Friday, July 20, 2007

Kembalinya Tarian Sang Waktu
Oleh : M. Saifun salakim

Waktu bergemerincing. Melangkah dengan gagah mengitari hatiku. Menelusupkan sebuah keinginan dan hasrat bahwa aku harus bergerak menuju masa itu. Masa berkepala mahkota daun-daun nipah yang hidup di pesisir pantai sanubari. Air lautan selalu mencium betisnya yang mulus dengan mesranya setiap ufuk merah berganti. Menggenangkan darah kesyahduan memuncak. Menimbulkan gelombang pasang yang membawa mineral-mineral dalam diri. Menisbahkan kepedulianku pada rimbunan daun-daun pohon yang berada di sekitar tepian pantai. Beragam jenis pohonnya. Menghantarkan saatnya tiba. Penghabisan roda bermanja berhenti detak jarum jamnya. Sering melingkari kehidupan panjang antara kita.
Kita sama-sama tak akan bisa melihat keindahan dunia. Sebab kita sudah tuna netra. Radiasi kekelaman yang membuat kita begini. Iritasinya cukup ganas menghitamkan kornea mata. Hanya kalbu yang terdalam sebagai penerangan rasa. Penunjuk arah tapak-tapak kita untuk melangkah berjauhan. Saling bertolak belakang. Aku ke timur, kamu ke barat.
Aku menyisiri bukit berbukit terjal arah timur. Membuat jiwaku lelah. Karena kakiku sudah mengelupas pecah digerogoti taring jalanan yang begitu tajamnya. Mengoyaknya, merobeknya, dan mengeluarkan intisari dagingku. Aku tersenyum asam gandis.
“Tuhan, inilah bagian jasad yang kuikhlaskan untuk-Mu.”
Pendar-pendar cahaya merah yang keluar dari intisari daging tubuhku menjemput diriku. Mengubur dan memendam aku dalam risalah-risalah angin, yang seringkali dimainkan anak-anak kecil berseragam kantong plastik. Mereka menaikkan layang-layang jiwa terbang menuju angkasa raya. Menggapai harapan dan cita-citanya.
Nampaknya mereka begitu senang memainkan risalah angin yang mengubur dan memendam diriku. Mereka menuntaskan kegembiraannya yang kadangkala dibelenggu di rumah. Karena orang tuanya tidak bisa memahami apa sebenarnya yang mereka inginkan. Kalau sebenarnya orang tua mereka bisa memahaminya maka mereka akan bahagia bermain dalam rumahnya. Rumah mereka adalah surga. Sebab dalam rumah mereka telah terjadi komunikasi interaktif dan mesra untuk saling memberikan kesenangan, kehangatan, dan kebahagiaan yang melimpah ruah. Kebahagiaan yang sungguh mereka harapkan. Kebahagiaan yang betul-betul murni. Alamiah. Tapi kenyataannya sedikit sekali mereka mendapatkan kebahagiaan itu di rumahnya. Akhirnya mereka mencarinya di luar rumah.
Hari ini sungguh senang lantunan tembang kebahagiaan anak-anak itu memainkan risalah angin. Mataku yang semula memang untuk dipejamkan selama-lamanya malah terbuka nyalang. Karena mendengar tembang mereka yang menyentuh kalbu.
“Sungguh bahagianya mereka. Mengapa aku tidak seperti mereka?”
“Eh, jangan berisik!” marah risalah angin.
Aku terdiam.
Saking bahagianya, anak-anak yang berseragam kantong plastik itu berseru girangnya.
“Surga hadir di hadapan kita!” teriaknya beramai-ramai.
Aku kaget.
Benarkah surga hadir di hadapan mereka?
Aku ingin melihatnya. Tapi risalah angin menjauhkan aku dari surga yang dikatakan anak-anak berseragam kantong plastik.
“Aku ingin melihat surga. Mengapa kamu bawa aku jauh darinya?” bentakku.
“Karena kamu tidak boleh melihatnya.”
“Mengapa aku tidak boleh melihatnya?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan tugas.”
“Tugas dari siapa?”
Risalah angin tidak mau memberitahukan atau menyebutkan orang yang menyuruhnya. Dia terus saja menjauhkan aku dari surga yang dikatakan anak-anak berseragam kantong plastik. Aku berusaha melepaskan diri dari kungkungannya. Tapi aku tidak bisa. Kungkungannya sungguh kuat dan tidak bisa ditembus walau sampai mengeluarkan keringat terkentut-kentut.
“Cepat katakan siapa yang memerintahmu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Mengapa tidak bisa?”
“Sebab....”. Berhenti dia sejenak. Aku menunggunya dengan cemas dan jantungku berdegup keras.
“Sudah! Diam !” kata risalah angin meradang.
Aku hanya menggerutu kesal. Karena keinginanku untuk melihat surga tidak terpenuhi. Padahal seumur hidupku, hal itulah yang ingin kulihat.
Beruntunglah anak-anak berseragam kantong plastik bisa melihat surga dalam alam nyata.
~oOo~

Aku masih ingat sebelum ini terjadi pada kita. Sebelum aku digulung dan dipendam angin dalam risalahnya. Masa dimana mempertemukan kita untuk terakhir kalinya.
Waktu datang dengan santainya menghampiri kita yang sedang berduaan di tepi lautan memanjang Tanjung Batu, Kendawangan. Aku duduk santai di batu menjulang tinggi hampir menjolok langit menatap gemerisik senandung ombak yang riuh rendah. Kamu juga sama. Kita berdiam diri. Menekuri wajah kita masing-masing. Mengukur perjalanan yang telah kita lalui. Masa ini menisbahkan kita untuk mengambil sebuah keputusan. Apakah kita akan bersama atau melangkah sendiri-sendiri?
“Kalian harus mengambil sebuah keputusan final hari ini. Sebab aku sudah lelah menasihati kalian. Menyadarkan kalian. Dalam rangka mendamaikan kalian. Menenangkan ketenangan jiwa kalian. Tapi kalian egois. Tidak mengindahkannya. Sekarang ambillah keputusan sendiri untuk menentukan jalan kalian sendiri-sendiri,” kata waktu menunjukkan wajah kesalnya. Keningnya berkerut. Senyumnya kecut. Tatapan matanya cenderung menyiratkan sebuah pisau yang mengelupas buah anggur.
Kita tak mengomentarinya.
Kamu turun dari batu menjulang tinggi. Mendekati air lautan yang bernyanyi kecil. Seakan ingin mengajakmu berdendang, menyenangkan hati. Kamu menjamahkan kakimu pada kesejukan dendang air. Sekaligus kamu mengambil nyanyian kecil air lautan lalu kamu usapkan ke kepalamu agar kepanasan yang bercokol dalam kepala mencair dan mendingin. Adem.
Aduh, mengapa kita saling bermusuhan padahal kita ingin bersatu? Wah, mengapa kita saling memandang lautan tapi tak pernah menatap daratan?
Padahal kalau direalitakan pikiran. Daratan juga memiliki kemewahan dan keindahan dari lautan. Kalau lautan ada airnya, daratan juga punya airnya. Air yang tertampung dalam sebuah tempurung daratan yang indah. Kalau lautan punya pulau membentang, daratan punya hutan membentang. Kalau lautan punya taman laut yang indah, daratan punya taman darat yang menarik. Pokoknya, antara lautan dan daratan memiliki potensi yang sungguh menarik untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai tempat hiburan, pelepas dahaga rasa.
Seharusnya kita berdua saling mengerti. Seharusnya kita berdua saling hormat-menghormati antara satu dengan yang lain. Seharusnya kita berdua mampu membahasakan jiwa kita masing-masing. Dalam memberikan kepercayaan penuh pada diri kita masing-masing agar rasa egois itu tak pernah singgah di dermaga senja, teratak panjang menuju ke tengah lautan permai. Kita habiskan kuncup-kuncup kembang senjanya dengan segarnya. Sungguh manisnya.
