Saturday, July 28, 2007

Kisah Tak Berujung

by: Pradono
Merah Putih tercabik-cabik di Bumi Kopyang
Lambangkan perilaku jahiliyah tak terhalang
Atas para syuhada yang rebah bersimbah darah

Terfitnah mendurhaka Jepang si penjajah

Merah Putih tercabik-cabik tercabik-cabik
Luluh lantak tercabik-cabik
Sementara tiap jiwa setiap masa diam tak berkutik
Entahkah kesedihan dan keperihan menitik
Ataukah bisu seribu bahasa sejuta muslihat dan taktik

Inikah balas jasa anak bangsa yang meraup jaya
Atas nama para syuhada tak berdaya
Ya, apatah mereka tak berdaya
Di selaput pandang mata tak bermata
Di gumpal hati mati tak bernyawa
Di lubuk kalbu tak bermalu para pendurhakanya

Mandor, kausingkap kedurhakaan anak bangsamu
Kaulah tragedi setiap generasi sepanjang waktu
Kaulah kisah tak berujung para anak cucu

Apatah para syuhada harus bicara
Atas angkara yang merobek Merah Putihnya


DI SEBUAH KAWASAN. HAMPARAN LUAS PASIR PUTIH. LUBANG-LUBANG MENYERUPAI DANAU TERSEBAR DI BEBERAPA TEMPAT. DI KAWASAN ITU PULA, LEBIH DARI DUA BUAH MESIN-MESIN PENAMBANG EMAS TANPA IZIN SEDANG BEROPERASI. TERLIHAT BEBERAPA ORANG PEKERJANYA SEDANG SIBUK MENGAMATI HASIL GALIAN MESIN TERSEBUT. TANPA SEPENGETAHUAN PARA PEKERJANYA, BEBERAPA TOKOH YANG ENTAH DATANG DAN BERASAL DARI MANA, TAMPAK SEDANG BERDEBAT. ENTAH APAPULA TEMA DAN TOPIKNYA.

+ Apa yang dapat ditinggalkan bagi anak cucu ketika permukaan mayapada hanya hamparan kegersangan?

- Ah. Kau hanya berfilsafat dengan retorika murahan. Apa kau tak punya nalar yang lebih berbobot dan realistis!

+ Apa?

- Ingat, kawan! Kita menginjak bumi kasat mata. Kita berdiri di atas hamparan realita. Aktifkanlah sinyal pancainderamu. Bukalah telinga, dengarkan gemuruh masa depan lewat mesin-mesin pencipta lembar-lembar kekuasaan ini.

+ Apa!

- Apakah tak kaurasakan di seluruh urat nadi mereka mengalir denyut-denyut masa depan? Apakah tak kaudengarkan gemerincing kemilau kemakmuran? Ah, kawan. Engkau terlalu sentimentil. Apalah artinya retorika tanpa masa depan!

+ Apakah aku tidak sedang bermimpi?

- Kawan. Sudah aku katakan kita berdiri di atas hamparan realita!

+ Jadi?

- Kawan. Engkau telah mempertontonkan kebodohanmu sendiri. Bagaimana engkau sanggup berjuang dan memperjuangkan. Bisamu hanya berpatah-patah kata. Membuka cerita tanpa alur dan kesimpulan. Apa? Apa! Jadi? Hanya itu yang kaubisa katakan. Ah. Jenis sepertimu inilah makanan empuk para nafsu berkuasa. Engkau tak lebih seekor lalat comberan yang sekali jentik, .... plek, plek, plek ... mampus! Jadi, aku tak salah. Engkau hanya menjual retorika murahan ...!

Rupanya sang dewa realita telah turun dengan wejangan-wejangan agungnya. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu, gerangan apa yang telah terjadi. Apakah aku telah kehilangan tema. Boleh aku nimbrung dalam majelis agung ini ....

+ Dengan penuh ketulusan. Siapapun berhak berada di sini. Inilah ruang tanpa kelas dan status. Ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Ruang tanpa prasangka.

Terima kasih, kawan-kawan. Tampaknya realita telah pula menjelma menjadi dewa yang begitu mudahnya masuk ke segenap ruang jiwa. Jiwa yang hampa seperti kawan kita yang satu ini.

+ Realita menurut kawan kita ini adalah realita itu sendiri. Tak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya, tapi cukup disaksikan saja sehingga tak lagi nyata di selaput pandang mata tak bermata. Tak lagi bermakna di gumpal hati mati tak bernyawa. Tak lagi bercahaya di lubuk kalbu tak bermalu. Apakah lagi ketika meluncur dari suara bijak sang dewa realita kita ini.

- Apa!?

Ah, ke mana arah pembicaraan ini. Kudengar tadi katanya kita ini berada di ruang tanpa prasangka, tapi rupanya kalian semakin jelas dan tegas berpijak pada dua kutub yang berbeda. Rupanya aku telah ketinggalan orientasi. Baiklah, ada yang ingin menjelaskan....?

- Awalnya, adalah soal manusia dan alam lingkungannya. Pencipta mereka telah memberikan anugerah hidup dan kehidupan bagi keduanya. Kedua pihak ini masing-masing diberikan amanah, hak dan kewajiban. Tentu dengan konsekuensi masing-masing pula.

+ Jelas maksudnya. Siapa berbuat dialah yang memetik hasilnya. Itulah yang disebut realita oleh kawan kita ini. Jadi, menurutku tinggal bagaimana manusia itu sendiri bisa memisahkan mana yang benar dan tak benar. Mana yang haknya dan mana yang hak pihak lain. Bumi dan segala isinya telah disediakan oleh Sang Maha Pencipta sebagai sumber rezeki. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya.

- Ya. Realita adalah realita yang sudah semestinya bermakna hasil yang dipetik. Pihak manusialah yang paling bertanggung jawab atas segalanya karena merekalah yang dibalut oleh keinginan dan nafsu. Sedangkan alam sekalipun juga bernama makhluk, agaknya lebih berada pada posisi pasif dan pasrah. Mereka ibarat barang-barang stok dan pelayan sekaligus. Itulah realita. Lagi-lagi ... re-a-li-ta. Lalu, apa yang mesti kita perdebatkan lagi. Semua telah berjalan sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Penciptanya.

+ Sekeliling kita berdiri ini hanya hamparan pasir putih. Lubang kawah di mana-mana. Deru suara mesin-mesin itu kedengarannya semakin bernafsu menyedot kemilau isi bumi: masa depan dan kemakmuran menurutmu, bukan? Pohon-pohon yang berdiri itu kelihatannya takkan bisa lebih lama lagi mempertahankan dirinya dan segera rebah. Akhirnya, takkan lebih lama pula para manusia dan nafsunya akan memetik hasil perbuatan mereka.

Bumi mana yang kita pijak ini?

- Mereka menyebutnya Mandor.

Mandor ... Mandor ... Mandor. Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu. Man-dor! Ya. Mandor! Apakah yang kaumaksudkan Mandor itu adalah ladang pembantaian satu generasi Negeri Khatulistiwa bernama Kalimantan Barat yang dilakukan oleh fasis Dai Nippon itu?

+ Tepat sekali! Tapi rakyat negeri ini lebih mudah menyebut fasis itu dengan penjajah Jepang. Menurut sejarah negeri ini, penjajah inilah yang telah membantai satu generasi dari berbagai kalangan, status dan profesi sebagai tokoh-tokoh unggulan rakyat negeri ini, yang mereka anggap telah mendurhaka kepada Dai Nippon.

Apakah ini alasan realistis para fasis itu?

- Maksudmu?

Ya. Apakah tidak lebih realistis bahwa fasis itu sesungguhnya mengincar kandungan isi bumi negeri ini, yang Anda sendiri menyebutnya sumber kemakmuran dan masa depan itu? Mereka adalah penjajah! Bukankah mereka ketika itu sedang berperang? Mereka adalah musuh bagi musuh yang lain! Bukankah mereka perlu modal dan sekaligus masa depan untuk dibawa pulang ke negeri asal mereka setelah perang berakhir? Boleh jadi mereka telah mendengar bahwa isi perut bumi Mandor ini berkemilau emas. Ah, Anda seperti tak paham saja tabiat para penjajah.

+ Ya. Kukira ada benarnya juga. Mereka mungkin terlalu percaya diri bahwa merekalah sang pemenang. Ternyata sejarah berbicara sebaliknya. Pembantaian rakyat negeri ini adalah realita yang lain lagi. Mereka anggap inilah alasan realistis atas realita yang lain. Sebut saja suatu ketakutan dari terbongkarnya sebuah skenario besar atas niat sesungguhnya Dai Nippon menguras isi perut Mandor sehingga dengan berbagai tipu muslihat mengajak para petinggi negeri ini dengan alasan bermusyawarah untuk memikirkan nasib dan masa depan negeri ini karena akan dijajah oleh bangsa lain.

Padahal sesungguhnya pihak Dai Nippon itu telah kalah karena negeri asal mereka telah dibumihanguskan oleh tentara Sekutu, musuh yang lain bagi mereka. Jadi, mereka membantai para tokoh unggulan dan puluhan ribu nyawa yang lain itu agar tidak memberontak karena mereka telah kehilangan kekuatan. Begitu maksud Anda?

+ Ya! Begitu kira-kira.

- Lalu, kesan apa yang kalian tangkap?!

+ Rupanya ada juga retorika murahan andalanmu.

- Apa peduliku! Kau sendiri mengatakan bahwa ini adalah ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Tidakkah kausaksikan bahwa generasi berikut negeri ini lebih bernafsu menggali isi perut buminya dibandingkan menggali kebenaran sejarah yang menimpa para patriot pendahulunya. Apakah ini bukan kelanjutan propaganda skenario Dai Nippon itu? Apakah ini bukan perlambang bahwa perilaku jahiliyah tetap akan abadi dan tak terhalang? Padahal para syuhada mereka rela rebah bersimbah darah demi mempertahankan setiap jengkal milik mereka. Nama apa yang pantas kausandangkan atas perilaku generasi penerus mereka ini?

+ Baik. Lalu apa semestinya yang dilakukan generasi penerus para syuhada negeri ini?

- Seperti katamu, retorikaku murahan. Aku tak ingin menggurui mereka apa yang semestinya mereka perbuat. Mereka adalah generasi para cerdik cendekia negeri ini. Mereka seharusnya sudah mengerti apa yang seharusnya. Bukankah mereka telah diajarkan lewat sebuah adagium bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya”? Bukankah itu sudah cukup menjadi pedoman bagi mereka?

Begini saja, kawan-kawan. Rakyat negeri ini adalah generasi para pejuang. Biarkan mereka terus memperjuangkan kehormatan negerinya. Para pendahulu mereka telah rela mengorbankan jiwa raga demi Ibu Pertiwi-nya. Tentu saja, di antara mereka ada yang hidup hanya demi memenuhi keinginan nafsu mereka. Untuk itu mereka disebut para pengkhianat bangsa sendiri. Menurutku, di atas bumi yang kita injak ini tengah berproses apa yang kusebut neokolonialisme. Mungkin kalian lebih suka menyebutnya neoimperialisme. Atau apalah namanya itu.

+ Ironis, memang. Bangsa yang katanya telah merdeka ini ternyata dijajah dan dikuras kembali oleh saudara sebangsanya. Mungkin sebutan yang tepat bagi mereka ini adalah kolonial berambut gelap. (Mandor, 9 Mei 2004)

1 comments:

Ikhsan said...

Karya yang bagus. semoga terus kian produktif :-)