Cerpen Saifun Salakim
Senja memanah senyuman. Ada jiwa. Ada harapan. Ketika kupenuhi undangan Handini. Kafe Tanggui.
“Arif, katanya kamu ingin pekerjaan yang unik. Saya ada pekerjaan untukmu. Pekerjaan ini juga berhubungan dengan aktivitas dakwahmu. Saya berharap kamu senang menerimanya,” kata Handini sembari menyeruput es jeruk yang dihidangkan.
“Pekerjaan apaan Han?”
“Pekerjaan yang berbuat baik untuk Allah maupun orang lain.”
“Memang itu yang saya harapkan!”
“Tapi pekerjaan ini berisiko tinggi, Arif?”
“Tidak jadi masalah. Asalkan pekerjaan itu menghasilkan manfaat besar.”
“Begini Arif. Selama inikah kamu aktif berdakwah di kampus saja. Selain itu, kamu hanya berbuat baik seputar lingkungan anak yatim, membantu orang tua jompo di panti asuhan, memberi nafkah pada pengemis, dan menyantuni anak jalanan saja serta menyadarkan temanmu yang salah kaprah dengan petuah dan sikapmu. Semuanya berada di lingkungan yang wajar-wajar saja. Kalau ini di lingkungan yang dikatakan orang umum kurang wajar. Diskotik?”
“Apa? Diskotik? Apa maksudmu dengan diskotik? Apakah saya harus memberi ceramah pada semua pelacur yang ada di sana dan menyadarkannya, Han?” potongku setengah kaget.
“Bukan begitu, Arif. Untuk itu dengarkanlah dulu penjelasan saya. Belum tuntas sudah dipotong.”
“Oke, kalau begitu Han. Lanjutkan.”
Red Orange & Black Ladybug Bug Gif Images
Handini menginginkanku menjadi supir kawannya yang bekerja di diskotik. Handini juga memintaku dapat mengembalikan kawannya ke jalan yang benar. Sebab dia sudah berusaha selalu kandas. Mungkin saja dengan orang ahli berdakwah dan pandai agama, kawannya dapat berubah.
Pekerjaan yang tidak benar itu dilakukan kawannya sejak ditinggal suaminya. Namanya Winda melakukan perbuatan itu kabarnya karena terpaksa. Pertama, Winda tidak ada keahlian khusus untuk bekerja. Kedua, Winda harus memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya, yang cuma satu, Hidayati.
Semula aku ingin menolak. Namun bergemuruhnya jiwa dakwah dalam diriku untuk mengajak orang pada jalan kebenaran dan ditambah lagi Handini memelas. Karena Winda adalah teman akrabnya yang paling baik. Akhirnya kululuskan keinginannya.
Yaa Allah, mantapkan jalanku dan berkahilah dakwahku ini.
***
Jam enam lewat tiga puluh malam aku sudah mengantar Winda dan jam sembilan tepat, kujemput dia pulang. Menyebabkan aku mulai mengurangi silaturahmi malam hari bersama teman-teman di kampus yang membicarakan tentang memajukan Islam di era globalisasi ini. Tari, rekan dakwahku juga yang sering ke rumahku di malam hari, kularang. Sebab aku tidak ada di rumah. Tari mulai curiga padaku. Aku tak perduli. Karena saat ini aku sedang melakukan perjuangan besar. Mengeluarkan Winda dari jurang keterpurukkan menuju jalan kebanggaan di mata masyarakat umum. Jalan kebenaran.
Pernah satu kali aku mengantar Winda ke diskotik. Alan memergokiku. Dia kaget.
Mengapa Arif yang begitu alim dan zuhudnya terjebak lingkaran setan? Mengapa Arif ke diskotik? Mengapa Arif si jago dakwah itu mau ke tempat maksiat yang seharus dihindarinya? Mengapa Arif ke tempat itu dengan bukan muhrimnya lagi? Dimanakah dakwahnya yang mustajab itu? Apakah imannya telah tergadai hubbud dunya? Apakah Arif sudah termakan rayuan setan? Masya Allah. Ini tidak bisa dibiarkan.
Hal itu dilaporkan Alan pada Tari dan rekan dakwahku yang lain. Mereka menyesalkan mengapa hal itu sampai terjadi?
“Arif, kemana keteguhan imanmu?”
“Arif, kemana kekuatan jihadmu untuk berjuang di jalan Allah?”
Alan dan Tari mendepakku.
“Keteguhan imanku masih utuh dalam hati. Murni. Jihadku juga masih asli. Masih berjalan di atas kebenaran. Jalan Allah.”
“Bohong?”
“Saya tidak bohong. Demi Allah.”
“Tapi mengapa kamu ke tempat maksiat itu?”
“Karena saya sedang melakukan fisabilillah. Fisabilllah yang lebih besar dari dakwah yang kita lakukan.”
“Ke tempat maksiat kamu namakan fisabilillah? Itu salah besar Arif. Arif, jangan kamu berani menyebut nama Allah untuk membuat alasan. Berdosa besar. Kamu tahukan?”
“Saya tahu, Alan. Tapi, alasan yang saya berikan itu adalah kebenaran.”
“Kebenaran?”
“Kebenaran, ada di tempat maksiat. Baru kali ini saya mendengarnya.” Alan sinis mengejekku
“Ya. Karena kalian hanya melihat sisi luarnya saja. Sebenarnya sisi dalamnya, saya sedang melakukan perjuangan besar untuk mengajak Winda yang terjebak kenikmatan semu keluar dari lingkaran setan itu. Agar Winda bisa menjadi wanita baik-baik.”
“Mengapa musti pelacur Arif? Sedangkan masih banyak orang lain yang perlu bantuanmu.”
“Pelacur juga manusia, Alan. Hamba Allah. Karena satu lain hal saja membuat dia terjebak dalam lingkaran setan. Mengapa musti kita banding-bandingkan? Seharusnya kita menganggap semuanya egaliter. Mereka adalah insan yang perlu pertolongan kita juga. Menyadarkan mereka lebih sulit dari menyadarkan yang lain. Itukan sebuah tantangan. Tantangan itulah yang membuat saya ingin melakukannya. Saya bertekad juga harus mampu menyadarkannya.
Saya pun sedikit demi sedikit telah memasukan pengaruh Islam dalam otak Winda. Menasihatinya agar tidak melakukan perbuatan maksiat itu lagi, karena tidak benar. Malahan saya juga memberikan alternatif pekerjaan padanya. Bekerja sebagai penjaga toko di Butik Muslim At-Takwa. Kalian doakan saja semoga hati nurani Winda terbuka menemukan cahaya indah kasih sayang Allah.”
“Tapi Arif….” Sergah Tari yang begitu prihatin.
“Sudahlah Tari. Saya mengerti arah pembicaraanmu selanjutnya. Maaf, saya tidak ingin memperpanjang perdebatan ini. Kalian doakan saja semoga perjuangan saya yang terakhir ini benar-benar berhasil. Assalamualaikum,” kata Arif meninggalkan ruang rembuk itu.“Tunggu dulu, Arif!” kata mereka beramai-ramai. Namun Arif sudah menghilang di balik koridor pintu, tikungan halaman kampus.
***
Suara azan memakan butiran hati terlena. Menyentak perasaan terdalam untuk melakukan tunduk bakti pada Allah.
“Ma….., mari kita shalat magrib!” ajak Hidayati pada mamanya.
“Shalat Magrib!” kecut lidah Winda mendengar kata itu.
Selama ini kan dia jarang shalat bahkan dibilang tidak pernah sama sekali. Sejak dia menggeluti dunia malam. Sibuknya dia mengejar kenikmatan dunia. Sampai dia lupa membimbing anaknya. Intan mutiara yang paling berharga. Amanah Allah yang harus dituntunnya menjadi manusia yang baik. Mengajarkan anaknya tentang shalat dan berbuat kebaikan.
Hari ini anaknya mengajaknya shalat. Berarti anaknya sudah tahu shalat. Anaknya tahu shalat pasti diajarkan Arif.
Ingatlah dia pada Arif. Arif yang setia mengantarnya kerja dan menjemputnya pulang. Arif yang selalu menolak bila dia ingin memberikan imbalan. Arif yang tak berhenti mengajaknya untuk meninggalkan dunia maksiat. Arif yang memberikan pekerjaan baru yang lebih halal dari pekerjaan yang digelutinya. Berkerja sebagai pelayan toko Butik Muslim At-Takwa.
Pernah pula Winda menanyakan sesuatu pada Arif. Sewaktu relung-relung hati nuraninya sedikit tersentuh oleh bicara Arif yang mengajaknya pada jalan kebaikan.
“Arif, apakah Allah akan mengampuni dosa saya yang sudah berkarat ini. Sedalam lautan dan seluas angkasa raya?”
“Insya Allah Mbak Winda. Kalau Mbak betul-betul mau insyaf. Mau bertobat dengan sepenuh hati. Allah Maha Pengampun, Mbak!”
”Cobalah. Utarakan saja minta ampun Mbak kepada Allah dalam kegiatan shalat. Karena shalat adalah sarana komunikasi langsung hamba dengan khaliknya (Allah). Semoga berhasil, Mbak. Untuk itu, shalatlah Mbak!“ lanjutkan Arif pada pembicaraannya.
“Shalatlah Mbak!“
Tengiang-ngiang kata –kata Arif itu di pergolakan batinnya. Apakah aku harus terus begini? Nista dan berlumpur?
Tidak ! …… Ya! ……. Tidak! …… Ya! ……. Tidak!!!!!!!
“Yaa Allah ….” Desis Winda. Cairan bening putih membelah muara sungai matanya. Winda tertunduk.
”Mengapa mama menangis? Apakah Hidayati salah mengajak mama untuk shalat! Maafkan Hidayati, Mam!“ kata Hidayati sembari menghapus butiran bening di mata mamanya.
”Tidak, Nak! Kamu tak bersalah, mamalah yang salah.”
Winda memeluk anaknya dengan kebanggaan meluap.
”Mari ma…., kita shalat bersama keburu waktunya habis. Mama bimbing saya ya?” sadarkan anaknya.
”Mari, Nak! Saya siap membimbingmu!” Jawab winda dengan senyum kebahagiaan . Cerah dan segarnya.
0 comments:
Post a Comment