Dermaga itu pernah menjadi pengikat pertalian erat jiwa kita. Mempertautkan pusar kebersamaan. Ketika waktu kita mengerjakan proyek besar bersama, yaitu memisahkan air garam dari lautan agar menjadi garam seutuhnya. Garam yang menjadi saus penikmat bumbu makanan kehidupan.
“Nikmatnya makanan ini kalau dicampur dengan garam seutuhnya ya?” katamu gemes.
“Betul sekali, Dik. Nikmatnya!” sahutku mantap.
Menyatukan kegemesanmu dengan keceriaanku hingga erat memuntalkan ikatan pembuluhnya. Kerucut.
Pernah pula. Masih di dermaga itu. Kita menjalin untaian teja cemerawut yang melajur emas di langit merah dadu. Teja itu kita kalungkan di bukit-bukit dan gunung-gunung kejenjangan leher kita, menjulang gagahnya. Sungguh indahnya. Bahkan keindahan yang tercipta itu dapat dijadikan objek wisata terkenal. Banyak dikunjungi turis atau pelancong baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Keindahan alamiah. Devisa diri kita makin menjadi gunung keemasan. Kita menjadi kaya.
“Sungguh indah hasil karya naturalis yang tercipta ini?”
“Betul kawan. Betul indah. Tidak pernah aku melihat keindahan yang begitu mempesona seumur hidupku.”
“Ini benar-benar alami.”
“Betul kawan. Ingin rasanya aku berdiam diri selamanya di tempat ini.”
“Jangan. Seindah-indahnya keindahan yang ada di daerah orang lain, masih indah keindahan di daerah kita. Biarpun bagaimana parahnya daerah kita, kita harus merasa bangga. Karena daerah itu adalah daerah kita.”
“Betul katamu kawan. Syukurlah kamu mengingatkanku. Terima kasih banyak kawan.”
Mendengar percakapan itu kita tersenyum bangga. Satu rasa satu wadah. Sama-sama berusaha menciptakan pelangi-pelangi di tengah nusa.
Kita mulai melakukannya. Hanya hitungan sedetik napas merenung dan mengeluarkan image tercanggih yang kita miliki. Pelangi-pelangi yang kita inginkan terciptalah.
Pelangi yang kuciptakan lebih bagus darimu. Pelangi yang berbentuk keindahan manusia dengan berjambul kuda. Kepalanya menyentuh langit. Kakinya menghirup air lautan begitu banyaknya dan selalu memancarkan kemilaunya lebih terang dari pelangimu. Sedangkan pelangi yang kamu ciptakan berbentuk kupu-kupu dengan berbadan burung merak berbulu kusam. Matanya redup tidak ada sinar. Kakinya sedikit bengkok sehingga tidak banyak menghirup air lautan untuk menggemilangkan seluruh tubuhnya.
“Abang curang. Abang culas. Abang pasti memasukkan unsur lain. Abang telah melakukan tindak kepalsuan. Abang tidak murni membuat pelangi ini. Abang tidak jujur. Aku benci abang!” katanya seraya berlari karena marah.
Ia tidak berani mengakui kekalahannya dalam bersaing denganku.
“Tunggu dulu, Dik!” seruku mengejarnya.
“Tidak! Aku tidak mau bertemu dengan abang lagi!” pekiknya menghilang.
~oOo~

Pada masa perjalananmu ke barat. Kamu menemukan gubuk tua.
“Kebetulan sekali,” katamu.
Sebab saat ini kamu sudah berjalan jauh. Tubuhmu sudah mulai merasa kepenatan. Kamu mulai beristirahat. Kamu mendekati gubuk tua. Kamu mulai mengetuk pintu gubuk dan mengucapkan salam. Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya kamu memutuskan untuk beristirahat di depannya saja.
“Maaf ya Tuan Gubuk, permisi aku numpang beristirahat di depan karena tubuhku sungguh penat,” katamu lirih sembari melunjurkan kakimu. Sekali-kali kamu lemaskan otot-ototmu yang sudah pegal semua agar kembali segar. Ketika itulah ada suara menegurmu.
“Nak, tak usah kamu beristirahat di depan. Lebih baik kamu beristirahat di dalam.”
“Terima kasih Tuan Gubuk. Disini saja lebih nyaman,” sahutmu.
“Jangan, Nak. Disitu berdebu. Di dalam saja Nak karena lebih bersih. Silakan masuk, Nak,” ajak Tuan Gubuk dengan ramahnya.
Kamu tidak bisa menolak lagi keinginannya. Kamu menuruti kemauanya. Masuk dalam gubuknya.
Dalam gubuknya, kamu dibuat kaget. Karena lantainya betul bersih terbuat dari keramik putih. Dinding semuanya licin seperti istana kaca saja. Kamu tidak menyangka dalam gubuk ini seperti apa yang kamu lihat, sungguh indah. Kenyamanan mulai kamu rasakan. Kepenatan mulai mengabur dari jiwamu. Sebentar kamu teringat dengan suara Tuan Gubuk. Kamu juga ingin melihat sosok Tuan Gubuk seperti apa.
“Tuan Gubuk, kamu dimana?” tanyamu.
“Aku disini Nak,” sahut Tuan Gubuk lantang sehingga kamu bisa menerka arah suaranya. Kamu melihat Tuan Gubuk berupa pelita.
“Ah……,” kagetmu.
“Jangan kaget, Nak. Memang beginilah wujudku. Kini aku beruntung. Karena aku sudah menjumpai orang yang kutunggu beberapa dasawindu waktu. Orangnya adalah kamu. Berarti setelah berjumpa denganmu, aku harus pergi untuk selamanya. Terima kasih Nak, kamu telah meluruskan jalanku menuju Cahaya Maha Cahaya. Selamat tinggal Nak. Semoga kamu menemukan kembali hatimu yang separuhnya hilang dan bersatu kembali dengan dia,” kata Tuan Gubuk.
“Tunggu dulu Tuan Gubuk!” cegahmu.
Tapi sudah terlambat. Karena Tuan Gubuk yang berbentuk pelita sudah menghilang wujudnya di ujung senja yang kamu ciptakan.
Kamu tafakur sejenak. Merenungi semua kejadian yang telah kamu alami. Setelah puas bertafakur. Kamu mulai mengangkat mukamu. Saat itulah matamu melihat gundukan ketinggian parafin keputihan melekat dengan lantai keramik yang kamu duduki, tempatmu berpijak dalam kehidupan ini. Hingga terlihat dengan jelas di bawah kakimu muncul sebuah rembulan. Kamu ambil dia dengan kepastian. Tidak segan-segan kamu makan dia layak makanan yang enak. Kamu meleleh. Lelehanmu itu dibawa rembulan dalam tubuhmu ke langit maha luas.
~oOo~

Risalah angin mencampakkanku ke matahari. Sinar garang matahari melumerkanku. Hilang ragaku tak bertanda dan tak bernisan. Hanya jiwaku yang masih tersisa berupa butiran ozon sebagai persaksian pasti bahwa aku adalah sunyi dalam ketenangan senyap.
“Ah, semoga saja jiwa ini abadi. Semoga jiwa ini lestari di sukma yang kumiliki.”
Ketika ini. Aku mulai merindukanmu. Dimana kamu berada ya? Apakah kamu juga sama gosong seperti diriku? Atau sebaliknya kamu menemukan kehidupan barumu yang lebih indah? Aku tak tahu………
Walau seperti begini wujudku. Aku masih mampu bersyukur pada Allah. Karena aku masih diberikan jiwa dalam sukma. Walau yang lainnya sudah hangus.
Di antara kerjipan bintang yang berwarna-warni aku melihat kamu. Kamu sama juga melihatku. Kita saling tersenyum. Kemudian kita berusaha menghayati kedalaman kerjipan bintang. Alhamdulillah. Kita sukses memahaminya.
“Terima kasih Allah. Kamu pertemukan kami lagi walau dalam wujud yang berbeda,” ujar lirih hati kami.

Malam Kelam (Balber), 06062005

(Dipublikasikan di Harian Borneo Tribune, 1 Juli 2007)

Wanita Yang Ingin Memiliki Mentari
Oleh : M. Saifun Salakim

Wanita yang ingin memiliki mentari berlari kencang menerobos halimun di gerbang perbatasan kota. Kerintikkan deraian tangisan hujan menyentuh dingin sekujur tubuhnya. Ia terus berlari diantara denyutan napasnya berdoa semoga dia sampai kesana.
Di telaga bening saputan bulan merah jambu berkembang mekar. Duduk santai sesosok wajah berkemeja kekuning-kuningan, berambut lurus-kaku menjolok langit, dan bermata bening labu air. Berkulit kuning langsat dan mempunyai perawakan tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk Ia asyik memainkan air telaga, sumber kehidupan manusia.
Sejenak ia berhenti beraktivitas. Kala telinganya merekam pergesekan tapak dengan tanah. Ia menoleh kearah datangnya suara.
“Ada apa kamu mencariku? Perlu apa?”
“Aku butuh teman curhat,” kata orang yang barusan datang.
Dia adalah wanita yang ingin memiliki mentari.
“Kok mencari di sini. Kok aku, kan banyak temanmu yang lain lebih dariku.”
“Memang, tapi mereka tidak sama seperti kamu. Kamu lebih menghargai dan mengertiku,” tegasnya.
“Oke, kalau itu alasanmu. Biar enak ngomongnya. Kita ke taman saja,” ajakku padanya.
Lalu menunjuk sebuah taman yang lengkap dengan kursinya. Wanita itu setuju. Ia mengikuti langkahku. Kami duduk di taman itu. Seperti sepasang bendera.
“Apa sebenarnya permasalahanmu?” selidikku.
“Aku butuh doa agar cepat mati. Ajarkanlah aku doa itu!”
Wah, dia punya problem besar.
”Maaf sobat, aku tidak punya doa seperti itu. Lagi pula tidak baik kamu berpikiran begitu. Karena hal begitu adalah ciri orang pesimis terhadap kehidupan,” kataku mengingatkannya dari langkah yang salah.
“Habis mau melakukan itu salah. Melakukan begini salah, melakukan begitu salah. Begini dosa begitu dosa. Lebih baik aku menyembah berhala saja.”
“Eit, stop!” cegahku.
“Tidak baik kamu berbicara begitu. Sirkubillah. Syirik pada Allah. Itu dosanya besar, yang tidak mungkin diampuni Allah. Aku tahu kamu punya masalah rumit. Tapi tidak baik berbicara begitu. Aku tahu kamu masih belum bisa menenangkan hatimu hari ini. Sabarlah!”
“Sabar! Sudah puas aku bersabar. Tapi mengapa badai ujian itu selalu datang mendera karang hatiku. Rasanya aku tak sanggup lagi. Lebih baik aku mati saja.”Iia berdesis.
