku yang tergantung di awang-awang melambai-lambai mesra. Tak hendak berhenti. Selalu menggebu-gebu ingin disetubuhi. Jari-jemari tinggal memetik satu demi satu.”
Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini terlemparkan ke atas ranjang. Biarlah ia terbuai bersama sekeringnya keringat di sekujur tubuh. Berbaurnya antara kepenatan dan kebuaian mesra itu. Tak pula ternafikan menegangnya persendian dan sekumpulan urat-urat.
Keliaran imaji itu tertangkap juga. Keliaran imajinasi selalu minta dilayani begitu anak kunci orgasmenya memutar mencari wadah pelampiasan. Akumulasi segala yang terlintas dan terlisankan telah terjinakkan.
Lembar-lembar waktu berlalu tak dihasrati hanya berisi kekosongan. Betapa kesedihan diri ketika terbentur pada kekosongan. Kehampaan di tengah-tengah riuh rendah keramaian. Betapa berharganya sekelumit imaji. Sangat tak sebanding dengan perlakuan angkuh yang menyelimuti diri. Ruang gerak imajinasi mesti diberikan keleluasaan.
“Hasil adalah masa depan. Karya adalah bayi manis yang mungil atas setiap eksistensi. Bukan eksistensi yang utopis yang merangkak pada ketinggian yang ujung-ujungnya bermuara takut digumpal kecemasan paling cemas akan kejatuhan. Eksistensi utopis berwajah retorik tak lebih abadi daripada selembar kekenyangan seekor nyamuk rakus, menghisap darah mangsanya, buncit, sayappun lunglai dan jatuh bergedebung pada sekotak lantai tegel putih.”
Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini kian terasa menuju kelegaan. Keringnya keringat di sekujur tubuh kian terasa bermakna. Ketegangan persendian bergulir melancarkan arus relaksasi. Hanya kepulan asap yang enggan meninggalkan ruang.
“Kehilangan kecerdasan memulai kalimat pertama adalah malapetaka besar bagi kelanggengan eksistensi. Setelah itu, jangan bermimpi mendaki gunung. Jangan berkhayal merekamkan kalimat abadi. Jangan mengigau bahwa besok pagi tersembul matahari.”
“Ya, malapetaka itu adalah malapetaka bersama. Malapetaka bagi yang berniat jadi pengabdi dan pelaksana kata-kata. Malapetaka bagi pengabadi sejarah. Malapetaka bagi malapetaka negeri yang mengabaikan kata-kata. Malapetaka bagi malapetaka bagi rakyat dan pemimpinnya yang mengabaikan sejarah.”
“Kita harus mendobrak dinding kebekuan. Negeri ini harus melek dari segala huruf. Segala kata-kata. Segala sejarah. Kita harus lebih gencar mencanangkan aksi pembacaan. Harus memelekkan diri dari segala keterpurukan di depan mata. Harus memelekkan hati bahwa belajar dari kesalahan adalah lebih mulia daripada masuk ke lubang dua kali bagai keledai tanpa kendali.”
Kepulan asap ternyata semakin berkontribusi memicu metabolisme adrenalin lima kepala di kamar empat persegi itu. Seorang demi seorang kian mengurai logika dan retorika. Tergambar upaya melepas diri dari keterkungkungan masing-masing ego-diri.
“Inilah konsekuensi eksistensi. Konsekuensi untuk memberikan kontribusi tanpa pamrih. Pamrih epigonis. Pamrih utopis. Pamrih oportunis. Koreksi atas kesalahan pemahaman dan faham mesti dilancarkan.“
Entah siapa yang memulai mengakhiri perbincangan. Tak ada negosiasi. Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Tetap sebisu angin malam di luar jendela. Setemaram cahaya bulan-setengah yang masih tampak malu-malu dilingkup awan mendung.
Hanya atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk yang kini sedikit merasa lega. Kamar bujur sangkar ini kini baru mulai sempat menghirup keleluasaan dan kelegaan. Bendungan tiap maksud dari lima kepala itu kini perlahan-lahan merembeskan udara segar senapas dengan antiklimaks adrenalin mereka.
Kini yang tinggal hanya Kamar 9B bertemankan keheningan. Kebisuan. Kesunyian. Dialah yang akan menjadi saksi perjalanan para pengabdi dan pelaksana kata-kata yang kini tengah asyik terbuai mimpinya sendiri-sendiri. Esok siang mereka akan menyaksikan mataharinya dan kembali bertarung dengan realitas di negeri setriliun janji dan retorika. Entah siapa yang memulai. Namun, konsekuensi harus dilancarkan. (*)
Tuesday, July 24, 2007
Kamar 9 B
Posted by SANGGAR KIPRAH at 8:12 AM
Labels: CERPEN Pradono
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment