by Yophie Tiara
Seperti kemarin;
- masih terus kuingkari
bahwasanya jiwaku tak kunjung henti
mencari atas kuasa diri -
Aku sadar, tentunya
matahari dan bulan sepotong itu
tidakkah berjalan atas kemauannya sendiri
tapi satu kebulatan penuh lagi utuh
yang asik menyelaraskan hakiki
Mungkin aku saja yang malu mengaca diri
kemudian menemukan wajahku retak
dalam kepingin tak menentu
seperti rinduku yang belum jua rampung
Aku mengerti dengan sebaik-baiknya itu
aku rindu….mau…..
dan juga jemu
berperang antara rindu dan malu
bahkan takut dengan jemuku sendiri
Seperti kemarin;
- kurasa doa hanya sia-sia
manakala mendapati seluruh hidup
hanya berupa kepenatan semata
sebab dosa tak jua beranjak sepi –
Bolehkah aku pulang saat ini, Tuhan?
Pontianak, 5 Juli 1997
Saturday, October 20, 2007
DO’AKU DILALAP SEPI
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:30 AM 0 comments
Labels: PUISI
Tarian Drupadi
by Yophie Tiara
Merogoh saku. Kasar
Dilemparnya kepingan nyawaku
Berhamburan di atas lantai kusam
Tanpa ratap kupungut penuh harap
Kancing baju terbuka satu-satu
“cepatlah sedikit!” bentaknya sambil meludah
Di atas lantai kusam semakin buram
“Lekaslah!Aku tak pnya banyak waktu.”
Membayang raut sendu kekasih
Dan kuyu mata anakku
Mengiris hati
Tipis-tipis
“Hari ini di balai kota. Aku mau pidato tentang kesetaraan
Adam dan Hawa. Akh, mana mengerti kau! Kerjamu hanya menjual surat pada setiap lelaki.”
Menjilati tiap lekuk tubuh
Bau amis mulutnya menebar ke hati
Tak kuasa tolak segala mau
Ternyata duniaku hanya berakhir sampai di sini
Di lantai kusam yang semakin buram
Di bawah ketiak penuh borok
Membayang raut wajah sendu kekasih
Dan kuyu mata anakku
Mengiris hati tipis-tipis
27 Maret 2000
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:29 AM 0 comments
Labels: PUISI
UPACARA
by Yophie Tiara
Seekor gagak tersenyum rawan
Dan melati membalas senyum itu
Tak kalah rawannya
Mereka saling menjaga diri
Tak bertegur sapa
Di tengah nyanyian penuh
Teta-teki
Gagak yang mengudara
Berputar-putar
Menunggu lengah mangsanya
Sedang melati tiada henti
Terus menebar aroma
Membuat sepi kian sunyi
Gagak tersenyum kian rawan
Dan melati menebar aroma
Tersendiri
Aku pun menanti
Dalam bekunya udara
Sampai upacara berakhir
Sambil membaca Epitaf sendiri
Oktober ‘93
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:28 AM 0 comments
GUNDAH
by Yophie Tiara
Harus dengan apa kunyatakan rindu
agar kau paham bahwa betapa sukar
membingkai kenangan manis
yang berjejalan di benak gundah
Hatiku mengecut
keburu takut digasak kabar kabur
harus bagaimana kutahan rindu
janji perjumpaan bergulir lambat
tersendat urusan birokrat
senangnya bicara bilamana waktu setempat
Harus berapa lama rindu kan bertaut
hingga kebersamaan kita tak lagi berjarak
Pontianak, 4 Juni 2007
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:28 AM 0 comments
NISKALA
by Yophie Tiara
Kepada calon kekasih
Saat pertama kutangkap rautan cahya
di wajahmu yang dingin beku
kutahu ada hasrat menggeliat
yang menyadarkan aku tentang cinta
dan kepura-puraan pemiliknya
Setiap keindahan yang tercekam di mata
adalah karena kau penyebabnya
yang merasuk jiwaku dengan kasih
yang menghangat di ujung hari
kau semakin menggairahkan
untuk diselidiki dan dimengerti
Kau adalah bentangan Kapuas Raya
belum lagi kuhapal lekuknya
kutahu hidupku tak kan pernah sempurna
dari selain kedinginan
untuk selalu berada di sisimu
sepanjang waktu
Kesetiaan pengharapanku akan pengertianmu
terasa mengekalkan usia
dalam bahagia yang tak lagi utuh
lantaran karunia ini menyiksaku
perlahan hingga tiba pada kepastian
bahwa kau tak lagi menghendaki
kehadiran dan luapan kasih sayangku
Pontianak, Januari 1988
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:25 AM 0 comments
Labels: PUISI
NISKALA
by Yophie Tiara
Kepada calon kekasih
Saat pertama kutangkap rautan cahya
di wajahmu yang dingin beku
kutahu ada hasrat menggeliat
yang menyadarkan aku tentang cinta
dan kepura-puraan pemiliknya
Setiap keindahan yang tercekam di mata
adalah karena kau penyebabnya
yang merasuk jiwaku dengan kasih
yang menghangat di ujung hari
kau semakin menggairahkan
untuk diselidiki dan dimengerti
Kau adalah bentangan Kapuas Raya
belum lagi kuhapal lekuknya
kutahu hidupku tak kan pernah sempurna
dari selain kedinginan
untuk selalu berada di sisimu
sepanjang waktu
Kesetiaan pengharapanku akan pengertianmu
terasa mengekalkan usia
dalam bahagia yang tak lagi utuh
lantaran karunia ini menyiksaku
perlahan hingga tiba pada kepastian
bahwa kau tak lagi menghendaki
kehadiran dan luapan kasih sayangku
Pontianak, Januari 1988
Posted by SANGGAR KIPRAH at 9:25 AM 0 comments
Monday, October 8, 2007
In Memoriam Bulan
by: M. Saifun salakim
Muharam, kemuliaan dalam selimut tahun
Muharam pesonamu terhampar. Memancarkan cahaya keindahan dan kemuliaan di awal bulan ini. Merasuki sekujur tubuh insan, penuh dengan kegemilangan seperti terangnya lampu phillip berkekuatan 10 watt yang bisa menerangi seantero ruangan yang berukuran 12 X 33 meter, di mana saya sedang asyik merenungi begitu banyaknya taburan bintang bergumul dengan cahaya purnama mengimbas kesepian ini. Sampai-sampai cicak terlena dengan buaianmu. Lupa untuk pulang ke rumahnya. Sampai-sampai dia tertidur di kehalusan dinding atas kamar.
Bulan Muharam adalah bulan pertama dalam hitungan tahun hijriyah. Bulan ini adalah bulan saling kenal-mengenal, saling mengetahui antara satu dengan yang lain. Bulan kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah kemauan yang sedang lagi kasmaran. Mau dijadikan apa? Perkedel, roti tawar, sirup manis atau purnama mengimbas kemulusan kembang wangi memekar? Selalu dirasakan nikmat oleh mereka.
Pada bulan ini kamu datang dengan wajah purnama berseri membawakan saya oleh-oleh berupa setangkai bunga mawar putih. Memang melambangkan ketulusan dan keikhlasan jiwa untuk saling mengikat diri dalam hubungan yang lebih akrab. Intim. Bunga mawar putih adalah bunga mawar kesukaan dan kesenangan saya.
Bunga mawar yang kamu berikan masih segar dalam genggaman hari. Mekarnya dedaunannya terlihat begitu nyentrik dan memancarkan keharuman yang menyengat. Bunga mawar yang kamu berikan mengembang pesona setiap hari menjelang sehingga memunculkan ketenangan dan kedamaian dalam jiwa saya. Membuat saya tidak kesepian, ada teman yang mengingatkan tentang keromantisanmu. Setiap jengkalan koridor waktu yang terus berlari semakin jauh. Bila saya memandangnya.
~oOo~
Safar, keagungan dalam pemujaan oreon pulau idaman yang terindah
Sudah memasuki dua bulan hubungan kita berlanjut. Tetap terikat erat. Saya berpikir, mungkin saja di bulan kedua hijriyah ini, kamu akan membawakan saya oleh-oleh atau buah tangan, tetapi entah berwujud apa? Saya tak bisa menebaknya dengan pasti. Namun saya mengira-ngiranya, biasanya kamu akan membawakan hadiah sesuai dengan kejadian istimewa di bulan ini.
Bulan safar menurut orang-orang adalah bulan pemujaan untuk meminta sebuah keberkahan. Bisa juga bulan safar merupakan bulan untuk melakukan pembersihan kampung supaya dapat terhindar dari segala malapetaka dan bencana. Kegiatan pemujaan itu bermacam-macam, seperti kalau daerah Kakap, orang menamakannya Robok-Robok yang juga dipakai oleh orang Mempawah dan sekitarnya. Kalau di kampung saya, Kabupaten Ketapang dinamakan Mandi Safar dan yang pembersihan kampungnya dinamakan Caboh-Caboh Kampung. Setiap daerah pasti melakukan pemujaan itu walau dalam bentunk berbeda-beda, intinya tetap sama, yaitu mengharapkan keridhoan dan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa atau Allah SWT.
Kegelisahan saya menantikan kemunculanmu. Akhirnya terja-wabkan di keindahan senja saat ini. Saat benar-benar lukisan kanvas Ilahi mengguratkan warni-warni di lingkaran langitnya yang begitu orisinilnya. Apalagi ditambah seruling kerinduan si ombak yang mendayu-dayu, dengan tangan mulusnya menjamah dan menggulung kebiruan air laut saat menuju kemolekan si pantai. Berbagi kemesraan, kehangatan, dan kesyahduan kasih sayang yang mempesona. Canda ria dan sukacita tidak terkirakan.
Saya melihat dari kejauhan kamu datang dengan mengendarai sayap malaikat Jibril membawakan sesuatu di tangan kanan dan tangan kirimu, dengan mukamu yang menampilkan kecemerlangan wajah pepsodent. Saya belum bisa memastikan oleh-oleh apa yang kamu bawa itu, karena jaraknya terlalu jauh. Saya yakin bahwa oleh-oleh yang kamu bawa sungguh berharga buat saya. Saya pun merasa senang dan bahagia menyambut kedatanganmu.
Saya begitu terkejutnya menerima oleh-oleh darimu yang hanya berupa air dan daun andong yang bertuliskan huruf alquran, meminta sebuah keberkahan keselamatan hidup, dalam menjalani kehidupan di dunia maupun menikmati kehidupan di akhirat.
“Kalau seperti ini saya sudah punya,” kata saya menerima hadiah darimu dengan kerut kekesalan. Karena hadiah yang kamu berikan tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan atau impikan. Kamu dapat menangkap keganjilan sikap saya.
“Bulan, kamu tidak boleh kesal seperti ini. Saya tahu bahwa barang ini tidak berharga di matamu. Kamu jangan melihat bentuk barangnya tapi lihatlah ketulusan hati orang yang memberikannya. Selain itu hayatilah makna pemberian hadiah sederhana ini. Apa maksudnya?” katamu dengan kesejukan rembulan bersinar di tengah malam.
Saya hanya dapat terdiam . Mencerna omonganmu. Saya mulai mengaitkan hadiah pemberianmu dengan bulan ini sehingga saya dapat memaknainya.
Arti tersiratnya kejernihan dan kebeningan air bahwa saya dianjurkan atau diingatkan harus selalu berbuat sabar, tawakal, dan menjernihkan hati dengan melakukan atau melaksanakan kewajiban saya pada Tuhan Yang Maha Esa atau Allah SWT sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Begitu banyaknya. Sebanyak taburan bintang di langit yang jumlahnya tidak bisa diketahui oleh siapapun yang ingin mencoba menghitungnya. Allah SWT tetap melimpahkan sumber kehidupannya buat kita. Daun andong yang bertuliskan huruf alquran berisikan tentang keselamatan dan keberkahan dan ridho Allah SWT mengandung makna bahwa kita harus selalu memegang teguh kalimah Allah dalam mengarungi terjal dan berlikunya jalan sebuah kehidupan ini agar mendapatkan keberkahan dan kemuliaan hidup. Jangan sampai dilepaskan karena akan mengakibatkan kerugian besar. Orang yang selalu merugi untuk selamanya.
“Sungguh cerdas pemikirannya dan mulia sekali dia memberikan hadiah seperti ini pada saya,” ujar hati saya memujinya.
Saya menaburkan kembang-kembang purnama padanya yang dibalasnya dengan semprotan bau wangi kesturi sehingga kemilau dan keharumannya berpadu satu. Menebar. Menembang. Menyapa lembut mekarnya bunga melati dan mawar di taman kecantikan bumi hari ini. Meresap dalamnya pada intinya. Membentuk segumpal mutiara terindah berkilauan bianglala dengan menampilkan Kalbu Sebening Kaca, yang merupakan tembakan goresan tinta emas yang diukir oleh Imam Al Ghazali pada daun papirus yang selalu berkasih sunyi pada-Mu. Memusat dan membulat sebesar butir telur burung puyuh. Betul-betul berharga dan mahal!
~oOo~
Rabiul Awal, kejernihan memancar lewat benih yang ditanam
Saya tidak perlu repot-repot menantimu di awal bulan ini seperti bulan lainnya. Selama menunggu dua belas hari. Saya lewati koridor hari ini dengan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan berguna seperti bercocok tanam ubi, pepaya, tomat, labu perenggi, dan jagung. Selain itu saya juga menanam beraneka rupa bunga dari kembang sepatu, mawar, melati, matahari, edelwise sampai bunga samin harum kesturi. Hanya bersemi di dalam kepasrahan dan keikhlasan kalbu menerima segala sesuatu dengan mengharapkan ridho ilahi.
Benar apa yang terucap dari bibirmu saat itu. Kamu datang tepat pada tanggal dua belas di bulan ini. Kamu adalah orang yang tepat janji, penjaga amanah jiwa. Kamu membawakan saya oleh-oleh berupa butiran kalung mutiara yang berukiran huruf “M” yang indah dan apik. Kali ini saya sangat puas dengan pemberianmu. Langsung saja oleh-oleh pemberianmu, saya pakai di leher, namun kamu melarangnya.
“Kamu jangan memakai kalung itu di lehermu tetapi gunakanlah sebagai tasbih.”
“Digunakan sebagai tasbih. Aneh sekali...” pikir saya. Untuk mengetahui keanehan yang kamu buat maka saya meminta penjelasanumu.
“Mengapa kalung ini tidak boleh dipakai di leher, Cay? Padahal kamu tahu yang namanya kalung harus dipakai di leher, bukan dijadikan untaian tasbih. Itu namanya aneh.”
“Memang benar apa yang kamu katakan. Namanya kalung pasti dipakai di leher. Tapi untuk kalung yang satu ini lain pemakaiannya dari kalung yang lain. Kalung ini harus digunakan sebagai untaian tasbih, bukan dikalungkan di leher sebagaimana kalung biasanya. Karena kalung ini memiliki kemuliaannya, Bulan.”
“Oh begitu. Jadi apa kemuliaan kalung ini?”
“Kalung ini bisa dijadikan obat penenang kegelisahan dan kegundahgulanaan hati kita. Kalung ini bisa memberikan sebuah kedamaian dan ketenteraman lahir batin. Semua itu bisa didapatkan jika kalung ini kita gunakan sebagai untaian mutiara zikir. Tetapi kalung ini tidak akan memberikan reaksi apa-apa jika kalung ini dikalungkan di leher. Bahkan kalung ini akan bertambah suram sinarnya, yang lamban laun akan memudar dan tidak punya sinar cemerlang seperti sekarang ini. Jadilah kalung ini menjadi kalung biasa saja, bukan lagi kalung yang luar biasa khasiatnya,” jelasmu begitu panjang lebar sehingga membuat saya jadi mengerti. Saya membatalkan niat saya untuk memakai kalung itu di leher.
Ada yang masih membuat penasaran dalam hati saya. Selama ini dia belum pernah sepatah katapun mengucapkan kata cintanya pada saya. Apakah kata cinta itu tak perlu diucapkan? Apakah cinta hanya bisa diperlihatkan lewat ucapan dan tingkah laku?
Zaman sekarang ini cinta perlu sebuah penegasan. Kalau tidak, maka orang yang kita cintai akan lari dari kita. Karena dia menganggap bahwa kita tidak memiliki perasaan cinta itu. Saya akan menanyakan kata cinta itu padanya. Saya memberanikan diri. Saya tanyakan hal itu padanya.
“Cay, apakah kamu mencintai saya?”
“Bulan, saya menyukaimu.”
“Yang saya tanyakan bukan suka tetapi cinta,” seru saya sedikit cemberut.
“Bulan, kalau masalah mengenai cinta yang kamu minta dari saya. Untuk saat ini saya belum bisa menjawabnya. Suatu saat saya akan menjawab pertanyaanmu itu dengan tuntas dan jelas.”
“Kapan Cay?”
“Tenang saja Bulan, waktu itu pasti tiba.”