Badannya melemas seakan tidak ada energi.
“Jangan bicara begitu dong. Tenanglah. Kendalikan dulu emosimu. Coba belajar optimis!”
Seketika ia mengguguk, cairan bening merembes pelan dari kelopak matanya.
“Kok malah menangis! Salahkah aku berbicara tadi?” Aku merasa bersalah karena membuatnya sedih.
“Tidak. Kamu tidak salah kok,” ujarnya menyeka bulir bening di sudut matanya.
“Jadi?”
“Sorry. Aku terlalu romantis,” lembut katanya masih dalam kesenduan.
“Oke, kalau begitu. Sebenarnya masalahmu itu apa?”
Ditatanya dulu hatinya yang sempat kacau agar menjadi tenang. Setelah tenang barulah ia mengutarakan masalahnya.
Ada dua mentari yang hadir dalam hatinya. Mentari satu selalu dikejarnya. Namun, mentari itu selalu cuek dan tidak menghiraukannya. Tidak mau ambil peduli, padahal ia benar-benar ingin memilikinya. Ingin disimpan terus dalam jantungnya agar jantungnya terang benderang. Atau mentari satu menguji ia agar bisa lebih tabah menghadapi ujian meniti rel kehidupan? Ia tidak tahu, mana bisa ia menebak. Yang dirasakannya hanya suasana perasaan yang lain. Hanyalah resah dan kecewa berpadu. Sedangkan di sini mentari kedua selalu mengubernya, agar minta tempat juga di jantungnya, mau menolak mentari kedua, ia tidak bisa. Sebab ibunya meminta ia menjadi teman keduanya. Ia takut durhaka. Ia ingin berbakti. Akhirnya ia bingung menentukan pilihannya.
Apakah ia akan mengejar cintanya? Tapi di sisi lain ia ingin membahagiakan orang tuanya. Kini hatinya tersiksa.
Maka ia pun datang padaku.
“Sobat, kamu sudah kena dilema!”
“Dilema?” kagetnya.
“Jangan kaget. Tenang saja. Tidak hanya kamu yang mengalami seperti itu. Semua jiwa yang berwujud manusia pernah merasakannya.”
“Begitu rupanya. Jadi bagaimana solusinya?
“Susah juga urusannya ya?”
“Jadi kamu tidak bisa memberikan solusi dilemaku ini?” Ia terbelalak.
“Tenang sobat. Tunggu sebentar. Izinkan aku merenung sebentar saja untuk mencarikan solusi dilemamu itu. Mudah-mudahan ilham dari Maha kuasa mendatangiku.”
“Silakan,” katanya sambil menunggu.
Aku mulai memasukkan pikiranku pada dunia mikrokosmos. Menganalisis masalahnya. Petunjuk pun datang. Alhamdulillah. Aku sudah menemukan jalan keluarnya.
“Begini ya sobat, solusinya. Kalau bisa kamu harus membujuk ibumu agar dapat meluluskan keinginan hatimu untuk memiliki mentari satu. Betul-betul orang yang kamu cintai. Tapi kalau ibumu tidak mau. Kamu harus memenuhi keinginan hati orang tuamu. Untuk memilih mentari kedua. Sebab orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia. Bisa jadi yang dipilihkannya itu cocok untukmu. Walau rasanya begitu sakit untuk menerima hal tersebut. Kita harus dapat berlapang dada dan berbesar hati. Mungkin saja di balik semua ini ada hikmahnya. Jangan lupa kuatkan penerimaanmu dengan memohon keridhoan dari Allah.”
Itulah penjelasan yang dapat kuberikan padanya. Ia tersenyum.
“Terima kasih ya sobat atas sarannya. Insya allah akan kucoba.”
Angin lirih berhembus ketika itu. Aku cuma mengangguk, ikut merasakan kegundahannya.
Wanita yang ingin memiliki mentari sudah ceria lagi. tidak mendung dan kelam seperti hari-hari yang lalu. Sempat aku bertanya padanya.
“Bagaimana dengan dilemanya? Sudah diselesaikan?”
“Alhamdulillah, teman. Sudah bisa diatasi,” sahutnya begitu riangnya.
Syukurlah, pujiku dalam hati.
~oOo~

Di pojok ruangan segi empat rembulan. Ia duduk termenung. Wajahnya sangat kusut. Senyumnya kecut. Cantik kalau ia sedang begini. Cantik yang pahit. Teman-temannya berusaha menghiburnya. Tapi hiburan itu tak pernah singgah dalam jiwanya. Teman-temannya tetap saja menghiburnya agar ia dapat tersenyum dan tertawa. Ianya tetap saja kusut dan kecut. Beginilah kalau ia punya masalah. Labil lagi. Uring-uringan.
“Aduh, mengapa jadi begini lagi?” Ia mengome sendiri.
“Sudahlah teman, masih banyak teman seperti dia,” kata Mawar.
“Tapi War, dia begitu akrab denganku. Kok bisa teganya dia bermulut ember. Membocorkan masalahku. Sehingga teman-teman yang lain tahu semuanya. Aku jadi malu. Padahal aku percaya pada dia, bisa menjaga amanah ini. Nyatanya, begini jadinya. Aku sungguh kecewa. Kok bisa-bisanya dia berbuat begitu.”
“Itulah manusia, teman!”
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
“Karena semua manusia memiliki karakter masing-masing. Ada yang jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Ada yang bermulut ember, ada yang suka usilan. Bermacam-macam, karakter beragam. Untuk itu sebelum kita memberikan amanah kepada orang lain, dianjurkan terlebih dahulu kita mengujinya. Apakah dia orang yang bisa menjaga amanah kita atau tidak? Apakah ia orang jujur atau tidak? Apakah dia orang beragama teguh atau tidak? Kalau dia memilikinya barulah kita memberikan amanah itu. Kalau tidak, kita cari saja teman yang lain yang bisa memenuhi kriteria itu.”
Wanita yang ingin memiliki mentari terdiam sejenak. Ia tercenung mendengar penjelasan yang disampaikan Mawar. Ada benarnya juga. Mungkin temanku yang satu memang jujur.
“Sudahlah teman, mari kita hibur diri ini selagi masih muda,” ujar Mawar seketika.
Mawar menarik wanita yang ingin memiliki mentari itu. Mereka menyenangkan hati. Tidak terasa wanita yang ingin memiliki mentari sudah melupakan kegundahgulanaan dan kekesalannya. Mawar memang teman yang bisa menghibur teman di saat duka. Memang teman yang patut dibanggakan.
Septi adalah teman wanita yang ingin memiliki mentari yang paling dekat. Karena rumah mereka tidak berjauhan dan dia yang menjadi tempat pengaduannya kalau ada masalah. Namun, Septi itu belum dikategorikan dewasa walaupun usianya sudah tergolong dewasa, 17 tahun. Namun Septi belum bisa membedakan yang mana harus dijaga dan disimpan erat dan yang mana harus dibicarakannya. Semuanya dipukulnya rata.
Selain itu dia terkenal suka gosip. Karena itulah, hari ini, wanita yang ingin memiliki mentari kecewa padanya. Kesal, gara-gara ulah Septi yang membocorkan rahasianya sehingga teman-temannya tahu masalah yang dihadapinya.
Untunglah Mawar bisa mengobati kekesalan wanita itu. Sehingga, dia menyadari suatu hal bahwa kita harus bisa menentukan teman yang bisa menjaga amanah yang diberikan padanya dengan kategori dia haruslah orang jujur, dapat dipercaya, dan taat beribadat pada Allah.
Ketika di sudut bibir senyumannya terkembang aku berjumpa lagi dengan wanita yang ingin memiliki mentari. Dia mengajakku duduk di pojok ruang rembulan di halaman taman Pendidikan Atas. Aku menurut saja. Dia terlihat bahagia.
“Sobat, terima kasih atas saranmu bahwa kini aku sudah memiliki mentari,” katanya.
“Syukurlah,” kataku dalam hati.
Ikut juga merasakan kebahagiannya.
“Mentari satu atau mentari dua?”
“Tidak dua-duanya.”
“Kok, bisa begitu?”
“Bisalah sobat. Karena aku tidak ingin mengecewakan dan menyenangkan antara satu dari kami. Dengan keputusan bulat aku mengambil jalan tengahnya. Biarlah aku memilih mentari yang lain saja. Dengan begitu sama-sama adil. Masing-masing tidak ada dikecewakan dan tidak ada yang diuntungkan. “
“Bagus sekali tindakan yang kamu lakukan. Jadi mentari mana yang kamu pilih?”
“Mentari yang berada di langit nurani dan tepat berada di lubuk rembulan ketujuh satelit keabadian. Dialah selama ini selalu rela berkorban untukku dan tabah menantiku. Walaupun dia seringkali terbakar oleh pengorbanannya.” katanya lebih segar tersenyum memandangku.
Ia tersenyum, menyimpan sesuatu.
Aku terdiam dan tak bisa lagi berbicara. Lidahku kelu.
Karena akulah mentari itu.

Balber, 24 Juni 2005

(Dipublikasikan di Harian Borneo Tribune, 27 Mei 2007)

0 comments: