Tuesday, July 24, 2007

F e n o m e n a l
Oleh : M. Saifun salakim


“Kita mau kemana, Ndi?”
“Tenang saja, Far. Kamu jangan khawatir. Kita akan ke tempat yang indah. Tempat yang tak pernah terpikirkan dalam benakmu.”
“Busyet. Jauh sekali tempat itu,” umpatku.
“Jangan-jangan kamu membawaku ke tempat yang tak benar.”
“Tak mungkinlah, Far. Aku akan menjerumuskanmu. Kita kan sudah berteman lama sekali. Masak aku tegaan padamu. Tak mungkinlah. Percayalah padaku, Far,” yakinkan temanku. Layaknya seorang jurkam meyakinkan publiknya.
“Percaya aku memang percaya. Tapi……. Kamu kadang-kadang punya niat menjahili juga.”
“Ini tidak. Aku serius kali ini. Aku ingin menunjukkan padamu sebuah realita kehidupan yang menarik. Yang selalu disisihkan. Untuk itu, kamu ikut sajalah. Ini cocok sekali untuk bahan analisis tesis otakmu. Akukan tahu kamu suka tantangan. Pasti yang kutunjuki ini dapat menyenangkanmu. Menyenangkan kajian logikamu.”
“Tahu saja kamu, Ndi kegemaranku,” cerocosku.
~oOo~

Aku dihempaskan pada realita ini. Realita kehidupan di Rangga Sentap. Sudah camuh.
Malam ini hingar bingar musik sejenis disko menikam jantung. Terbelalak. Hilir mudik burung-burung liar mengundang hasrat. Burung-burung liar yang selalu terbang di malam hari dengan memamerkan kemolekan tubuhnya. Dari kepala sampai kakinya. Mengajak siapa saja yang ada di situ untuk berbuai kasih demi sesuap nasi, katanya. Atau bisa jadi demi untuk menikmati kenikmatan semu yang fantastis.
Bau minuman beraroma kelas tinggi menyengat hidungku. Yang duduk bersama teman. Di salah satu warung remang-remang Rangga Sentap. Warung yang satu ini tergolong sedikit bersih dari kecamuhan. Yang letaknya tidak jauh dari bibir sungai Pawan. Karena di warung ini tidak memberikan ruangan untuk fly, geliat malam, dan sejenis kenikmatan semu lainnya.
Burung-burung liar itu asyik bertengger di sepanjang warung remang-remang Rangga Sentap. Dengan penuh rupa dan warna yang menarik dan memukai rasa. Pamer sensasi semuanya. Dalam rangka mengikat pelanggan. Orang-orang yang berkantong tebal. Biar dapat menciptakan terjadinya adu kekuatan tenaga dalam demi mengeluarkan keringat berkuah-kuah. Mencari siapa pemenangnya dari pertarungan tersebut. Seperti pertandingan tinju, sepak bola saja he… he…
Mengapa realita seperti ini harus ada? Padahalkan segala minuman keras, prostitusi, sudah dilarang pemerintah. Mengapa di sini masih ada prostitusi dan minuman keras? Apakah daerah ini tidak pernah dibersihkan dari kecamuhan?
Sebenarnya sudah ada. Tapi kekuatan sopoilah yang membuat mereka masih betah bertahan. Mengapa bisa jadi begini? Tidak bisakah kebersihan hadir di sini? Apakah selamanya daerah ini menjadi lingkaran dua sisi mata uang yang berbeda? Di satu sisi bernapaskan kebenaran dan satu sisinya lagi beraromakan kepalsuan. Apakah selamanya daerah ini pada waktu malam harinya menjadi dunia geliat malam tanah Kayong? Apakah? Mengapa? Apakah? Mengapa? Apakahhhhhhhhh?????
~~~oOo~~~

“Ndi, itu betulkah surau?” tunjukku pada sebuah surau yang terpandang tajam oleh mataku. Letaknya dekat bibir sungai Pawan. Tidak jauh dari warung tempat kami mangkal.
Suraunya terbuat dari dinding semen dan berlantaikan semen. Puncaknya membentuk kubah. Berdiri megah di antara kecamuhan. Ukuran bangunan surau itu kurang lebih 6 X 6 meter.
“Betul sekali. Memangnya ada apa kamu menanyakan hal itu? Apa ada yang unik? Aku lihat bentuknya sama dengan surau yang lain. Apa uniknya? Dasar writer, selalu ada saja yang diamatinya,” jawab Andi sambil sedikit mencolek pinggangku.
“Uh… Yang begini ni jadi fenomenal,” gumamku sembari menghindari colekan Andi.
“Sorry… colekannya meleset. Habis bukan penembak jitu sih,” kelakarku.
“Mau ditembak yang lebih jitu ya?” ujar Andi yang sudah siap melakukan tembakan tangannya. Tangannya terlihat terkembang padaku. Dengan tangan terkembang begitukan akan memudahkannya menuju tembakannya ke sasaran urat geliku. Tak bisa menghindar. Karena ruang penghindaran diblokir. Jalan satu-satunya adalah…
“Tidak mau ah!” tahanku. Karena aku rasakan cukup kelakar ini.
“Far, tadi kamu bilang bahwa surau itu menjadi fenomenal. Betulkah itu? Apa maksudnya?” tanya Andi ingin tahu dan penasaran. Mukanya beralih menatapku serius. Betul-betul ingin mendengar penjelasanku.
Mengapa surau itu begitu fenomenal di daerah kecamuhan ini? Mengapa surau itu begitu unik dalam kaca mata pandanganku? Apa keunikkannya? Padahalkan bentuknya sama dengan bentuk surau yang lain. Berbentuk bangunan luas yang mendalam dan ada kubah di puncaknya. Dari sudut mana aku menilai surau itu menjadi fenomenal? Itulah yang ingin diketahui Andi. Karena selama ini belum ada yang mengatakan itu. Ia saja yang sudah sering mangkal dan bertemu surau itu seribu bahkan sejuta kali, tak pernah menemukan kefenomenalannya. Aku yang baru saja bertemu puluhan menit sudah bisa menemukannya. Apa ia tidak penasaran.
“Ndi, cobalah kamu pikirkan. Surau ini begitu megahnya berdiri di daerah ini. Daerah yang penuh kecamuhan. Kamukan tahu bahwa surau adalah tempat muslim melakukan ibadahnya. Bisakah khusyuk orang-orang yang beribadah di antara kebisingan musik yang hingar bingar, kegaduhan manusia bercinta malam, dan kesenangan virus-virus kemiangan merusak kulit keimanan.”
“Ya sih, Far. Tapi… Saat orang-orang di sini akan melaksanakan ibadahnya, semua musik dan kegaduhan dihentikan sementara. Itu peraturan di sini yang tak pernah dibantah. Setelah itu baru dilanjutkan lagi.”
“Baguslah kalau memang begitu adanya. Ada toleransinya. Tetapi tetap saja ada kecenderungan negatifnya. Tak bisa menghapus image yang jelek dari lapisan masyarakat di sekitar ini. Jangan-jangan orang-orang yang ada di sini dalam melakukan kebaikan dan beribadah hanya sebagai tameng keburukan. Apa tak menyakitkan. Itulah yang aku anggap fenomenal. Selain itu, kefenomenalan lain adalah mengenai keberadaan surau ini yang yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai media dakwah bagi orang-orang yang mau berpikir dakwah. Untuk menyadarkan orang-orang di sini yang terjebak dalam kenikmatan semu agar bisa kembali pada jalan yang benar dan bisa menikmati kenikmatan hakiki, yaitu tulus dan sejuknya untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tenang dalam setiap aktivitas ibadah. Selalu akan berusaha mencari rezeki yang halal. Terus akan selalu menyukuri nikmat Tuhan dengan ceria dan lapang dada. Hingga hidup akan kita rasakan tidak terlunta-lunta. Karena kebahagiaan sejati telah hadir dalam hati kita. Kalau hati sudah bahagia dalam segala pernak-pernik hidup maka jiwa pun juga akan merasakan kebahagiaan. Memang agak berat untuk menjalankannya. Tapi kalau kita ingin mencoba dan berusaha serta tidak lupa berdoa memohon rida-Nya. Insya allah, semua itu akan terlaksana. Asalkan hal itu dilakukan dengan sabar. Belum sampai pada tujuan belum berhenti.”
“Betul juga katamu, Far. Baru kali ini aku mengerti kefenomenalan surau ini. Mengapa tak sedari dulu ketemukan hal itu ya?”
“Dasar lamber. Selalu telmi saja kerjaanmu, Ndi,” sentilku dengan senyuman ramah. Sedikit tertawa. Tawa terkulum.
“Lamber-lamber sedikit tak apalah. Asal tak bermulut ember sepertimu. Telmi-telmi sedikit ada untungnya karena saat ini perutku sudah keriting. Aku mau kamu jamin aku makan indomie. Perutku lapar nih,” cengir Andi.
“Huh…. Dasar kucing batu. Kerjaannya hanya makan melulu,” kataku.
Andi hanya terkekeh-kekeh. Ia tertawa riang.
“Tak berpengaruh. Yang pentingkan aku tak mati kelaparan. Bisa sial jadinya kalau aku mati kelaparan. Kalau kamu terserah…..”
~oOo~

Setiap malam aku mangkal di daerah Rangga Sentap. Dunia malam Kota Kayong. Tentu aku mangkal di warung biasanya, warung Pak Sukir. Warung yang bersih dari geliat malam dan kecamuhan.
Aku ingin mengetahui lebih jauh lagi kefenomenalannya yang ada. Selain pasar tradisional yang beralih fungsi menjadi pasar desah-desah, mabuk-mabukkan, judi, dan disko-diskoan, dan suraunya yang megah berdiri kokoh di atas tanah kecamuhan. Sungguh krusial untuk dipikirkan logika otak.
Malam ini aku sedikit beruntung. Aku ditemani Vita, salah satu burung liar Kota Kayong. Aku cuma minta dia menemaniku ngobrol. Berapa tarif ngobrolnya akan kubayar kontan. Dia menyanggupinya. Malam ini dia mengkhususkan untuk free dari kerjanya. Aku ngobrolkan tentang profesinya. Walau demi semua aku harus mentraktirnya habis-habisan. Aku tak perduli. Terpenting informasi penting akan kudapatkan. Tapi dalam hati aku sedikit kesal. Karena dari pembicaraan dengannya aku tidak mendapatkan apa yang ingin kudapatkan. Walau begitu aku berusaha tak menampakkan kekecewaan itu.
Yang membuat aku tertarik. Dia menceritakan padaku bahwa dia mempunyai seorang teman. Temannya adalah anak orang kaya tetapi terjebak dalam lingkaran setan ini. Padahal kalau ingin mengejar kekayaan. Sudah dia miliki. Sebenarnya dia mengejar apa? Kepuasan. Mungkin… pradugaku sementara. Ini menarik sekali. Temannya Vita juga seorang writer, berprofesi sama seperti diriku. Ini lebih menarik lagi. Sebenarnya apa yang dia inginkan ya?
“Kalau Bung Safar mau jumpa dia. Aku siap melobikannya untuk Bung. Mau Bung Safar?” kata Vita.
“Boleh. Aku sangat mau. Katakan padanya. Aku berharap sekali bisa jumpa dengannya,” jawabku.
“Akan aku usahakan Bung. Mudah-mudahan saja dia mau. Tetapi tarifnya sangat mahal Bung. Tujuh juta lima ratus ribu. Siap Bung?”
“Masalah uang bukan persoalan bagiku, yang penting dia bisa kuboking. Aku siap membayarnya kontan,” tegasku.
“Okelah kalau begitu, Bung Safar. Nanti besok malam tunggu saja dia di sini kalau dia sudi menemui Bung Safar. Kalau dia tak sudi, Bung Safar jangan berkecil hati,” kata Vita memberikan kepastian. Aku merasa lega. Aku berdoa semoga saja dia sudi menemuiku. Aku mulai menerawangkan pikiran sebentar.
Tuhan, temukanlah aku dengannya. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Dialah yang sungguh kurasakan memiliki fenomenal lebih di antara semuanya. Fenomenal daerah Rangga Sentap.
~~oOo~~

“Mengapa dia keluar dari surau? Apakah dia burung liar Kota Kayong yang sudah insaf?” desahku.
Mataku tak luput memperhatikannya. Karena rugi kalau kulepaskan keanehan ini. Keunikan yang semantis. Tak terasa dia telah berdiri di depanku. Aku kaget luar biasa. Dia adalah orang yang pernah kukenal dua tahun yang silam. Memori masa lalu terfilmkan lagi dalam benakku. Bagaimana keindahan dan kedamaian pernah kami rasakan berdua.
Keindahan baru terasa hambar ketika kami berpisah untuk menuntut ilmu. Dia yang pergi jauh meninggalkanku. Ke negeri seberang. Beberapa kali kami masih sempat berkirim surat dan berbagi cerita manis. Namun setelah surat yang kedua puluh tujuh, tak ada lagi surat yang berikutnya. Aku mulai cemas. Mungkihkah kamu sudah melupakanku? Atau sibukkah kamu dengan kuliahmu? Atau kamu sudah punya kekasih baru? Aku tak bisa menerkanya. Walau rindu masih mengental. Aku mencoba berusaha menepis bayanganmu. Agar aku tidak terlalu menyesak dalam kerinduan. Tapi aku tak bisa. Karena kamu sungguh berarti bagiku. Kadang aku mengeluh pada Tuhan, semoga kamu melayangkan kabar lagi dari sekian ribuan komunikasi yang terputus ini. Tapi apa yang kuharapkan tak kunjung datang juga… Aku hanya bisa memendam rindu. Berapa lama aku mampu bertahan?
“Ninik….,” seruku tergeragap. Terputus rasa suara di tenggorokkan. Ada rasa sedih bercampur senang menghantam karang hatiku. Sedih karena kamu terjebak dalam lingkaran setan seperti apa yang dikatakan Vita. Senang karena aku bertemu denganmu. Sekian waktu selalu kurindukan. Jika sekiranya kamu akan kembali kepadaku. Mampukah jiwaku menerimamu…
Ah, aku belum bisa memutuskannya.
Hi… hi… Ninikku tertawa kecil. Dia menertawakan apa. Menertawakan kelucuanku. Kelucuan apa? Aku berpikir, aku tak lucu. Apanya yang lucu?
Aku masih senang melihat tawamu. Tawamu masih riang seperti dulu. Tawa kecilnya tak pernah berubah. Cuma… hatiku mulai kebat-kebit.
“Safar, jangan kaget begitu dong. Masak jumpa doi yang sudah lama dirindukan kaget drastis begitu. Biasa saja. Silakan duduk. Aku tak ingin kekasihku mati berdiri karena kelamaan jadi robot,” katanya mempersilakanku.
Seharusnya akulah yang mempersilakannya duduk. Ini malahan sebaliknya. Tak wajarkan tamu mempersilakan tuan rumah duduk. Sudahlah. Hal itu tak perlu digubris.
Aku duduk di sebelah Ninik yang telah duduk duluan. Duduknya begitu manisnya. Kami saling berhadapan. Mata beradu pandang. Menelisik kedalaman hati masing-masing. Masih adakah gelora rindu itu di dada?
“Kamu, betulkah Ninik yang kukenal dulu?” sergahku untuk memastikan.
“Iyalah. Memangnya aku hantu. Aku masih Ninik kekasih hatimu,” jawabnya masih menyunggingkan senyuman termanis dan terindah. Aku membalasnya.
“Nik, aku bingung dengan kamu saat ini. Bisanya kamu terjerumus ke lingkaran setan ini dan menjadi burung liar pencari kenikmatan semu. Padahalkan kamu selalu alergi dengan hal ini. Itu ucapan yang pernah kamu ucapkan padaku waktu kita masih bersama dulu.”
“Ya, aku tahu itu. Aku tak menyalahkanmu mengatakan dan berpikiran seperti itu. Karena kamu telah mengetahuinya dari Vita. Wajar saja kamu menduga seperti itu. Syukurlah Vita telah melakukan tugasnya dengan baik. Kalau kamu ingin kejelasannya. Inilah kebenarannya. Semua yang dikatakan Vita mengenaiku adalah suruhanku. Itu kulakukan hanya ingin mengetahui sejauhmana reaksimu padaku, yang sudah hampir tiga tahun tak berjumpa. Kamu masihkah perhatian padaku? Rupanya kamu masih memilliki itu. Aku sungguh beruntung. Tak sia-sia juga aku setia padamu. Sebenarnya Far, kamulah yang telah terjebak olehku?”
“Bukan aku yang telah terjebak oleh ucapan Vita, tapi kamulah yang terjebak ke lembah nista?”
“Far, aku tak pernah akan terjebak ke lembah nista. Aku tak akan pernah jadi burung liar mengejar kenikmatan semu. Aku memasuki lingkaran kehidupan mereka karena aku hanya ingin tahu jauh tentang mereka. Bagaimana mereka menjalani kehidupannya dan seluk-beluk lain yang sering menyakitkan dan memojokkan mereka. Aku hanya mengumpulkan bahan untuk tulisanku sama seperti yang kamu lakukan saat ini,” jelasnya begitu gamblang.
Aku hanya terdiam. Hanya otakku saja yang terus berputar, tiada berhenti. Benarkah yang dia katakan itu atau suatu alasan untuk menutupi keburukan perilakunya?
“Far, aku tegaskan padamu bahwa aku bukanlah manusia bodoh yang rela menceburkan diri ke lembah nista. Otakku belum sinting, Far. Satu hal yang harus kamu ketahui bahwa sampai saat ini aku masih menyintai dan menyayangimu. Semua yang kulakukan ini agar aku selalu bertemu dan ingin bersamamu sampai kapanpun.”
Mantap sekali hal itu diutarakannya dengan ekspresi tenang, murah senyum, dan sederhana.
Ah, aku tambah bingung.
Rupanya Ninik sungguh menyayangiku. Mengapa tak sedari dulu sayang ini dia utarakan? Betulkah ini sayangnya? Sekian lama menghilang dariku tanpa pesan. Sekian lama membuatku perih dan mulas menanggung sayang padanya. Sekian lama membuatku menjadi gila karena rindu berat padanya. Itukah sayang?
Rangga Sentap? Mengapa semuanya menjadi fenomenal?
Pasarmu. Suraumu. Ninikku.
Burung liar pencari kenikmatan semukah dia? Atau dia adalah Ninikku yang dulu penuh dengan keasliannya? Betulkah dia menyayangiku setulus hatinya ataukah dia hanya berpura-pura?
Diriku? Mengapa kamu buat dalam fenomenal juga?
Dihempas oleh keragu-raguan. Dihempas oleh ketidakmengertian. Dihempas…
Teman-teman setiaku berikanlah aku sebuah solusimu. Bagaimana aku harus berbuat dan bertindak menghadapi fenomenal ini? Kirimkan saja solusimu ke emailku : Udhien_78@yahoo. Com……

Pontianak, 23 September 2006

1 comments:

Ikhsan said...

Dicoba saja dulu :-)