“Oh ya Bulan, nampaknya senja sudah meredup di bulan ini. Sebentar lagi teja akan mengimbaskan fajar di kemuliaan singsingan tangan rembulan pagi menjelang. Saya harus meninggalkanmu lagi. Saya akan datang pada bulan Rabiul Akhir. Sampai jumpa Bulan. Semoga saja sinarmu tetap cemerlang dan kalbumu tetap putih dalam menantikan saya hadir di hadapanmu,” kata saya.
Lalu saya membentangkan sayap Malaikat Jibril dan mulai meninggi menuju langit biru.
“Tunggu dulu, Cay. Kamu belum menjawab soal saya dengan tuntas. Kapan kata cinta itu kamu utarakan?”
Bulan berteriak melengking-lengking. Mengalahkan deburan ombak Pulau Datuk, Sukadana. Kamu tidak mendengarkan seruan saya lagi. Karena kamu sudah masuk dalam lingkaran persemayaman jalanan tirakat langit. Saya hanya kesal sendiri.
~oOo~
Rabiul Akhir, sketsa pendek keemasan dalam penuntun arah
Tidak repot-repot saya menunggumu begitu lamanya seperti bulan biasanya. Tanggal satu bulan ini kamu sudah hadir di hadapan saya. Saya melihat dari kejauhan kamu tidak membawakan oleh-oleh yang selalu kamu berikan pada saya sebagai kesan memori kita di bulan ini.
Dalam batok otak yang keras ini, saya berpikir lain. Mungkinkah kamu menyembunyikan oleh-oleh itu supaya saya jadi gregetan dan penasaran. Kira-kira hadiah apa ya yang kamu berikan pada saya? Biasanya kamu selalu memberikan hadiah istimewa buat saya sebagai bukti kasih sayangmu. Saya menunggu dengan sabar sampai kamu berada di hadapan saya.
Menggunakan tilikan mata yang lebih tajam setajam mata elang, saya mencoba menerka lebih cepat oleh-oleh apa yang kamu berikan pada saya biar tidak menjadi suatu yang surprise lagi. Tapi saya tidak menemukan itu.
Sama dengan bulan sebelumnya. Kamu selalu membawa kendaraanmu berupa sayap Malaikat Jibril, keramahtamahan gaya bahasa Mikail, dan sinar kejelian mata untaian zikir indah Israfil serta kamu menggunakan tongkat Nabi Musa sebagai penuntun arah langkahmu. Oleh-oleh yang kamu berikan adalah tongkat Nabi Musa. Saya kaget tak percaya. Bukan kaget karena senang diberi hadiah seperti itu tetapi karena timbul rasa kecewa yang meruak dalam jiwa. Kesal!
Pikiran saya menerawang jauh dan melambungkan angan-angan yang tinggi dalam menghantarkan pada sebuah kesimpulan. Kesimpulannya bahwa pemberian tongkat Nabi Musa ini menunjukkan jalan pikiranmu yang menganggap saya sudah tuaan. Kalau saya sudah tuaan kemungkinan besar kamu tidak suka lagi dengan saya. Hal ini menyiratkan hubungan kasih sayang yang kita bina hanya sampai di sini saja. Kalau sekiranya ada maksud lain dari pemberian hadiah ini, maksud apaan? Apa untungnya buat saya? Saya belum juga mengambil tongkat Nabi Musa pemberianmu.
“Bulan, kamu tidak suka dengan pemberian saya ini ya?” katamu lembut.
“A...a..pa...? Apa Cay?” sahut saya tergeragap setelah saya sadar dari khayalan panjang di lautan tak kelihatan tepiannya.
“Melamun ya?”
“Ehemmmm...” angguk saya pelan.
“Begitu rupanya. Bulan, saya mengerti apa yang kamu lamunkan barusan. Dengan pemberian tongkat Nabi Musa ini, kamu mengira saya mengatakan kamu sudah tuaan dan menyiratkan hubungan kita akan berakhir. Kamu juga menanyakan apa manfaat atau gunanya tongkat ini buatmu.”
“Kok kamu tahu jalan pikiran saya, Cay?” kejut saya.
Dia bisa membaca alam pikiran saya.
Kalau begitu saya harus berhati-hati dalam berpikir dan bertindak. Jangan sampai alam pikiran dan tindakan saya membuat dia tersinggung dan marah. Kalau dia marah, bisa berabe dan kapiran urusannya. Hubungan indah antara kami yang sudah dijalin erat akan terlerai. Semua itu tidak saya inginkan. Rugi besar jika saya sampai berpisah dengannya.
“Bulan, pemberian tongkat Nabi Musa yang saya berikan ini bukan menunjukkan saya menganggap kamu tuaan. Bukan. Itu adalah pemikiranmu yang keliru, harus diluruskan. Sebenarnya tongkat Nabi Musa ini saya berikan padamu karena dia bisa dijadikan penuntun arah langkah kakimu dalam melangkah ke depan. Mengarungi duri-duri kehidupan yang berserakan ini agar terasa manis. Di samping itu banyak kemuliaannya yang akan kamu dapatkan dari tongkat Nabi Musa ini.”
Terhenti suaramu tersendat. Kamu batuk-batuk kecil, sepertinya ada sesuatu yang mengakibatkan kesalahan teknis pada jalan pernapasanmu.
“Sebentar Cay, saya ambilkan air putih untuk menghilangkan ketersendatanmu,” sahut saya dengan bersemangat. Semangat 45.
Sebentar saja saya sudah muncul dengan membawa secangkir air putih. Kemudian air putih itu saya sodorkan padanya. Kamu menyambutnya dan mereguk air putih di dalam cangkir itu demi melancarkan tenggorokanmu yang sempat tersendat. Cangkir air putih itu kamu letakan di atas meja. Suaramu mulai lancar mengalir lagi.
“Terima kasih, Bulan.”
“Ya Cay. Jadi kemuliaan tongkat Nabi Musa yang lainnya apa Cay?” pinta saya ingin tahu lebih jelas.
“Pertama Bulan, tongkat Nabi Musa ini dapat digunakan sebagai pemberantas kemudaratan. Baik yang ditimbulkan oleh orang lain maupun dirimu sendiri. Tongkat Nabi Musa ini juga dapat menghindarkan dirimu dari kejahatan apa saja yang bercokol di bumi dan tongkat Nabi Musa ini selalu mendorongmu untuk berbuat kebajikan dan kebenaran.
Kedua, bila kamu sedang mengalami kehausan di tengah perjalanan yang daerahnya gersang, tandus, dan kemarau menyengat sedangkan di daerah tersebut tidak menunjukkan adanya setitik mata air pun yang dapat digunakan menghilangkan kehausan tersebut, maka kamu cukup memukulkan tongkat Nabi Musa ini ke tempat mana yang kamu sukai. Seketika itu akan terpancar mata air jernih dan bening dari bekas pukulan tongkat itu. Air itu sungguh bersih untuk kamu minum dalam menghilangkan kehausanmu.
Ketiga, bila kamu tidak menemukan transportasi atau angkutan laut untuk menyeberang. Padahal kamu ingin cepat sampai ke suatu tempat maka kamu cukup memukulkan tongkat Nabi Musa ini pada lautan. Seketika itu lautan tersebut akan membentangkan sebuah jalan untuk kamu lewati dengan jalan kaki atau berkendaraan darat. Kamu dapat ke tempat tujuanmu dengan cepat. Semua ini akan terjadi dengan izin Allah,” ungkapmu dengan panjang lebar dan penuh kesabaran serta ketawakalan yang menempati puncak kasihnya.
“Wow, begitu besar sekali khasiatnya, Cay?”
“Begitulah, Bulan.”
“Tapi, Cay...?”
“Tapiannya apa lagi, Bulan?”
“Tapinya adalah bagaimana caranya saya ingin mengembalikan air tidak mengalir lagi seperti biasanya dan lautan menjadi lautan seperti semula.”
“Itu adalah hal yang gampang dan sepele, Bulan. Kamu cukup memukulkan tongkatnya sekali lagi ke tempat itu maka apa yang sudah berubah itu menjadi berubah ke bentuk asalnya lagi. Tapi saya berpesan padamu: janganlah sekali-kali kamu gunakan tongkat Nabi Musa ini untuk berbuat kemudaratan, karena akan menimbulkan bencana besar yang akan menimpa dirimu sendiri. Ini ambillah tongkatnya,” katamu menyodorkan tongkat nabi musa sekali lagi.
Saya ambil tongkatnya dari tanganmu dengan menampilkan wajah close up keceriaan. Seiring bibir saya bergetar mengucap rasa puji syukur pada-Nya karena telah memberikan anugerah dan hidayah terbesar untuk saya. Alamiah.
“Terimakasih, Allah. Maha Suci dan Maha Besar bagi-Mu .”
Saya simpan baik-baik tongkat Nabi Musa pemberianmu supaya tidak di ketahui orang lain yang akan menyababkan kedengkian dengan kemuliaan ini. Biarkanlah selama mereka tidak tahu dengan khasiat besar tongkat Nabi Musa. Biarlah saya sendiri yang mengetahui khasiat besarnya ini.
Kebenaran apa yang kamu utarakan, terpamerkan dalam realita ini. Setelah saya mengalami kejadian sendiri. Semakin kuatlah tertanam kepercayaan dan kemurnian kasih sayang saya padamu. Kamu benar-benar orang penebar kasih sayang sejati. Mengharumkan semua daerah sekitarnya. Di samping itu, rasa keimanan saya pada Allah makin bertambah erat dan kokoh. Begitu tertanam ketal seperti akar kelapa yang erat dan kokoh menancap mesra di kelembutan tanah merangai butiran embun yang menempel indah di lobang pori-pori pernafasannya.
Bersama-sama. Kita merajut hari demi hari di bulan ini dengan buih deburan busa kasih sayang. Menampilkan atraksi atristik pada kemolekan alam bahari. Dalam menghabiskan embun kesegaran terlezat pada putaran koridor waktu di bulan ini dengn kesadaran tinggi. Sama-sama memahami kedalaman dan kesadaran hati dan batin masing-masing untuk saling mengisi kekurangan dan memberi segala kelebihan, berpadu erat bersatu. Memunculkan keputihan sinar cemerlang yang menziarahi tempat yang selalu merindukan kehangatan dan kelembutannya. Berbagi rata sama sisi. Balans!
~oOo~
Jumadil Awal, tembang syahdu di jalin ikatan kembang mewangi
Saya tidak banyak menghadirkan prasangka yang negatif padamu. Apapun yang kamu berikan pada saya akan saya terima dengan keikhlasan agar menghasilkan nilai ibadah. Walau barang yang kamu berikan tidak masuk hitungan dalam akal sehat atau rasional saya. Saya tetap menganggap apa yang kamu berikan sangt besar artinya dan sesuatu yang dapat dibanggakan. Spektakuler dan esentrik di mata cermin kesenian yang terpampang di alam keindahan harumnya kembang memekar di taman salju kehidupan.
Oleh-oleh yang kamu berikan di bulan ini adalah keramahtamahan gaya bahasa Mikail yang sangat banyak faedah dan manfaatnya dalam hubungan bermasyarakat. Karena dengan keramahtamahan gaya bahasa Mikail membuat sebuah hubungan yang damai, sejahtera, dan harmonis. Semuanya akan tercipta jika dibumbui dengan senyum pepsodent yang begitu segarnya. Putih melepah penuh panorama memukau.
Dengan keramahtamahan gaya bahasa Mikail, saya merasakan diri saya adalah orang nomor satu yang beruntung dalam kehidupan bermasyarakat. Karena setiap ada kegiatan untuk berbuat kebajikan dalam masyarakat, saya selalu diikutsertakan dan ditempatkan pada tempat yang utama. Rasa hati ini begitu bangganya. Semua ini saya dapatkan tak terlepas dari andil oleh-oleh darimu.
Cay. Cay. You is my life too in the world or justice day!
~oOo~
Jumadil Akhir, tabuhan rebana mengimbas kemurnian itikaf jiwa
Pelangi terlihat begitu eksotiknya di lintasan langit yang sedang mengadakan kenduri. Harum semerbaknya menghampar dan mengendusi hidung sanubari untuk mengekorinya. Apalagi ditambah pakaiannya yang berkembang warna-warni. Sungguh indah dipandang mata. Membuat pusatan cahaya mata tidak berbias ke lain arah mata angin. Semua terimbaskan di bulan ini.
Tetes-tetes air kepedulian mega putih yang membentuk tasik berdanau jernih yang dihuni oleh ribuan ikan kebanggan hati. Sungguh mempesona indera. Danau itu juga dihiasi keunikan tumbuhan karang dan rumput laut yang membuat suasana menjadi semarak dan ceria. Danau itu juga ditaburi oleh dengusan kecemerlangan mega komulus yang jadi ambal permadaninya. Diiringi lagi tanjidor dan tabuhan rebana menyanyikan tembang-tembang mesra kasih sayang dalam percumbuan kasihnya untuk mencapai zenitnya yang abadi dan teratas. Supertop. Ngetren dari semuanya yang ada di dunia.
Kamu sudah awal hadir di pangkuan saya. Selalu menantimu dengan kesetiaan yang tidak diragukan.
Terlihat di bulan ini kamu tidak membawa oleh-oleh apa-apa selain kepakan sayap Malaikat Jibiril dan kejelian mata Israfil, yang tidak pernah terlena mengalunkan untaian zikir dan doa pada sang khaliknya. Saya tetap tersenyum dan tidak akan bertanya apa-apa tentang oleh-oleh yang akan kamu berikan kepada saya. Karena saya telah yakin dan mengerti bahwa kamu akan memberikan oleh-oleh yang terbaik untuk saya.
Prakiraan saya tidak meleset. Benar. Kamu memberikan saya oleh-oleh berupa kejelian mata Israfil, yang tidak pernah lalai dalam melantunkan zamrud zikir dan doa pada sang khalik. Oleh-olehmu langsung saja saya terima dengan tidak bertanya tentang manfaatnya. Karena saya sudah tahu dan mengerti bahwa oleh-oleh yang kamu berikan selalu ada manfaatnya buat saya.
Kamu segera saja menjelaskan besarnya manfaat kejelian mata Israfil yang tidak pernah lelah melantunkan mutiara zikir dan doa pada sang khalik.
“Pertama, kejelian mata Israfil dapat melihat dengan saksama, jeli, dan akurat orang-orang yang akan berbuat jahat kepada kita lewat pantulannya yang cemerlang. Membuat kita dapat mempersiapkan diri untuk mengantisipasi hal tersebut agar tidak menciptakan kemudaratan pada diri kita. Kita akan selamat selamanya. Maksum.
Kedua, kejelian mata Israfil dapat bekerja secara otomatis mengingatkan dan menyadarkan kita apabila kita berbuat mudarat atau lalai dalam menjalankan kewajiban pada Allah. Kejelian mata Israfil adalah remote kontrol kita untuk berbuat dan melangkah sesuai dengan jalur yang ditentukan Allah. Tidak akan melenceng sedikitpun.
Ketiga, kejelian mata Israfil selalu membersihkan hati kita dari pikiran yang menyesatkan dan selalu mengarahkan perbuatan hati kita pada tindakan yang terpuji dan termulia dalam kehidupan ini.
Keempat, kejelian mata Israfil dengan pesonanya yang memancar gemilang mengalahkan keputihan dan kebenderangan sinar lampu neon dan phillip serta kecerahan rembulan tengah malam di malam sunyi kelam akan memberikan dan menampilkan sikap dan perilaku yang selalu berwibawa, punya martabat mulia, dan dapat menyenangkan hati setiap orang dalam hubungan pergaulan di masyarakat. Kita selalu menjadi suri tauladan dan panutan orang banyak dalam bertindak dan berbuat.
Kelima, kejelian mata Israfil dapat memberikan kita sebuah kado istimewa berupa ketenangan, kedamaian, keserasian, kerukunan, dan kesejahteraan yang tidak akan habis-habisnya sampai hari penghabisan mencorongkan hawa lembutnya untuk menyapa kita.”
Saya manggut-manggut tanda mengerti mendengarkan penjelasan manfaatnya kejelian mata Israfil yang kamu paparkan. Seketika saya merasa menjadi orang yang beruntung dalam lintasan kerikil kehidupan ini. Karena mempunyai kekasih hati yang setia dan selalu memberikan hadiah istimewa.
Kamu menggenggam erat jemari saya yang halus dengan membisikkan kata-kata yang indah dengan menggunakan gaya bahasa Mikail. Membuat hati saya berbunga-bunga menaburkan kembang melati dalam hati. Menghamparkan keharumannya begitu intens. Meresapi jiwa saya yang terdalam. Saya menanggapi bisikan mesramu dengan gaya bahasa keramahtamahan Mikail pula. Sehingga komunikasi kasih sayang kemesraan ini berjalan baik dan lancar.
Rembangan kasih sayang yang kita nikmati terus bergulir segar di kemulusan lantai keramik. Tidak pernah meninggalkan duli dipertuan agung. Asli. Paten. Tidak aspal. Tanpa terasa menghantarkam kamu kembali ke tempat peristirahatanmu yang agung. Tempat peristirahatan yang kamu gunakan dalam melepaskan lelah dan letih. Saya melepaskan kepergianmu dengan sunggingan bibir rembulan berarti. Saya berjanji tetap setia menantimu hadir di bulan berikutnya.
~oOo~
Rajab, kisah coklat dalam goresan tembang langit
Kecoklatan di bulan ketiga ini masih memancar walaupun liputi dengan halimun yang sering menyungkupi kalbu saya, selalu setia menanti kedatanganmu. Tidak pernah terbetik mau berpaling arah ke lain tiupan angin. Karena keyakinan saya berkata bahwa kamulah orang cocok dan sepadan buat saya. Walaupun kekesalan sering menjamah jiwa, namun saya tetap meneguhkannya supaya tidak membiaskan sinar yang berpencaran.
Sudah hari kelima belas di bulan ini, kamu belum menampakan wajahmu yang penuh rembulan. Memberikan cahaya pada kehidupan saya. Kalbu saya berintrospeksi diri.
Ada apa denganmu?
Terkaan negatif a menghambur menghantui rongga batok kepala saya.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu padamu? Kejadian apa? Tapi saya mentahkan lagi dengan alasan yang saya buat sendiri. Tidak mungkin. Kalau terjadi sesuatu padamu. Biasanya kamu akan memberi kabar. Mungkin saja kamu datang pada saya agak terlambat, karena kamu kebingungan mencari oleh-oleh yang tepat bulan ini. Saya tetap bersabar menantimu.
Di hari kedua puluh tujuh di bulan ini, kamu datang masih dengan menggunakan sayap malaikat Jibril. Namun bawaan pada tubuhmu seakan ada penambahan. Kamu membawa tongkat Nabi Musa dan keramahtamahan gaya bahasa Mikail serta sinar mata kejelian Israfil, tidak lengah setiap saat berlalu. Selalu terjaga dan tetap berbakti memuliakan Asma Allah yang bergantung di arsy, menghiasi kemulusan bibirnya.
“Maaf ya Bulan, saya datang terlambat. Kamu tidak marahkan?” ujarmu simpel.
Senyuman mentari dari bibirmu tidak pernah pupus. Saya tidak menanggapinya. Diam saja. Saya memperhatikanmu. Seakan kalbu saya berkata.
Wahai pujaan jiwa saya, cobalah kamu mengerti diri saya. Jangan siksa saya seperti ini. Biasanya kamu tidak pernah melakukan hal seperti begini.
“Tidak Cay. Hanya sedikit kesal saja,” kata saya apa adanya.
“Oh begitu,” katamu bulat.
“Untuk penebus kekesalanmu pada saya. Saya ada membawakan kamu oleh-oleh istimewa di bulan ini. Oleh-oleh ini tidaklah seperti biasanya yang berwujud barang….”
“Jadi berbentuk apa?” kata saya ingin tahu dan terkesan tergesa-gesa.
“Sebuah cerita unik,” sahutmu sabar.
“Cerita unik seperti apa sih? Apakah sama dengan cerita atau dongeng yang pernah saya dengar, seperti kancil dan buaya, setanggok, ketam batu dan lang buana, asal mula kerajaan tanjungpura atau putri junjung buih?”
“Bukan. Ini benar-benar cerita unik. Lain dari cerita yang lain.”
“Kalau begitu boleh juga. Coba kamu ceritakan,” kata saya mulai tertarik.
Kekesalan saya padanya mulai memudar berganti dengan keceriaan. Karena pandainya dia mengambil kalbu saya. Dia mulai bercerita.
Ada sebua oreon yang merasa sedih karena ditinggalkan oleh Venus dan zahro. Padahal sinar Orion sudah sangat terangnya. Bisa menerangi kegulitaan malam di Planet bumi. Namun, dia selalu merasa kurang sempurna bercahaya. Sejak Venus dan Zahro tidak memadukan cahayanya dengan Orion. Untuk membuat sinar yang teramat terang menerangi jagat ini yang selalu kegelapan. Rupanya Venus dan Zohro ditelan cahaya maha cahaya, karena masa perjanjian untuk menyatu dengan Cahaya Maha Cahaya sudah tiba.
Melihat Orion bersedih di rundung duka nestapa. Cahaya Maha Cahaya kasihan. Maka Cahaya Maha Cahaya menghiburnya dengan menyuruh Orion menyucikan diri dan mengerjakan kesucian ibadah agar dapat menemukan Venus yang bisa menambah cahaya Orion bertambah terang, seterang lampu phillip. Orion menurut saja sehingga dia menemukan Venus baru yang lebih cemerlang sinarnya. Berada di padang rembulan lintasan kembang lazuardi pelangi yang menaawan. Orion bisa menyebarkan senyumannya lagi. Setiap masa selalu bersenda gurau dan memadukan sinarnya dengan Venus tersebut dalam menerangi kehidupan yang ada di Planet bumi sampai dia ditelan Cahaya Maha Cahaya, seperti Venus dan Zahro yang menunggunya ceria di lintasan lain.
“Seru juga ceritanya ya...,” kata saya memujinya.
“Masih ada lagi cerita yang lain?” tanya saya kemudian.
“Cerita yng lain tidak ada lagi untuk sementara ini. Entahlah nanti,” jawabmu polosnya.
Sebelum saya menyela lagi dengan obrolan lain. Kamu sudah duluan membuka gelombang suara yang lemah lembut mendayu kalbu.
“Bulan, saya pamit dulu! Insya allah, bulan depan saya datang sekitar tanggal dua belas,” katamu langsung pergi dengan menggunakan kepakan sayap Malaikat Jibril.
Saya tidak bisa mencegahmu. Saya hanya memperhatikanmu yang menghilang di balik kumpulan mega berjejeran indah menembus langit.
~oOo~
Syakban, lingkaran kenikmatan dalam kembang wangi tersaji
Pada terlejatnya kue kenikmatan di bulan ini. Kamu datang tiga kali dalam sebulan. Kamu hadir di awal bulannya. Kedua, kamu hadir di pertengahan bulannya, yaitu tanggal lima belas. Ketiga, kamu hadir di tiga hari menjelang penutup bulan ini.
Di awal bulan ini, hadirnya kamu hanya menyempatkan memberikan oleh-oleh berupa daging, sayuran, dan segala aneka masakan untuk melakukan selamatan. Kalau dalam ikatan Suku Melayu lebih dikenal dengan beroah, yang memanggil orang-orang untuk diajak makan bersama di rumahnya sambil melakukan pujaan dan pujian pada Allah swt. Doa tersebut diperuntukan untuk sanak keluarganya yang meninggal dunia agar diberi berkah oleh Allah swt. Kalau tidak ada sanak keluarganya yang meninggal maka doa dikirim untuk kaum kerabatanya yang seagama dan seakidah dengannya. Agar mereka di alam sana juga merasakan kebahagiaan ini. Selain itu kegiatan beroah dilakukan untuk meminta keselamatan hidup dalam mengarungi kehidupan agar diberikan kebahagiaan hakiki.
Di pertengahan bulan ini, hadirnya kamu hanya memberikan secil untaian senandung doa nifsu syaban. Harus dibacakan setiap pertengahan bulan. Kegunaannya untuk meminta keberkahan dan ridho Allah swt supaya diberikan kemudahan dalam mencari rezeki, kelapangan dalam menjalankan pekerjaan dengan tidak adanya hambatan yang dapat memfatalkan jiwa dan selalu diberikan keselamatan diri serta meminta kemudahan dan keselamatan dalam menjalani rel-rel kehidupan untuk mendapatkan arti kehidupan sebenarnya dan menemukan jati diri yang hakiki. Itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Dicari semua insan di dunia ini.
Di tanggal dua puluh tujuh bulan ini. Hadirnya kamu hanya memberikan untaian makna alquran dan hadist Nabi Muhammad SAW. Menyuruh saya mempersiapkan diri untuk melakukan puasa agar dapat diberikan sebuah kemuliaan hidup. Petuahnya itu akan saya lakukan dengan kesadaran tinggi yang murni dan tulus dari kalbu saya. Sehingga menghantarkan kamu untuk pamit kembali pada peraduanmu yang mulia. Diiringi kecerahan wajah saya yang menampilkan kejelian mata israfil.
~oOo~
Ramadan, kesucian perawan dan keharumanan nabi serta kemuliaan Allah SWT
Kemuliaan dan keharuman memancar di seluruh ke molekan tubuhmu pada panjangnya lintasan langit yang berjalan menemui jasad kasihnya. Kamu memang selalu membawa kebenaran setiap jengkal koridor waktu. Dari denyutan nafas bila beramal di bulan ini sampai berhenti denyut nadi akan diganjar dengan pahala yang besar oleh Allah SWT. Kemuliaan di bulan ini ditunggu-tunggu oleh umat Nabi Muhammad SAW dari dua belas bulan yang ada. Bulan ini adalah bulan yang penuh maghfirahnya.
Saya sangat senang dan gembira pada kemolekan bulan ini. Karena kamu menemani saya selama sebulan penuh. Dari permulaan bulan sampai akhir bulan. Walau kamu tidak membawa oleh-oleh berarti, yang selalu kamu berikan pada saya. Ditemani olehmu selama sebulan ini sudah merupakan oleh-oleh yang paling terbesar dalam kehidupan saya.
Di kesucian bulan ini. Kamu selalu memberikan fatwamu yang menggetarkan sukma saya sehingga saya merasakan kesejukan dan menemukan kesucian yang sebenarnya. Kesucian yang benar-benar bersumber dari kalbu yang paling dalam. Selama ini, saya hanya merasakan kesucian yang absurd. Serba berlapiskan kemunafikan yang terselubung atau kamuflase jiwa. Selain itu kamu juga menghangati jiwa saya dengan keharuman kesturimu yang serba memukau. Sehingga keharuman itu meresak dalam sanubari dan tubuh saya. Tidak pernah akan hilang dalam tembang goresan kerikil kehidupan berapa episode yang akan dijalani atau tercerabut akarnya dari tajuk mahkota.
Hidayah selalu berlimpahan pada saya berkat kepiawaianmu mengajari saya beraneka kesabaran dan ketulusan agar dapat bersyukur dengan nikmat yang telah diberikan-Nya. Selalu tetap tawakal. Tidak mengeluh bila ditimpa musibah dan selalu melafazkan asma Allah dalam setiap waktu. Tidak boleh melalaikannya. Sepertinya saya telah kamu berikan sebuah kesadaran yang sebenar-benarnya. Bukan bohongan. Benar-benar menghayati hakikat kehidupan ini dan kematian nanti lewat keberkahan bulan suci Ramadan.
Kamu juga mengajari saya memaknai hari turunnya Alquran dengan sebetul penghayataan hakiki. Sehingga hal tersebut dirasakan lebih bermakna. Diperingati setiap tanggal 17 Ramadan. Dengan tetap menjunjung tinggi Alquran selamanya dan tetap menjadikannya pedoman dan arah dalam kehidupan serta mengambil mutiara hikmahnya untuk diterapkan dalam kehidupan. Agar mencapai ke muliaan hidup. Jangan menjadikannya hanya sebagai hiasan rumah atau ornamen rumah biar kelihatan apik dan mentereng.
Tiada terasa sudah setengah bulan lebih dua hari kamu menemani saya.
Di malam dua puluh satu sampai tiga puluh di kesucian bulan ini yang menampilkan keharuman Nabi dan kemuliaan Allah SWT. Kamu mengajarkan saya suatu tirakat agar memperoleh kemanisan anggur bulan ini. Belum pernah diperoleh orang di muka bumi ini, yaitu mendapatkan malam Lailatul Qadar. Malam yang penuh kebaikan dari seribu malam yang ada. Malam yang penuh uswatun hasanah. Saya tercengang dan tidak dapat berkata sepatah katapun.
Aduh, begitu besarnya perolehan saya di bulan ini.
Cay, kamu memang dambaan hati saya yang mengerti semuanya tentang diri saya. Kamu memang pujaan hati saya yang terbaik, gumam saya dalam relung terdalam lautan kalbu. Ia bergelora mengombal ombak Tanjung Batu, Kendawangan. Ia menembusi keterjalan tebing-tebing batu di tepian pantai yang tajam serta mencuat ganas. Ia mengamblaskan nyawa bila terjatuh di tempat empuk tersebut.
“Bulan, cara memperoleh atau mendapatkan malam Lailatul Qadar sudah saya ajarkan kepadamu. Saya berdoa semoga kamu diberikan keberkahan-Nya untuk mendapatkan malam itu. Karena malam itu adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh semua orang yang melaksanakan puasa. Mereka menunggu dari sekian malam di bulan puasa ini. Karena bila kita bermunajat atau menghaturkan doa di malam itu maka akan dikabulkan Allah.”
Suaramu lembut menerangkan hal tersebut. Saya mendapatkan kesejukan dari bicaramu. Ia merasuki tabung bambu perasaan saya. Ia menimbulkan sebuah kedamaian dan ketenteraman.
“Terima kasih, Cay,” sahut saya.
“Cay, boleh saya menanyakan sesuatu yang berharga padamu di kemuliaan bulan ini?” lanjut suara saya.
“Silakan, Bulan. Kalau memang ada sesuatu hal yang ingin kamu tanyakan. Katakanlah. Utarakanlah. Insya allah, saya siap menjawabnya dengan sejujur-jujurnya,” jawabnya.
Air mukanya menampakan kebijaksanaan. Ia menggunakan gaya bahasa Mikail yang mendayu kalbu. Penuh keramahtamahan.
“Cay, di bulan lalu saya pernah menanyakan hal itu. Mengenai cinta. Karena saya masih penasaran. Waktu itu kamu hanya menjawabnya suka saja. Kamu akan menjelaskannya nanti saja. Sekarang saya ingin minta ketegasan darimu. Apakah kamu betul-betul mencintai saya?” ujar saya.
Bola mata saya langsung menatap bola matanya yang penuh cahaya kejelian. Indah dan cemerlang.
“Maaf Bulan, kalau ditanya soal cinta saya tidak bisa menjawabnya.”
“Mengapa? Apakah kamu tidak mencintai saya?” potong saya.
Saya kesal. Kambuh lagi penyakit lama. Suka tidak sabaran. Gara-gara ia juga. Ia yang selalu membuat saya penasaran. Saya tidak sadar. Jangan-jangan ia menguji kesabaran saya. Tapi sudah telanjur terjadi. Hal itu tak dapat ditarik kemabali.
“Saya tidak dapat memberikan jawabannya sekarang.”
“Kamu hanya ingin memainkan perasaan hati saya ya, Cay?” kata saya.
Saya mulai emosi. Lupalah dengan puasa yang sedang saya jalani. Bahwa dalam berpuasa saya tidak boleh marah.
“Tidak, Bulan. Saya malah salut dengan keteguhan hatimu. Saya tetap suka padamu.”
“Bukan itu yang saya inginkan. Kata cinta, Cay! Apakah kamu tidak mengerti?”
“Saya mengerti, Bulan.”
“Kalau kamu mengerti. Mengapa kamu tidak mau mengatakan cinta? Kalau kamu memang mencintai saya, Cay?”
“Tidak susah, Bulan. Tapi waktunya belum tepat untuk saya ungkapkan.”
“Mengapa belum tepat?”
“Alasannya tidak dapat saya katakan sekarang.”
“Kapan lagi, Cay? Nanti saya tidak betah menunggumu. Jangan-jangan kamu menganggap saya hanya sebagai sahabatmu saja.”
Terlontar kata itu dari mulut saya. Seharusnya kata itu tidak boleh saya ucapkan. Kamu tersentak pelan. Tapi kamu masih bisa tersenyum.
“Subhanallah, Bulan. Sadarlah. Sangkaanmu sudah terlalu jauh. Sepertinya kamu sudah dikendalikan setan. Istighfar Bulan. Ucapkan asma Allah Bulan.”
Katamu masih lembut menasihati saya. Tidak sedikit pun terpancar rasa marah di matamu yang indah dan cemerlang.
Saya tersadar dari kekhilafan ini. Saya beristighfar. Bertobat. Mengakui kesalahan yang barusan saya lakukan tadi. Kamu memegang bahu saya dengan penuh kearifan dan afeksis. Menyalurkan sebuah hawa murni ketenangan dan kedamaian.
“Alhamdulillah, Bulan. Kamu sudah dapat menguasai keadaanmu. Baiklah Bulan, agar kamu tidak gregetan terus dengan kata cinta itu. Saya akan memberitahukannya padamu. Kata cinta itu akan saya utarakan di akhir bulan dalam hitungan tahun ini. Jadi saya harap, kamu bisa bersabar menantinya. Di akhir bulan itu, saya ungkapkan dengan sejelas-jelasnya kata cinta itu beserta alasannya,” katamu lemah lembut.
Saya hanya terdiam.
Dalam hati saya merutuk. Mengapa saya belum mampu bersabar seperti yang kamu lakukan? Tapi saya berikrar dalam hati. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat bersabar sepertimu.
“Maafkan perkataan saya tadi, Cay?”
Mata saya berkaca menunjukkan tanda penyesalan yang tulus.
“Sudahlah, Bulan. Kesalahanmu sudah saya maafkan. Saya mengerti dengan apa kamu lakukan tadi. Yang kamu lakukan adalah sebuah kewajaran. Tapi kamu harus ingat. Dalam melakukan sesuatu harus diperhitungkan dampaknya,” jawabmu.
Saya mengangguk tanda mengerti.
“Bulan, saya harus pamit meninggalkanmu. Karena getaran dentingan jiwa kenangan harumnya keabadian sudah memanggil nyaring dalam sukma saya untuk pulang ke peristirahatan saya yang berada di atas sana,” tunjukmu dengan keyakinan mantap.
“Yalah, Cay,” jawab saya.
Saya akan berbuat tegar ditinggalkannya lagi. Tidak mengapa. Inikan cuma sementara saja.
“Begitu dong baru teman sejati kehidupan saya yang hakiki,” pujimu dengan kesadaran yang tulus.
Saya hanya bisa tersenyum bahagia.
Lalu dengan kepakan sayap Malaikat Jibril yang bergemuruh seperti gemuruh gelombang ombak Tanjung Batu, Kendawangan yang menghempas tebing batu tajam, kamu meninggalkan saya menembus kemolekan taburan awan kepurihan menuju langit permadani peraduanmu.
~oOo~
Syawal, gong kemenangan di lintasan langit cerah
Malam tiga puluh Ramadan adalah malam terakhir berpuasa atau malam menyambut lebaran. Idul Fitri. Suara goncangan badai tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir bergema mengumandang keras membahana. Terdengar di seluruh penjuru dan pelosok negeri ini.
Gema suara tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir itu berisi puji-pujian tentang kemahabesaran Allah dan kesenangan untuk menyambut hari lebaran.
Hari lebaran akan diadakan besok pagi untuk semua umat Nabi Muhammad saw. Khususnya hari lebaran untuk orang-orang yang sebenarnya telah mencapai kemenangannya dalam menjalankan puasanya sebulan penuh.
Saya asyik bermain dengan cahaya rembulan di malam terakhir puasa ini sambilan tak henti-hentinya kecantikan mulut saya melafazkan asma yang memuja dan memuji keagungan dan kemahabesaran Allah. Saya lakukan itu dari malam sampai esok harinya.
Pagi-pagi sekali kamu sudah hadir di hadapan saya dengan tampilan yang tidak pernah berubah. Sederhana.
“Maaf ya Bulan, di kecemerlangan bulan ini saya tidak dapat memberikan kamu oleh-oleh yang berwujud barang atau benda. Tetapi saya hanya dapat memberikan kamu oleh-oleh yang berupa ketulusan jiwa dan keikhlasan penuh,” ujarmu.
Keningmu sedikit berkerut menandakan ketaksegaran seperti hari biasanya. Karena kamu merasa bersalah tidak bisa memberikan saya oleh-oleh berupa barang atau benda seperti bulan-bulan sebelumnya.
“Tidak apa-apa, Cay. Saya tak pernah berharap berlebihan untuk dapat diberikan oleh-oleh berupa barang atau benda. Kamu ada di samping saya saja sudah merupakan oleh-oleh terbesar yang saya dapatkan. Janganlah kamu merasa tak enak hati. Kalau tak ada oleh-olehnya pun, saya tidak berkecil hati.
“Terima kasih, Bulan atas pengertianmu ini. Untuk itu pejamkanlah matamu dan pusatkanlah pikiranmu hanya tertuju pada Allah SWT. Semoga oleh-oleh yang saya berikan ini yang ditransfer lewat batin akan berjalan dengan baik dan lancar. Sebelum saya menyuruhmu membuka mata. Janganlah kamu membuka matamu. Karena hal itu akan menghilangkan pentransferan ini. Kalau hal itu sampai terjadi berarti selamanya ketulusan jiwa dan rasa keikhlasan penuh, tidak akan dapat diberikan padamu. Kamu tetap tidak memiliki hal itu. Disamping itu, gejala seperti ini adalah sebuah isyarat atau pertanda bahwa hubungan kita semakin kabur dan selanjutnya akan terputus dan tercerai berai. Bisakah kamu memahami apa yang saya katakan?”
“Bisa, Cay.”
“Kamu sudah siap Bulan menerima oleh-oleh ini?”
“Insya allah, Cay. Saya sudah siap sepenuh hati untuk menerimanya.”
“Baiklah, Bulan. Kita lakukan sekarang,” katamu lirih penuh kewibawaan.
Saya menjalankan apa yang telah kamu perintahkan. Mata saya terpejam. Konsentrasi saya mantapkan. Kalbu saya menggemakan zikir dan doa untuk memohon keberkahan dan ridho dari Allah SWT. Semoga apa yang saya minta dapat dikabulkan-Nya.
Seketika itu saya merasakan ada hawa murni yang merembes masuk dalam tubuh saya. Sejuknya. Awalnya hanya perlahan demi perlahan. Berikutnya semakin banyak. Membuat badan saya menggigil merambah dingin. Beku. Saya tetap bertahan menguatkan jiwa. Saya berhasil melakukan itu. Saya tidak merasakan apa-apa lagi. Jasad saya sudah membeku karena hawa murni itu. Kamu hanya tersenyum melihat kebekuan jasad saya.
“Alhamdulillah, cukup tabah dan tegar. Dia berhasil melakukannya.”
Kamu membangunkan saya dengan memberikan hawa panas yang penuh kehangatan untuk mengusir kedinginan dan kebekuan itu. Saya terjaga.
“Bulan, pentransferannya sudah selesai. Kamu telah berhasil,” ujarmu dengan senangnya.
“Alhamdulillah, Cay,” sahut saya lirih.
Rasa terima kasih dan puji syukur saya panjatkan juga pada Allah SWT. Karena dia telah meluruskan jalan pentransferan ini yang dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan diinginkan.
“Bulan, mari kita rayakan kemenangan ini”
“Mari Cay,” sahut saya dengan penuh kebahagiaan.
Kita sama-sama menghabiskan hari kecemerlangan bulan ini dengan mengakrabkan tali silaturrahmi pada tetangga dalam tujuan untuk saling maaf memaafkan atas kesalahan yang dilakukan supaya kembali suci lagi. Nirmala. Kalis tak bernila sepercik dosa seperti layaknya anak bayi dilahirkan ke dunia.
Kamu kembali lagi ke peristirahatanmu dengan gebrakan kepakan sayap Malaikat Jibril. Akan datang lagi pada bulan Dzulkaedah. Saya bangga melepaskan kepergianmu dan selalu setia menantimu hadir lagi di hadapan saya.
~oOo~
Dzulkaedah, risalah akan sedikit lagi bersembunyi di lemari jati keistimewaan
Bulan ini hanya bulan yang biasa saja. Kamu hanya datang sebentar. Hanya sekedar untuk melepaskan kerinduan. Satu kali saja. Hanya membagi kekangenan. Biar bisa tersalurkan dengan baik. Di bulan ini tidak ada hadiah istimewa yang kamu bawakan setiap bulan biasanya. Walaupun begitu, saya tetap menyayangimu. Setia menunggumu di bulan berikutnya.
~oOo~
Dzulhijjah, bening kalbu di kaca tanpa debu dan risalah mendekam di pintu emas
Tanggal delapan bulan ini, kamu sudah menampakan batang hidungmu. Namun, bawaan dalam tampilan pakaianmu sedikit berubah. Kamu mengenakan pakaian putih yang hanya diselempangkan saja, tidak ada jahitannya. Saya kaget menyaksikannya. Saya menanyakan keganjilan itu padamu.
“Cay mengapa kamu berpakaian seperti ini? Ada kematian ya?”
“Tidak ada. Tapi, saya mengenakan pakaian ini untuk mengajakmu menyucikan kalbu supaya bersih bening. Ini ambillah pakaian dan kenakanlah. Kita akan berangkat ke suatu tempat untuk menyucikan kalbu,” jawabmu seraya menyerahkan selembar pakaian mihrab.
Saya tidak bertanya dan mengambil pakaian itu dan mengenakannya di tubuh saya. Kemudian kamu sudah menggenggam jemari tangan saya dan menuntunnya menaiki sayap Malaikat Jibril. Walaupun di kepakan sayap Malaikat Jibril saya merasa gemetar, namun saya coba atasi hal tersebut hingga saya bisa tenang.
Dengan kegemuruhan yang berwibawa kepakan sayap Malaikat Jibril membawa saya bersama Cay ke sebuah tempat yang telah dipadati jutaan manusia. Kami diturunkan di terowongan Mina. Lalu melanjutkan safari ke Muzdalifah. Singgah di Madinah di masjid Nabawi. Kami juga menyambangi Safa dan Marwa dengan melemparkan buah kerikil sebanyak tujuh kali.
Selama perjalanan, saya tidak pernah menanyakan apa-apa. Terpenting apa yang kamu suruh selalu saya lakukan dengan rasa ikhlas dan penuh ketenangan jiwa.
Akhirnya sampailah kita di kerumunan orang banyak yang beragam kulitnya. Ada yang berwarna putih. Ada yang berwarna kuning. Ada yang berwarna merah, dan lain sebagainya. Lagi melakukan puja dan puji syukur pada Allah SWT sambilan mengitari batu hitam tergantung di tengah angkasa. Kami masuk dalam lingkaran itu dan melakukan pula apa yang mereka kerjakan.
Di situ saya diberi pelajaran atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan sehingga menyadarkan saya bahwa kesalahan itu benar-benar menyusahkan diri saya. Di situ kamu juga menerangkan bahwa ini adalah tempat penyucian jiwa dan kalbu. Di situ saya merasakan sebuah ketenangan dan kedamaian yang begitu alamiahnya. Begitu sejuk dan intensnya. Merasuki seluruh pori-pori pembuluh darah saya. Sehingga pembuluh darah saya merasakan kenikmatan tersebut.
“Alhamdulillah. Puji syukur pada-Mu, Yaa Allah SWT. Kamu telah memberikan anugerah terbesar dalam hidup saya,” lirih gelombang kalbu kepasrahan saya mengempas pantai keikhlasan. Begitu mesra deburannya yang tidak pernah saya lupakan seumur hidup saya. Sweet memory. Beatiful day.
Setelah selesai penyucian itu, kamu pun mengantarkan saya kembali ke tempat kediaman saya dan memberitahukan suatu hal bahwa kamu akan menjelaskan cinta yang pernah saya tanyakan sebelumnya. Saya hanya bisa tersenyum. Tidak banyak meminta seperti dulu. Hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan tanda mengerti dan menyetujui apa yang kamu utarakan.
Sekilas. Sedetik. Sempat pula saya termenung. Memikirkan kamu. Kamu yang selalu menghadirkan mawar kemerahan kalbu saya. Kamu selalu menghiasi oreon bersinarkan kejora dalam sanubari saya. Membuat saya sempat terlena. Seakan saya hidup di surgaloka. Penuh dengan ketenangan. Air sungainya mengalir jernihnya melintasi aluran sungai demi sungai serta memberikan kecerahan hidup pada pematang sawah penduduk yang memang memerlukan air tersebut. Pepohonannya segar menghampar dan buahnya ranum-ranum. Sudah siap untuk dinikmati dengan penuh kebanggaan. Penduduk semuanya ramah-tamah dan bersahabat serta menghiasi cerianya rembulan di pelupuk bibir. Saya terkejut saat tangan halusmu menyentuh putihnya bahu lembut saya.
“Bulan, janganlah engkau terlalu larut dalam perenunganmu. Apa yang kamu renungkan itu Insya Allah akan kamu peroleh?”
“Betul Cay!” pelotot mata saya membesar.
“Betul Bulan. Karena kamu sudah lulus mengatasi rintangan itu. Cuma tinggal satu saja, yaitu mengenai cinta yang kamu tanyakan pada saya. Bila kamu juga lulus mengerti tentang cinta itu, maka kamu akan terus bersama saya menikmati apa yang kamu lakukan. Bulan, hari ini saya akan memberitahukan kamu tentang cinta tersebut. Apa kamu sudah siap mendengarnya?”
“Sudah siap Cay!” jawab saya berbunga-bunga mengembangkan keharuman.
“Bulan. Sesungguhnya saya sangat sayang dan kasih terlalu padamu. Karena sayang dan kasihlah yang bisa saya berikan. Itu semua sudah melebihi yang namanya cinta. Sedangkan cinta saya tidak bisa diberikan padamu?”
“Ah?” kelu bibir saya sebentar.
Sebenarnya apa bedanya kasih sayang dan cinta. Cay, rupanya kamu tidak mencintai saya. Menimbulkan penasaran juga. Dia sayang dan kasih sama saya, tapi tidak cinta. Sebenarnya cinta dia itu kemana… Saya ingin tau juga.
“Cay, mengapa kasih dan sayang saja yang dapat kamu berikann pada saya? Cintamu, kamu berikan pada siapa?” kata saya penasaran.
Mulai lagi preseden buruk bermain dalam logika. Dengan sanubari yang sudah dibeningkan dan kalbu sudah dibersihkan, saya mentahkan preseden buruk itu.
“Cinta saya sepenuhnya sudah saya berikan pada DIA yang begitu mulia, yang berada di atas sana.”
“Cay, yang ada di atas sana kan banyak. Mega putih, pelangi indah, bintang orion bersama temannya, lingkaran lazuardi, cakrawala megah, tingkatan langit, dan lain sebagainya. Jadi mereka yang mana yang telah kamu berikan cinta?”
“Yang Maha Segalanya. Yang menciptakan kita.”
“Oh………….”
Saya mulai mengerti.
“Oleh karena itulah Bulan, saya tidak mau mengatakan cinta padamu. Malahan saya mengatakan suka, kasih, dan sayang padamu. Sebab saya tidak mau berbuat curang atau tidak jujur pada-Nya dan padamu. Sebab cinta saya sudah sepenuhnya pada-Nya. Sebenarnya tidak hanya cinta saya, cinta kamu juga seyogyanya teristimewa untuk-Nya. Jangan mengistimewakan yang lain. Itu adalah perbuatan yang keliru dan salah. Perbuatan yang hanya menyesatkan kita. Akan membuat penyesalan dalam diri kita. Jikalau kita sudah mengerti hakikat cinta itu sebenarnya. Sedangkan supaya terjalin hubungan mesra antarsesama kita maka diberikan-Nya yang namanya kasih sayang, hampir sama dengan cinta. Supaya kita dapat merasakan kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan yang tiada terkirakan.
“Begitu ya Cay?”
“Begitulah Bulan. Nampaknya kerutan waktu kita untuk berpisah sudah membisikan sesuatu yang aduhai dalam jiwa saya. Dia sudah memanggil-manggil. Di sini untuk terakhir kalinya, saya akan meminta ketulusan jiwa dan kebersihan kalbumu agar rela atau tidak dalam menyatukan semua yang ada padamu bersama saya untuk beristirahat bersama di peraduan mahligai di atas sana. Menemui renunganmu dan segala yang kamu impikan. Jikalau kamu tidak rela, jangan dipaksakan. Saya tidak ingin menerima sesuatu yang terpaksa,” katamu dengan tatapan kesegaran, kerlingan mata cemerlang, dan goresan kanvas kalbu yang begitu apa adanya dan bernilai artistik.
Saya tidak menimbangnya lagi langsung saja menerima keputusanmu. Karena itulah yang saya inginkan selama ini, agar bisa bersatu selamanya denganmu.
“Alhamdulillah Bulan, kamu cepat mengerti!”
“Marilah kita bersama-sama ke sana,” ujarmu
Kemudian kamu memegang jemari kehalusan tangan saya untuk menaiki kepakan sayap Malaikat Jibril. Saya menurut saja. Kepakan sayap Malaikat Jibril mengembang lebar, memudahkan kami duduk dengan leluasanya.
Di atas sana. Hawa ketenangan dan kedamaian menghampar. Merasuki tubuh kami. Saling memberikan kehangatan ikhlas yang begitu kentalnya. Saling memberikan ketulusan begitu mempesonanya. Terdengarnya tetabuhan berencah pesona gemilang. Merdu terdengar di telinga. Lantunan seninya yang hakiki, menyambut kedatangan kami. Memang sudah mereka tunggu-tunggu. Sama-sama bergabung dengan mereka untuk memeriahkan kesenangan dan kedamaian yang sebenarnya.
Rantau Panjang, Oktober 2003
Posted by SANGGAR KIPRAH at 10:00 AM 0 comments